chapter 3: Jejak iblis

1 0 0
                                    

Keesokan harinya, Rion terbangun dengan tubuh yang masih terasa pegal. Pukulannya kemarin melawan Charlotte membuat otot-ototnya seakan terbakar. Namun, rasa sakit itu adalah pengingat akan seberapa jauh dia telah berkembang.

Matahari baru saja muncul ketika Rion memutuskan untuk keluar dari rumahnya yang sederhana. Udara pagi masih sejuk, dan dedaunan basah oleh embun. Dia melangkah keluar menuju desa, berharap hari ini hanya akan diisi dengan latihan seperti biasa. Tapi, ada sesuatu yang aneh di udara-sebuah firasat buruk yang merayapi benaknya.

Saat dia tiba di tengah desa, suasana terasa tegang. Orang-orang berkumpul di sekitar papan pengumuman. Wajah-wajah mereka pucat, dan bisikan-bisikan panik menyebar di antara mereka. Rion berjalan mendekat, mencoba memahami situasi.

"Lihat ini," salah seorang penduduk berbisik pada temannya, "luka-luka itu seperti akibat serangan iblis..."

Rion segera berlari ke arah kerumunan. Di sana, terpampang sebuah pesan yang ditulis dengan darah:

"Kami datang untukmu, Orion Xavier. Bersiaplah."

Jantung Rion berdetak lebih cepat. Nama itu, Orion Xavier-namanya sendiri. Bagaimana iblis-iblis itu bisa tahu tentang dia? Apakah mereka tahu bahwa dia berlatih untuk menghancurkan mereka?

Di antara kerumunan, muncul Charlotte yang segera mendekat dengan wajah serius. "Rion, kita harus bicara," katanya tegas.

Mereka berjalan menjauh dari kerumunan, menuju tempat yang lebih sepi. Charlotte tidak menunggu lama untuk langsung berbicara. "Aku mendengar kabar dari seseorang di luar desa. Ada jejak iblis di dekat hutan sebelah utara."

Rion mengerutkan kening. "Dan apa hubungannya dengan pesan ini?"

Charlotte menatapnya tajam. "Jejak itu... mereka meninggalkan tanda khusus. Tanda yang hanya digunakan oleh iblis-iblis pembunuh yang dulu menyerang keluargamu."

Darah Rion mendidih saat mendengar itu. Seluruh ingatannya tentang malam kelam itu kembali menghantui pikirannya-ketika dia menemukan rumahnya dalam reruntuhan, tubuh orang tuanya tergeletak tak bernyawa, dan nyala api yang memusnahkan seluruh harapannya. Iblis-iblis itu yang bertanggung jawab.

"Aku akan membunuh mereka," bisik Rion dengan nada dingin, kemarahan membara di matanya.

"Tunggu, Rion," Charlotte memegang lengannya, mencoba menenangkannya. "Kita harus sabar. Kita nggak tahu seberapa kuat mereka. Jika kamu melawan tanpa rencana, kau akan berakhir seperti keluargamu."

Rion menatap Charlotte dengan tajam, tapi dia tahu bahwa gadis itu benar. "Baiklah, apa rencananya?"

Charlotte menghela napas lega. "Kita akan melacak jejak mereka, tapi kita harus menunggu hingga malam. Mereka bergerak di kegelapan, dan itulah saat terbaik untuk menghadapi mereka."

Rion mengangguk pelan. "Kalau begitu, kita akan tunggu. Aku akan pastikan mereka merasakan balas dendam yang sudah kutahan selama ini."

Malam tiba lebih cepat dari yang mereka duga. Di bawah bayangan bulan, Rion dan Charlotte bersiap di tepi hutan utara. Keduanya mengenakan jubah gelap untuk menyamarkan diri mereka di kegelapan. Charlotte membawa busur dan beberapa anak panah di punggungnya, sementara Rion menggenggam pedang pendeknya erat-erat.

"Jangan lengah," bisik Charlotte. "Mereka mungkin sudah tahu kita akan datang."

Langkah mereka pelan tapi mantap, menyusuri jejak samar yang tertinggal di tanah. Bau busuk dan angin yang dingin menyelimuti mereka semakin dalam ke hutan. Setiap cabang pohon yang bergerak membuat jantung Rion berdegup kencang, tapi dia terus maju.

Tiba-tiba, Charlotte berhenti. "Lihat itu," bisiknya sambil menunjuk ke depan.

Di kejauhan, tampak sosok-sosok besar dengan kulit hitam pekat dan mata merah menyala. Mereka bergerak cepat, menyusuri hutan dengan langkah-langkah berat yang mengguncang bumi. Itu adalah iblis-iblis yang sama yang menghancurkan hidup Rion.

"Mereka di sini," gumam Rion, suaranya penuh kebencian.

Charlotte meraih busurnya dan bersiap. "Ingat, kita harus melakukannya cepat dan tepat. Jika salah satu dari mereka lolos, kita dalam masalah besar."

Rion mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia hanya ingin menyerang dan membantai mereka semua. Dia merasa darahnya mendidih, amarah yang selama ini ia tahan, siap untuk meledak kapan saja.

Mereka berdua mengintai dari balik bayangan, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Dan saat itu tiba, semuanya berubah dalam sekejap.

Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cahaya Terakhir "The Last Hero" (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang