65. One by one

1.7K 108 23
                                    

"Kenapa ini harus terjadi padamu sayang," ucap Betaria sembari duduk menatap pintu ICU.

Henry pun sama, ia terpukul sekaligus kecewa dengan apa yang terjadi. Mengetahui putrinya dihamili oleh musuhnya adalah sesuatu yang menyakitkan. Dalam darah calon cucunya mengalir darah Nicholas. Dan Henry tidak bisa memungkiri itu.

Bagaimana ia bisa menerima kenyataan? Ini sangat menyakitkan. Nicholas bukan hanya monster bagi para wanita tetapi dia juga psikopat yang telah membunuh banyak nyawa.

"Betaria," ucap Henry mengelus pundak sang istri.

"Apa Anna tahu kalau dia sedang hamil?" lirih Betaria.

"Entahlah, kita akan tanyakan hal ini saat dia bangun nanti."

"Henry, aku benar-benar tidak siap jika harus kehilangan Anna." Betaria menangis sejadinya dalam pelukan sang suami.

"Kita sama-sama berdoa, semoga Anna bisa melewati masa kritisnya."

Hatinya sangat rapuh, saat ini yang paling penting adalah keselamatan putrinya. Bagi Betaria, urusan kehamilan Loanna bisa dibicarakan baik-baik. Meski ia kecewa, tetapi melihat putrinya selamat adalah hadiah paling indah.

Hari berganti, Betaria ataupun Henry tidak pernah sedikitpun meninggalkan ruangan ICU. Keduanya masih terus berharap sebuah keajaiban. Loanna terbangun dengan senyum indahnya.

"Ini sudah hari kedelapan, tapi Anna masih belum juga membuka mata." ucap Betaria.

Kedua pasangan suami istri ini terus berpegang tangan menguatkan satu sama lain.

"Jangan pernah putus dalam berdoa, Anna pasti akan sembuh."

"Jika terjadi sesuatu dengannya, aku adalah ibu yang paling buruk sedunia."

Henry mengusap air mata sang istri. Ia juga menautkan jarinya dibibir. "Stt jangan bicara seperti itu. Kau adalah ibu yang hebat untuk Anna."

"Seandainya-" belum sempat Betaria melanjutkan ucapan, Henry sudah menyela.

"Ini takdir, jangan pernah menyalahkan siapa pun."

Henry juga memeluk tubuh sang istri. Meski keadaannya sedang rapuh dengan kaki di gips tak membuatnya patah semangat untuk menenangkan sang istri.

Pintu ICU terbuka, muncul dokter dan perawat setelah memeriksa keadaan Loanna.

"Dok, apa ada perkembangan dari putri saya?" tanya Henry pada dokter tersebut.

"Belum ada. Kita terus saja berdoa semoga Tuhan memberi keajaiban."

"Apa kami bisa melihat kedalam dok?" lirih Betaria.

"Tentu, tetapi usahakan jangan ada air mata."

Betaria mendorong kursi rodanya masuk kedalam ICU. Keduanya saling berpegang tangan saat melihat putri semata wayangnya terbaring lemah dengan alat medis dibeberapa tubuh.

"Hai sweetheart, Daddy dan Mommy datang."
Henry dan Betaria duduk berdampingan saling memegang tangan sang putri.

"Anna, bangun sayang. Mommy sudah menyiapkan hadiah untukmu. Saat kau pergi, kau pernah janji akan kembali dengan selamat. Ayo bangun."

"Betaria, kau sudah berjanji pada dokter untuk tidak menangis."

"Maaf Henry, aku tidak bisa melihat putriku seperti ini. Aku rapuh." Betaria terus saja menghapus jejak air mata yang terus keluar.

"Anna adalah gadis yang kuat. Dia bisa melewati ini semua."

"Hm, aku percaya itu."

Selanjutnya tidak ada ungkapan apa pun. Mereka berdua sama-sama diam dan terus memantau kondisi putri semata wayangnya. Meski Henry terlihat tegar, jauh dari lubuh hatinya merasa kesakitan.

El SalvadorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang