-----------------------------------------------------------------
"Hai, tetangga!!"
Love menoleh ke arah sumber suara yang tidak asing baginya. Biasanya ia akan merasa kesal namun kali ini panggilan itu membuat hatinya yang semula gelisah menjadi cukup tenang. Ia berlari menghampiri dan langsung memeluk Racha.
"Kok malah meluk Racha sih?" tanya Pansa yang berdiri tepat di sampingnya.
"Padahal gue yang manggil," celetuk Namtan.
Love melepas pelukannya, menatap Pansa sebentar lalu menghujaninya dengan pukulan di lengannya. "Kamu kenapa sih kebiasaan banget pergi gak bilang dulu ke aku! Hpmu juga mati! Aku tu udah mikir yang aneh-aneh---"
"Aneh-aneh apa tuh?" goda Namtan.
"Diem! Lo juga kenapa kemarin malem gak gila kayak biasanya? Mana di rumah lo banyak polisi, gue kan jadi mikir Racha kenapa-napa."
"Loh aku udah naruh notes di pintu kulkas, kemarin aku naruh di komputer kamu gak liat," Pansa berusaha membela diri.
"Ya kenapa gak ditaruh di komputer lagi? Lagian ngapain aku buka kulkas pagi-pagi kalo kamu udah bikinin sarapan? Ah, kalian tu kenapa sih gak bisa---"
Racha mengelus lengan Love menenangkan. "Makasih udah khawatirin gue. Tapi kenapa lo mikir gue kenapa-napa sih? Lo pikir gue ditangkap sama mereka?"
"Iya, Cha. Kata Pansa ada satu lagi rekannya, gue curiga si Namtan karena mereka pernah tu bertiga sama si May di rumah kalian. Terus kemarin malem Namtan murung ditambah si Pansa gak ngebolehin gue ngegoda Namtan, terus itu banyak polisi."
"Aduh, Taaaa. Beneran deh kamu harus stop buat---"
"Apa? Baca cerita fiksi. Pasti gak cuma aku tauk yang mikir kayak gitu! Udah deh. Kamu mau nganter aku gak? Busku pasti udah lewat."
"Lo pengen ngegoda gue? Berani banget padahal ada istri gue di sini," ledek Namtan.
"Saaa, ayo anterin sekarang. Aku udah gak bisa lagi menahan emosiku kalo di sini lama-lama."
Pansa tersenyum, ia mencubit lengan Namtan yang masih saja menggoda Love dan segera berlari ke dalam rumah mengambil kunci mobil.
"Cha, beneran deh kalo lo gak betah sama makhluk hidup ini orang pertama yang harus lo hubungi itu gue. Itu orang-orang pada ngapain sih kumpul di situ? Kan jadi mendukung semua kecurigaan gue."
"Kenapa gak lo tanya aja sih? Kenapa malah tantrum gini?" Namtan memanggil salah satu tetangganya yang berkumpul di depan rumahnya. "Bu, dia penasaran kenapa ibu sama yang lain di depan rumah kita?"
"Kan jadwalnya periksa gratis. Kita gak berani masuk karena lagi banyak polisi jadi kita nunggu di luar sekalian nunggu Mbak Racha."
Love mengigit bibirnya bawahnya, menyisir rambut yang sudah rapi dengan jemarinya berusaha menahan kesal.
"Lo gak liat tu yang pada berdiri lansia semua. Harusnya lo bisa berpikir---"
"Ya lagian di chapter sebelumnya gak dijelasin."
"Udah, udah. Masih pagi udah ribut aja. Tuh, si Pansa udah nungguin," Racha mencoba melerai.
.
Love masih berusaha mengatur nafasnya, pelan-pelan. Sejak memasuki mobil beberapa saat lalu, rasa kesalnya masih belum juga hilang. Ia mengipasi wajahnya yang masih memerah dengan kedua tangannya.
"Panas? Padahal ini AC-nya udah nyala lho. Mau buka jendela aja?"
"Gak usah. Hp kamu kenapa selalu mati sih di saat kayak gini?"