2. Lunch.

105 14 3
                                    







Anneth berjalan menuju meja yang sudah dia pesan, disana juga bisa dia lihat Ines yang duduk melamun menatap keluar jendela.

"Hey, maaf terlambat." sapa Anneth menyesal.

Ines tersentak, menoleh menatap Anneth yang terlihat sangat cantik dengan penampilan kantorannya. Senyum manis muncul, mengangguk tanda dia tak apa.

"Pasti macet banget ya?"

Anneth menghela nafas kasar, "Banget. Kecelakaan bukannya ke rumah sakit atau kantor polisi, malah debat di tengah jalan." keluhnya masih kesal.

Ines tertawa, menyodorkan segelas air putih pada wanita yang terlihat masih mengomel kecil itu.

"Budaya orang kita."

"Kamu udah pesan?" tanya Anneth setelah meneguk air putihnya.

Ines menggeleng, yang membuat Anneth ikut geleng-geleng.

"Kenapa gak pesan duluan aja? Emang gak laper?" omel Anneth kemudian memanggil pramusaji.

Ines tersenyum kecil, Anneth yang mengomel terlihat sangat menggemaskan apalagi dengan mencebikkan bibirnya seperti anak kecil.

Setelah memesan makanan, keduanya kembali berbincang. Bahkan setelah semalaman telponan sampai tertidur juga topik pembicaraan mereka tiada habisnya.

Apalagi mereka mulai mengetahui latar belakang masing-masing, keadaan keluarga dan kepribadian satu sama lain.

Sejauh ini hanya ada rasa penasaran dan nyaman yang semakin membesar, keingintahuan terhadap satu sama lain semakin mempererat hubungan mereka yang baru sekecil bakteri.

Ditengah perbincangan, seseorang menginterupsi keduanya membuat Anneth sedikit kesal.

"Ines? Ini siapa?" tanya orang itu terkesan posesif.

Menatap Anneth dengan curiga lalu berdiri disamping Ines dan memegang kedua bahunya.

Ines menatap Anneth, wanita itu juga terlihat tak nyaman dengan gangguan tiba-tiba ini. Dengan lembut dia menyingkirkan tangan orang itu dari kedua bahunya lalu memberi sedikit jarak.

"Zarah? Kamu sama siapa disini?" tanya Ines kaku.

Zarah yang masih menatap curiga Anneth segera melembutkan pandangannya saat menatap Ines.

"Aku sama Bara, kenapa kamu gak bales pesan aku sih semalem? Kamu masih marah?" tanya Zarah sedih.

Ines menggaruk pelipisnya, melirik Anneth yang menatapnya dengan pandangan seolah menyuruhnya mengusir wanita yang tiba-tiba mengganggu mereka.

"Aku gak marah, Ra. Semalem aku ngobrol sama..." jelas Ines menatap Anneth.

Zarah ikut menatap Anneth, tatapan tak suka dan sinis.

"Siapa sih?"

"Calon aku." jawab Ines ragu, takut membuat Anneth tak nyaman.

Tapi Anneth malah tersenyum manis, merasa puas dengan jawaban itu. Dia tak ingin menyembunyikan hubungan mereka meski statusnya masih calon, agar tidak ada kesalahpahaman nantinya.

"Calon?!" seru Zarah kaget.

Beberapa pengunjung melihat kearah mereka, merasa terganggu dengan suara Zarah yang terlalu keras.

"Zarah! Suaranya." tegur Ines.

"Tunggu, tunggu. Calon apa nih? Jangan-jangan aku salah paham." Zarah memegang kepalanya, sembari menggeleng.

Anneth menghela nafas, "Saya calon istrinya." jawabnya santai.

Ines merona, tak menyangka Anneth blak-blakan begini. Dia pikir Anneth akan menyembunyikan hubungan mereka.

Doux Amour.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang