- Rinai -

3 0 0
                                    

Seolah mengetahui keadaan sunyi yang terjadi, rauangan hujan menjadi pemenangnya. Tiga cangkir teh yang sudah tak mengepulkan asapnya turut merasa sendu. Tiga cangkir teh yang tersedia, namun hanya ada dua orang yang tersisa di sana. Perasaan campur aduk masik begitu menyelimuti Nada, namun senyuman lembut milik wajah tua di seberang sana seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

"Babah mau makan nggak?" Tanya Nada sambil menggerakkan tangannya.

"Itu K-A-L-E-O, anak bungsuku." Balas Babah Joni juga menggerakkan tangan dan mulutnya, tanpa ada suara.

"Iya, Nada langsung ingat fotonya yang ada di kamar Babah. Agak pangling, mana tadi langsung nyinyir sama Nada."

"Maafkan, ya... datang ke sini saja terpaksa kalau bukan karena proyek kerjaan dan perintah ibunya."

Butuh sekian detik untuk Nada mencerna gerakan isyarat dari Babah Joni, barulah ia dapat menjawabnya. "Nada memang kaget, tapi Babah nggak papa? Omongannya jahat banget ke Babah tadi waktu kita di dapur. Dia nggak tahu kalau Babah sekarang tunarungu?"

Benar adanya, setelah mengatakan hal yang tidak masuk akal kepada Nada, Kaleo juga mengatakan hal yang sama sadisnya kepada Babah Joni. Dia bahkan langsung keluar rumah setelah mengobrak-abrik tempat penyimpanan barang guna mencari payung. Terlihat lelaki itu makin marah saat didapatinya Babah tidak menjawab sepatah katapun. Sedangkan Nada yang ingin membalas tuduhan itu langsung dicegah oleh Babah Joni.

"Dia tidak tahu, ibunya dan kakaknya juga tidak tahu. Hanya Nada dan warga di sini yang tahu..."

Lihat, bahkan ia masih sempat terkekeh tanpa suara? Dengan mudahnya mendeklarasikan bahwa tidak ada satupun keluarganya yang tahu tentang kondisi terkini seorang Setyono Joni Waluyo?

"Memangnya alasan Babah nggak kasih tahu siapapun?"

"Tidak mau ada rasa kasihan. Mereka terlanjur membenciku, jadi biarlah tetap begitu."

"Mana ada! Istri Babah bahkan setiap bulan telepon Pak Udin buat tanya kabar dan kirim bahan makanan. Anak sulung Babah juga sering kirim uang lewat Pak Udin juga."

"Lalu apakah kamu pernah lihat aku terima uang dari anakku? Udin juga aku suruh diam saja soal kondisiapapun tentangku. Mereka sudah bahagia tanpa aku, jadi buat apa mengundang hama untuk datang kembali pada lahan yang sudah tumbuh subur?"

Lagi=lagi Nada dibuat heran, kedua matanya mulai memanas. Setiap kali Babah membahas hal tentang hama dan padi, hati Nada terasa sakit. Matanya yang kini mulai mengabur sebab menahan air mata, masih mengawasi gerak-gerik Babah yang melepas alat bantu dengarnya.

"Sudah enam tahun... untuk apa lagi aku mengemis belas kasihan mereka? Sama seperti aku yang berdamai dengan hilangnya pendengaranku, aku harap mereka juga bisa berdamai dengan diri mereka sendiri. Ibaratnya aku melepas alat dengarku ini, aku tidak merasa gusar sebab aku tahu bahasa isyarat dan ada kamu yang juga menguasainya."

Di seberangnya, Nada berdecak gusar. "Beda, Bah! Itu kalau Babah ngobrol sama Nada, gimana kalau sama orang lain yang nggak ngerti bahasa isyarat? Atau waktu Babah nggak pakai alat dengar dan ada yang panggil? Babah bisa dengar?" Bantah Nada yang makin dibuat bingung dengan perumpamaan dari Babah Joni.

"Maksud aku, keluargaku sudah memulai hidup yang baru. Enam tahun mereka berjuang sendiri dan sampai sekarang mereka bisa hidup tanpa aku, bahkan lebih baik. Itu artinya, saat satu hal dihilangkan bukan berarti hal lainnya tidak bisa membawa kamu ke tujuan utama. Meski dilihat tidak berjalan sempurna, tapi tidak selamanya itu dianggap gagal."

Nada dibuat bungkam.

KREKK......

Atensi Nada dan Babah Joni teralihkan pada seseorang yang baru saja memasukki rumah tanpa mengucapkan salam. Di tangan kanannya terdapat kantung plastik hitam yang menguarkan aroma familiar di hidung Nada. Baiklah, ia mungkin harus sedikit lunak pada patung itu. Kaleo tidak mengerti situasinya dan Nada akan memahaminya sebaik mungkin.

"Bakso gerobak kuning, ya?" Tanya Nada yang membuntuti Kaleo menuju dapur.

"Nggak lihat warnanya."

Satu tarikan senyum terpatri di bibir Nada. Entah harus beterimakasih pada hujan atau tukang bakso yang membuat Kaleo sedikit melunak.

"Beli berapa?"

"Tiga."

"Mau aku bantu pindahin mangkok?"

Nada bertanya seraya melihat Kaleo yang sedang "sok tahu" mencari letak peralatan makan, namun ternyata insting lelaki itu bagus juga.

"Aku Nada, bukan simpanan Babah kamu. Aku kontrak di sebelah. Dulu sama abang aku, tapi dia udah lulus dan sekarang di Kalimantan."

"Mending kamu ajak Babah kamu makan, males banget nawarin orang bisu." Ketus Kaleo yang masih sibuk sendiri dengan persiapan makannya.

Gemas dengan sifat lelaki itu, Nada menarik lengan kemejanya sehingga ia berbalik seketika. "Kalau aku bilang dia beneran bisu, percaya?"

Dengusan kasar keluar begitu saja. "Ngaco banget..."

"Babah Joni tuli dari enam tahun yang lalu."

Sebatas Rinai HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang