Prolog

182 12 2
                                    









"Aku lesbian." ungkap wanita itu meletakkan alat makannya dengan keras.

Suasana meja makan yang awalnya riuh karena perdebatan tentang 'kapan nikah' itu seketika hening.

Sedangkan wanita yang mengungkapkan hanya menghela nafas lega karena akhirnya semua orang diam, meski sedikit menyesal kenapa alasan itu yang keluar dari mulutnya.

"Kamu yakin?" curiga Mamanya menatap penuh selidik sang putri.

"Kan aku bilang juga apa!"

"Sudah aku duga!"

Bla bla bla.

Keadaan kembali ricuh, saudara-saudara serta sepupu- sepupunya kembali berdebat tentang dirinya.

Anneth menghela nafas kasar, muak dengan kelakuan keluarganya yang tak bisa diam semenit saja meski di meja makan.

"Cukup."

Kecuali kalau sang kepala keluarga sudah bersuara.

Semua kini menatap Papa Anneth yang terlihat menatap putrinya dengan tajam, dia meletakkan alat makannya juga lalu meminum winenya.

"Seperti apa tipe wanitamu, Neth?" tanya Papa.

Anneth menggigit pipi dalamnya. Tipe wanita? Astaga memikirkannya saja membuat Anneth geli sendiri.

"Yang cantik, kaya, baik, seksi kayak Madison Beer, yang paling penting tulus mencintai Anneth." jawab Anneth ngasal.

Dia memainkan gelas winenya, berusaha menghindar dari tatapan anggota keluarga lain yang menatapnya malas dan ada juga yang menggoda.

"Kamu udah punya calonnya?" tanya Papa lagi.

Anneth berdehem pelan, mengelus lehernya dan menatap takut-takut ke sang Papa.

"Belum."

'Please, jangan tawarin.' batinnya ketar-ketir.

"Ma, mulai sekarang cari calon menantu perempuan untuk putrimu. Secepatnya lebih baik." ujar Papa tersenyum lembut ke Mama Anneth yang tersenyum lebar lalu mengangguk.

"Tapi Pa, apa kalian gak marah?" sahut Anneth berusaha memancing.

"Kenapa harus marah?" bingung Papa mulai melanjutkan makannya.

Matilah Anneth, tak hentinya dia mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya, dia hanya akan menangis dan menerimanya karena terlalu malu jika mengakui kebohongannya.

___


Dilain tempat, suasana meja makan keluarga Ines sangat berbeda dengan milik Anneth.

Tidak ada yang bersuara dari kelima orang di sana, hanya ada suara dentingan alat makan dan lagu klasik yang diputar untuk menemani keheningan yang canggung itu.

Ines mulai resah, dia tidak bisa dengan diamnya semua orang setelah kejadian kemarin lusa.

Kejadian dimana dia tertangkap basah berciuman dengan sahabat wanitanya saat sedang mabuk. Yang apesnya sahabatnya adalah tunangan adik laki-lakinya, kesayangan orang tuanya dan penerus usaha keluarganya.

Jelaskan, beri contoh serta tindakan yang harus dilakukan Ines agar keluar hidup-hidup dari rumah orang tuanya setelah melakukan hal itu.

"Ayah akan carikan seseorang untukmu, jangan pernah ganggu pasangan adikmu." akhirnya sang kepala keluarga membuka suara.

"Yah, kemarin Ines beneran gak ada niatan kayak gitu-

-Jadi maksud lo Zarah yang mau? Lo mau nyalahin Zarah?" sela Bara, adik Ines, dengan emosi.

Ines menoleh, membuka mulutnya hendak membantah namun kembali disela oleh kakak keduanya.

"Ya jelaslah, orang kayak dia mana mau salah." sinisnya.

Ines memejamkan matanya, menahan diri agar tidak mendamprat perempuan yang dipanggilnya 'kakak' itu dengan fakta bahwa selama ini kesalahan kecil mereka selalu dilimpahkan kepada Ines.

Sejak kecil dia menjadi anak buangan, tak pernah ada yang memerhatikannya selain kakak pertamanya yang kini meletakkan alat makannya. Menatap tajam kedua adiknya.

"Jaga omongan kalian. Apapun itu, ini kesalahan keduanya bukan Ines saja. Berhenti bersikap personal sama Ines." ujarnya tegas.

"Kalo bukan dia yang menggoda Zarah, memangnya itu bisa terjadi? Zarah sudah punya tunangan, mana mungkin dia godain Ines yang jelas-jelas perempuan?" sergah Bunda mereka menatap sinis Ines.

"Sudah pasti kamu yang maksa, Zarah tidak akan seperti itu." lanjut Bunda.

"Gak mungkin godain Ines tapi pake baju minim waktu nemenin Ines minum? Posisi mereka aja yang diatas itu Zarah, Bunda lihatkan? Atau mau aku gambarin ulang biar Bunda inget kalo lupa?" balas Irene sengit.

"Sudah, cukup." lerai Ayah.

"Ayah akan tetap carikan kamu pasangan, jangan membantah dan menolak. Kamu sudah cukup malu-maluin kami." lanjut Ayah menatap datar Ines yang hendak protes.

"Gak usah! Biar Irene yang cariin buat adik Irene! Kalian mending urusin anak kesayangan kalian itu!" sarkas Irene lalu berdiri menarik tangan Ines membawanya pergi.

"Kak-

-Kamu jangan mikirin omongan mereka. Kakak tau, kamu gak sepenuhnya salah disini." sela Irene dingin.

Ines membukam mulutnya, menunduk merasa bersalah dan menyesal.

Apapun yang terjadi selanjutnya, Ines pasrahkan diri pada keputusan kakaknya karena tau dia tak punya hak untuk melawan.













tbc...

Doux Amour.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang