1 - Aku Sekelas Dengannya

16 1 0
                                    

Kota M, 2011.

Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela, menciptakan pola cahaya yang menari-nari di lantai kelas SMA Bintang Nusantara. 

Di luar, Hana melangkah dengan semangat, rambutnya panjang tergerai bebas dan wajahnya bersinar, tapi tidak cukup untuk menutupi kegugupannya. Dia mengenakan sweater berwarna merah muda pastel. Dalam setiap gerak dan tatapannya, Hana memancarkan kehangatan dan keceriaan, membuat siapa pun yang berada di dekatnya merasa lebih hidup. Dia seakan penuh dengan energi.

"Aku harus duduk di depan!" Hana sedikit berlari menuju kelas X-7 yang ada di ujung lorong sekolah. Dia menyalip puluhan siswa yang sedang riuh menyambut tahun ajaran baru. Mereka semua siswa SMA baru di sekolah populer dan terbaik di kota ini.

Jantung Hana semakin berdetak kencang, berharap dapat bangku di depannya. Di kelas ini semua siswa duduk masing-masing, tidak satu meja berdua. Namun dia seketika terdiam, semua bangku di depan sudah terisi. Dia sangat tidak ingin duduk di belakang, karena itu menghambatnya menyimak pelajaran. Hana agak gila belajar di kelas, karena dia pemalas di rumah. Jadi menurutnya, menyimak pelajaran di kelas ada jalan ninja untuk mendapatkan nilai yang bagus. Itulah jurus rahasianya selama ini, duduk di depan.

Dengan langkah lunglai, Hana memilih bangku di barisan ketiga yang masih nampak kosong. tapi saat dia ingin meletakkan tasnya, seorang siswi lain hendak duduk di sana.

"Aku lebih dulu di sini." siswi itu cantik dan modis. Namanya, Stella. 

"Aku juga lebih dulu." Ucap Hana yang tak mau kalah.

"Itu di sebelah masih kosong." Stella menunjuk kursi disebelahnya. Hana melirik ke meja sebelah nomor dua dari dinding. Terlalu ke samping menurutnya. Saat Hana berbalik, Stella sudah duduk.

Suasana riuh ramai kelas, tiba-riba hening sejenak. Hana bingung, dia pun duduk di kursi di sebelah Stellah yang baginya menyebalkan itu. Hana meringis, membenamkan wajahnya di lengannya di atas meja.

Sementara itu, ruang kelas hening karena kedatangan dua siswa yang menjadi pusat perhatian. Mereka adalah Arka dan Tirta. Dua cowok bersahabat yang populer karena ketampanan mereka sejak SMP. Arka dan Tirta melihat sekitar kelas, mereka berbincang memilih tempat duduk. Beberapa siswa dan siswi menawarkan tempat duduk ke mereka.

Arka memiliki penampilan yang tenang dan menawan, bak karakter utama dalam drama yang selalu berhasil mencuri perhatian. Postur tubuhnya yang tegak dan ramping memancarkan aura percaya diri. Ia memiliki rambut hitam legam yang lembut, dengan potongan sedikit berantakan yang membuatnya terlihat natural namun tetap rapi. Sorot matanya yang hangat dan dalam, berpadu dengan ekspresi yang penuh perhatian, seolah mampu melihat jauh ke dalam hati orang-orang di sekelilingnya. Meskipun penampilannya sederhana, ada daya tarik tersendiri yang terpancar dari Arka, terutama saat ia tersenyum. Senyum tulusnya mampu membuat hati siapa pun bergetar.

Tirta, di sisi lain, adalah sosok yang mencolok dan memikat, bak cowok tampan yang menjadi idola di layar kaca. Wajahnya tampan dan proporsional, dihiasi dengan rahang yang tegas. Dengan rambut pendek yang stylish dan sedikit berombak, ia selalu tampil segar tapi dingin. Tirta terkesan rebel namun tetap fashionable. Jelas sekali terlihat dia anak orang kaya. Dia juga memiliki aksesori yang mencolok, seperti gelang kulit atau kalung yang menambah kesan maskulin dan karismatik.

Arka dengan santainya menuju bangku yang mepet ke dinding itu. Dia sudah menemuka bangku yang pas untuknya. Tepat di sebelah Hana yang masih menyimpan wajahnya di lengan dan menggerutu kesal. Tirta mengikuti Arka, lalu duduk di belakang kursi Hana, karena itu kursi kosong yang paling dekat dengan Arka.

Suara bel masuk berbunyi. Siswa-siswa masih riuh, saling berkenalan dan bercanda di kelas sambil menunggu bel baru. Suara derak kursi dan gemuruh obrolan pelajar perlahan mereda saat guru memasuki kelas. Seorang guru pria, dengan tag nama Bandi Prawira di dadanya masuk sambil membetulkan kacamatan.

"Selamat Pagi, anak-anak." Sapanya.

"Pagi..." semua serentak menyahut, kecuali Hana.

"Oke, Saya Bandi, Wali kelas kalian. Sekarang saya langsung absen kalian semua ya." Pak Bandi membuka buku presensi kelasnya. "Arka Senja Wisesa."

Mendengar nama itu, Hana mengangkat wajahnya sedikit menoleh ke samping kirinya sumber suara yang menyahut "hadir, Pak!"

Di sampingnya, Arka terlihat santai menurunkan tangannya. Rambutnya yang sedikit berantakan memberikan kesan kasual yang menarik. Dia menangkap, di sebelahnya ada orang yang memperhatikannya.

Mata mereka bertemu, dan Hana merasakan getaran aneh yang membuat pipinya memanas. Ia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Dengan cepat Hana duduk tegap dan memalingkan wajahnya.

Pak Bandi terus memanggil siswa-siswa. Sedang Hana sibuk dengan pikirannya yang terkejut, dia duduk di samping Arka.

"Hana Alunetta!" Pak Bandi memanggil Hana kesekian kalinya. "Ini yang namanya Hana Kalika tidak hadir, ya?"

Hana tersadar dari lamunannya. Dia segera mengangkat tangan, wajahnya merah padam menahan malu. "Saya, Pak! hadir. Saya hadir, saya ada." Jawab Hana malu dan gugup. Seisi kelas riuh.

"Belum kekumpul itu nyawanya." celutuk salah satu siswa di dekat pintu.

"Hana kalau mau dibangunin tiap pagi, bagi nomornya." celutukan lain dari siswa di belakang. Seisi kelas tertawa.

Arka diam-diam memperhatikan Hana yang sedang meringis malu. Dia melihat ke arah tangan Hana yang sedang meremas tangannya di bawah meja. Hana terlihat mencoba menenangkan diri dengan menarik napas dalam lalu menghembuskannya. Dia kemudian mengambil buku dari tas, tapi tangannya terlalu gugup hingga buku itu terjatuh.

Hana mengambil buku itu di lantai, dia kemudia membukanya dan mulai menggambar dengan gerakan cepat. Arka tidak bisa melihat dengan jelas apa yang digambar oleh Hana. Tapi entah mengapa, dia merasa ada rasa ingin tahu.

"Tirta Samudra Agni!" Pak Bandi memanggil Tirta.

"Hadir, Pak." Jawab Tirta.

Pak Bandi menyelesaikan presensi siswa yang berjumlah 30 orang itu. Dia pun mulai mengajar Teknik Informatika sebagai mata pelajaran yang dia ajarkan. Tapi sebelum itu, dia mulai berbasa-basi tentang betapa penting belajar teknologi di zaman sekarang. Karena di masa depan teknologi akan sangat maju.

Tirta mencari pulpen di tasnya, namun sepertinya dia lupa membawanya. Tirta meminta Arka untuk minjam pulpen, "Sa, pinjam pulpen lu dong."

Arka berbalik. "Gue cuman punya satu."

Tirta menoleh kiri-kanan yang sama-sama cowok. Seketika dia ada ide meminjam ke anak perempuan di depannya, Hana. Biasanya perempuan membawa pulpen lebih dari satu dan lebih mudah diminta pinjam. Tirta mendorong kursi Hana dengan kakinya.

Hana yang sedang menggambar kucing di bukunya, tiba-tiba terhenti karena kursinya bergerak dengan sendirinya. Dia tahu, orang di belakangnya sedang iseng. Hana pun berbalik badan memasang wajah kesal.

Bagi Tirta, melihat wajah Hana pertama kalinya adalah hal yang tidak akan dia lupakan selamanya. Wajah kesal Hana yang memerah di pipi terlihat lucu karena kulitnya cerah. Rona merah di pipinya itu adalah bekas jerawat kemerahan Hana.

"Apa sih!" ketus Hana.

Tirta tidak tahan menahan senyumnya, "pinjam pulpen."

Sedetik kemudian, wajah Hana yang kesal berubah ramah. "Ooh pulpen..." Dia berbalik mengambil dari kotak pensilnya. "Nih.. Pakai aja." Hana memberikan pulpen itu tersenyum manis ke Tirta, dua lesung pipinya hampir saja membuat Tirta terbata-bata menyahut.

"Ma..makasih ya."

"Sama-sama." jawab Hana ceria lalu berbalik lagi.

Tirta berbisik dalam hatinya, "Kok ini anak bisa berubah moodnya dalam sedetik. Lucu juga."

Pak Bandi menjelaskan pelajaran, siswa menyimak. Suasana kelas nampak tertib dan tenang. Tapi tidak dengan pikiran Hana, ada yang mengusiknya. Kehadiran Arka di sebelahnya membuatnya tidak tenang. Dia merasa tidak tahu bagaimana menjalani hari-hari karena harus sekelas dengan Arka.

Hana tidak sabar pulang sekolah nanti menceritakan berita ini ke sahabatnya, Dian, Naila, dan Rika. Orang-orang yang harus tahu kabar tentang Arka. 


Sunset After SchoolWhere stories live. Discover now