Autumn Leaves - 2 (End)

17 4 0
                                    

Harapan itu ternyata benar membawa Hikaru menjadi lebih dekat dengan Ten dan membuatnya bisa terus berada di sisinya. Dengan posisi rumah sakit dimana Ten dirawat yang ternyata tidak jauh dari Kedai Obaachan membuat Hikaru bisa berkali-kali datang menjenguknya. Menemaninya, menjaganya.

Walau tak jarang Ten menolak Hikaru untuk datang, itu hanya karena Ten tidak ingin Hikaru menjadi begitu dekat dengannya. Dia tidak ingin jika nanti dia telah tiada, Hikaru akan merasa kehilangan dan membuat hidupnya menjadi kacau.

Namun sekeras apapun Ten menolak kedatangannya, nyatanya Hikaru tetap keras kepala untuk menemaninya. Dan nyatanya Ten pun juga ingin wanita itu berada di sampingnya, disisa waktu hidupnya yang tak lama lagi.

Ten memandangi wajah lelah wanita itu yang dimana kini tengah tertidur pulas dengan kepalanya tergeletak di ranjang Ten.

Ten mengulas senyum, dia merasa bersyukur telah dipertemukan dengan Hikaru karena setidaknya kini dia merasakan hatinya terisi penuh oleh seseorang.

Walau dia tidak tau apakah Hikaru merasakan perasaan yang sama, itu tidak penting baginya. Dengan hanya dia yang memiliki perasaan itu sudah cukup baginya.

Dia pun menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah Hikaru dari pandangannya dan sontak itu membuat Hikaru terbangun dari tidurnya.

"Gomen... aku membuatmu terbangun."

Hikaru hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. Dia pun kemudian merenggangkan badannya yang terasa pegal karena tidur dengan posisi terduduk sedari tadi.

"Jika kamu lelah, seharusnya kamu jangan memaksakan diri untuk datang kesini," omel Ten yang sebenarnya dia hanya khawatir akan kondisi Hikaru, terlebih lagi Hikaru selalu suka menjenguknya setelah membantu Obaachan di kedai.

"Aku tidak lelah, tadi saat aku datang kesini kamu lagi tidur, jadi aku ikutan tidur aja. Lagipula aku sudah janji kalau akan datang kesini tiap hari," ucap Hikaru menyakinkan Ten sambil tersenyum sumringah.

Ten menghela napas berat sambil berekspresi murung. "Aku harap kamu tidak menyesali janjimu itu."

Hikaru tau kemana arah obrolan itu, dia pun langsung memasang wajah cemberut. "Hari ini aku ga mau meributkan hal yang sama dengan kamu ya. Hari ini aku mau menawarkan Kartu Wish yang terakhir yang bisa kamu pakai," ucap Hikaru dengan semangat sambil menunjukkan Kartu Wish itu.

Ya, sebelumnya Hikaru membuat semacam program yang dimana dia membuat Kartu Wish yang bisa Ten gunakan ketika Ten menginginkan suatu hal, maka saat Ten menuliskan keinginannya di kartu itu wajib bagi Hikaru untuk mengabulkan keinginannya.

Hikaru membuat 3 Kartu yang dapat dipakai Ten, dan sebelumnya 2 kartu telah digunakannya, kini kartu itu menjadi yang terakhir.

"Gimana kalau sekarang kamu yang pakai kartu itu dan aku yang akan mengabulkan keinginan kamu," ujar Ten yang membuat Hikaru kebingunan.

"Keinginanku tidak penting, Ten," bantah Hikaru tidak setuju.

"Tapi pasti ada, kan? Katakan saja apapun itu," ucap Ten menyakinkannya.

Hikaru terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mulutnya berucap. "Aku mau kamu jadi pacar aku."

Ucapan Hikaru sontak membuat Ten terkejut dan kemudian Ten tertawa. "Ngapain kamu ngajak pacaran orang yang sebentar lagi bakal ga ada, cari pacar mah yang hidupnya panjang umur."

"Aku mau jadi pacar Ten walau hanya sesaat," ujarnya gigih tanpa menatap Ten.

Ten berhenti tertawa dan mulai merasa sakit dadanya mendengar itu. "Kenapa?"

"Karena aku sayang Ten."

Ten seharusnya senang mendengar itu, mengetahui bahwa Hikaru memiliki perasaan yang sama dengannya. Namun entah mengapa itu terasa menyakitkan baginya. Karena jikalau pun mereka mencintai satu sama lain tentu mereka tidak akan bisa bersama di kehidupan ini.

Dadanya terasa begitu sesak sampai rasanya air mata itupun tidak bisa ditahannya.

Hikaru kini menatap Ten dan terkejut melihatnya menangis, "Ten, kenapa nangis?" Hikaru pun terduduk di ranjang Ten dan mengusap lembut pipinya untuk menghapus air mata itu, "Aku salah ngomong ya? Gomen ne,"

Ten menggeleng pelan. "Maaf karena telah buat kamu memiliki perasaan ke orang seperti aku," ucapnya dengan penuh penyesalan.

"Itu bukan salahmu, Ten. Ini keputusanku sendiri. Dan aku ga akan pernah menyesali perasaanku padamu."

"Tapi aku hanya ingin kamu bisa hidup bahagia dengan orang yang kamu sayangi. Bukan dengan orang yang sebentar lagi akan tiada, perasaanmu hanya akan sia-sia, Hikaru."

Hikaru menghembuskan napasnya perlahan, melihat Ten yang sudah tenggelam dalam pikiran buruknya sendiri membuat Hikaru ingin menyudahi percakapan itu.

Hikaru pun memeluk Ten dengan erat, menenggelamkan dirinya dalam dekapan hangat itu.

Sementara Ten terkejut akan perbuatannya yang tiba-tiba itu. "Hikaru..."

"Jangan katakan apapun lagi, cukup peluk aku saja,"

Hawa pada malam itu sudah terasa dingin namun kini mereka merasakan kehangatan satu sama lain.

Di dalam keheningan, mereka hanya terus mendekap satu sama lain, seperti tidak ingin saling melepasnya, seperti ingin menyakinkan diri masing-masing bahwa tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi ke depannya.

Karena mereka memiliki cinta yang begitu kuat, yang rasanya tidak akan ada yang dapat memisahkan mereka, sekalipun kematian itu sendiri.

***

Seminggu kemudian.

Tidak terasa musim gugur akan segera berakhir. Kebanyakan dedaunan sudah banyak yang berguguran, menyisakan pepohonan yang nampak begitu kosong tanpa kehadiran dedauan yang senantiasa bersamanya.

Musim yang akan selalu berulang, siapapun tidak akan ada yang bisa menghentikan atau menemukan alasan mengapa daun itu harus berguguran. Karena itu memang yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta, tentu kita sebagai manusia hanya bisa menerima segala hal yang telah ditentukan-Nya.

Hikaru kini sedang terduduk di bangku dimana dia berbincang dengan Ten pertama kali. Ya bangku taman dengan pemandangan danau di depannya.

Hikaru menengok ke samping, ke bangku yang kosong, namun entah mengapa rasanya dia melihat bayangan Ten sedang duduk di sampingnya sambil tersenyum hangat padanya. Hikaru pun membalas senyuman itu.

Rasanya begitu cepat dia harus kehilangan sosok Ten. Walau dari awal Hikaru menyadari bahwa Ten tidak bisa hidup lebih lama lagi, nyatanya itu tetap menyakitkan ketika dia benar-benar harus kehilangannya untuk selamanya.

Dengan pertemuan yang sesingkat itu, Ten telah menjadi seseorang yang begitu penting bagi Hikaru, mengajarinya banyak makna kehidupan ditengah rasa sakit dan kepedihan yang selalu dilawannya. Memberinya arti kehidupan yang selama ini dicari-carinya.

Hikaru yang sedari dulu selalu menyalahkan angin karena membuat daun-daun itu berguguran, nyatanya kini dia paham, bahwa itu bukanlah salah angin.

Daun itu harus gugur karena memang sudah waktunya.

Jadi segala hal di kehidupan ini telah diberi timing yang tepat oleh Sang Pencipta. Jika itu tidak tepat, maka itu hanya memang bukan untukmu.

Hikaru mengambil sehelai daun gugur yang berada di dekat kakinya. Dia kemudian merogoh kantong jaketnya untuk mengambil pulpen.

Dia pun menuliskan sesuatu di daun itu.



Ku harap Ten akan selalu bahagia di sana. Terima kasih telah hadir di hidupku, walau hanya sesaat.

- Hikaru, pacarmu.

TENRUN Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang