3. Vice Versa

109 14 2
                                    

Ines berlari kecil memasuki rumah orang tuanya. Samar-samar terdengar suara kakaknya yang sedang bertengkar dengan kata-kata yang tak pantas.

Jantungnya berdetak kencang, dia menatap anggota keluarganya yang sedang bertengkar di ruang tamu. Tak dapat mengeluarkan sepatah katapun, ia hanya bisa memandang sedih mereka.

"Kamu keterlaluan ya, Irene!"

"Aku keterlaluan?! Kalian yang keterlaluan! Kalian mikirin gak sih akibat dari tindakan egois kalian?!"

"Ini bukan egois, Irene, ini buat kebaikan kita semua!"

"Kebaikan kalian atau kita?! Bunda sama Ayah selalu aja manjain Bara! Ngelakuin hal bodoh yang diminta pria lembek kayak dia yang ujung-ujungnya ngerugiin kita!!" Irene benar-benar meluapkan semua yang ditahannya selama ini.

Dia menatap nyalang Bara yang berlindung dibelakang Bundanya. Entah kemana rasa sayangnya selama ini, yang ada kini hanya rasa benci dan amarah yang membara untuk adik bungsunya itu.

"Semua kesalahan yang dilakuin Bara selalu aja dilimpahi ke Ines, apa yang Ines punya selalu direbut kalian! Dikasih ke siapa? Bara!" matanya mulai berkaca-kaca, merasa sangat bersalah kepada adik keduanya.

"Dan sekarang? Irene cari orang yang bisa bikin Ines bahagia! Atas permintaan kalian juga! Dan lagi-lagi kalian mau rebut buat kasih ke Bara?! Kalian punya hati gak sih?!" bentak Irene yang langsung ditampar Ayah.

"Cukup ya kamu!"

Suasana seketika hening, hanya terdengar deru nafas yang semakin membara. Emosi masing-masing anggota keluarga itu semakin menggila, menumbuhkan rasa benci antara satu sama lain.

"Ayah yang cukup." Ines akhirnya buka suara.

Tatapannya menajam, memancarkan sinar kemarahan yang sudah lama dia bendung. Langkahnya mendekat, berdiri beberapa langkah dari mereka.

"Kali ini, apapun yang kalian lakuin, apapun yang kalian suruh, Ines gak bakal lepasin Anneth." tegasnya.

Orang tua, serta kedua saudaranya terdiam dengan perasaan yang berbeda-beda.

"Kamu ini gak bisa ditebak ya?" Bunda membuka suara, memandang sinis Ines.

"Bara udah ikhlasin Zarah buat kamu dan berkorban untuk menggantikan perjodohan kamu, lalu ini balasanmu?" lanjutnya tak habis pikir.

"Terima kasih atas kepeduliannya, tapi aku tidak pernah memintanya." balas Ines.

"Dasar tak tau diuntung!"

"Karena aku memang tidak diuntungkan."

"Anak ini!" Ayah mengangkat tangannya, hendak menampar Ines yang sudah siap menerimanya.

Namun Irene dengan sigap menahan tangan pria tua itu, menatap tajam sang Ayah yang juga menatapnya tajam.

"Jangan sentuh adikku." tegasnya menghempaskan tangan Ayah.

Suasana semakin tegang, sampai seseorang datang dan melerai.

"Ada apa ini, kenapa ribut-ribut?" suara Nenek membuat semuanya menoleh.

Nenek mereka berjalan ke arah mereka, yang langsung disambut dengan senyum palsu masing-masing. Kecuali Irene yang terang-terangan masih mempertahankan wajah marahnya.

Ayah dan Bunda gelagapan, berharap tindakan mereka tadi tidak dilihat wanita itu.

Nenek duduk di single sofa, menaruh tongkatnya dan melepas topi bundar serta kaca mata hitamnya.

"Irene sayang, kenapa mukamu ditekuk begitu Nak? Ndak senang tah nenek berkunjung?" tanya Nenek pada Irene, si cucu kesayangan.

Irene menghela nafas kasar, berjalan menghampiri Neneknya dan memeluknya sesaat.

Doux Amour.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang