Sembilan

40 9 3
                                    

Aku terbangun di sofa pukul sepuluh pagi dan merasakan tubuhku sakit semua. Sialan, ini sudah seminggu sejak cintaku ditolak Jimin. 

Malam itu adalah malam terburuk yang pernah ada. Sulit bagiku memejamkan mata. Kepergian Jimin dari apartemenku, seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia juga memutuskan keluar dari hubungan persahabatan kami. Dia pergi begitu saja malam itu, usai pernyataan cintaku. Dan dia mengatakan bahwa tidak seharusnya aku seperti itu. Bahwa dia tidak bisa meninggalkan Haejin begitu saja. 

Lalu aku ditinggalkan bersama perasaan malu. Malu pada diriku sendiri. Seperti harga diriku sudah lenyap meninggalkanku. Sekarang aku tak lagi berharga. Aku bukanlah apa-apa. Aku hanya seonggok daging tanpa warna. 

Kubasuh wajahku di wastafel, berharap air dingin menyapu sisa airmata. Saat aku melihat diriku lama di cermin, bayangan itu melintas lagi,

"Maafkan aku." Aku menangis lagi ketika mengingat ucapannya.

Hari ini aku tidak bekerja, karena tidak yakin akan keadaanku yang kacau. Sebab aku berada dititik terendah untuk yang ke sekian kalinya.

Mungkin definisi zombie kini mengarah padaku. Aku memandang layar televisi sambil berbaring dengan lunglai.

Sudah seminggu, dan aku tetap begini. Nahas sekali hidupku. Aku menertawakan diriku yang selalu kuat dan selalu tidak peduli. Sepertinya aku sudah mati. Naya sudah mati. Aku benci bagaimana diriku lemah begini. Sialan.

Aku bergelung di dalam rasa sakit, kacau, putus asa, putus cinta, persahabatan yang berakhir, harga diri yang jatuh ke dasar. Aku seperti benar-benar kehilangan makna hidup yang selalu aku perjuangkan. Bertahan dan selalu kuat.

Hingga Jumat malam pun tiba, sampai seseorang menekan bel pintu apartemenku berulang kali, aku baru saja menyelesaikan acara makan ramen super pedas.

Ingusku masih meleleh sesekali, dan rambutku berantakan, karena aku tak mandi selama dua hari, hingga sweater krem yang kugunakan pun sudah bau asam.

Aku membiarkan keadaan apartemenku berantakan. Terdapat uang pecahan kembalian beli cumi panggang di atas nakas, dan kaleng soda yang sudah dikerubungi semut. Bekas mangkuk ramen yang berjejer di pantri, dan cangkir kopi beberapa yang kotor masih ada di sana. Bungkus-bungkus snack berserakan di sekitar sofa depan televisi, sikat gigiku pun ikut tersesat di lantai.

Pintu bel berbunyi lagi dan aku hampir emosi. Jika itu Jimin, aku benar-benar akan menendang wajahnya agar tak muncul lagi di hidupku.

Ketika aku membuka pintu, aku terperangah saat mendapati sosok Taekim yang berdiri sembari menatapku dengan ekspresi datarnya. Harum parfum mahal yang semerbak masuk ke penghiduku. Dan, penampilan pria ini sudah dibatas normal. Berapa skala ketampanan yang dia punyai? Aku rasa dia punya lebih dari angka sepuluh.

"Kau..." Aku tertegun. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku tidak bisa menghubungimu," jawabnya. Dia menatap penampilanku dengan ekspresi bingung. "Kau baik-baik saja?" tanyanya sembari meringis.

Tahu-tahu hidung bangirnya mengerut, seolah mencium sesuatu yang tak enak. "Bau apa ini?" Dia mendekat padaku dan memastikan.

"Oh ya Tuhan." Dia mengibaskan tangan dengan tampang risih.

Aku mengendus diriku sendiri. Tidak ada yang salah, aku wangi. Aku hanya menatapnya malas sambil melipat tangan di dada. Berpikir bahwa kami tidak punya urusan apapun lagi setelah drama aku dan Jimin beberapa hari lalu.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku bilang aku tidak bisa menghubungimu!" tukasnya. "Aku mengunjungi bar tempatmu bekerja, aku juga ke sini beberapa hari yang lalu dan tidak ada tanda-tanda bahwa kau masih hidup. Aku kira kau menghilang."

LOVE SCENARIO [lengkap] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang