Bab 2 Suara Pak Darwis

26 14 6
                                    


Murid-murid kelas enam tengah fokus mengerjakan tugas matematika di jam terakhir ini. Sepuluh soal tentang pecahan harus mereka selesaikan dalam waktu tiga puluh menit. Kelas menjadi hening sekarang, meskipun Pak Muh, guru matematika di kelas enam sedang ijin keluar kelas karena harus mengambil barang yang tertinggal di kantor.

Murid-murid mengerjakan tugas matematika dengan berbagai macam ekspresi. Ada yang memasang muka tegang, khawatir nilainya jelek, ada juga yang memasang muka kebingungan, dahinya berkerut, sudah berusaha menghitung, tapi tidak kunjung menemukan jawaban. Ada juga beberapa murid perempuan yang mengerjakan soal sambil menutup hidung mereka masing-masing. Ini bukan trik supaya tugas mereka cepat selesai, tapi karena kelasnya bau oleh keringat murid laki-laki yang tadi bermain futsal ketika jam istirahat.

"Aisss, kalian lebay sekali, sih! Pakai acara tutup hidung segala. Memangnya kami sebau itu?" kata Alex.

"Coba saja kalian cium sendiri bau badan kalian." sahut Freya.

"Ah, biasa aja, tuh! Kalian saja yang lebay." Alex menjawab sambil mengendus-endus badannya.

"Tentu saja, karena kamu sudah biasa mencium bau badanmu sendiri. Tapi orang lain kan tidak!" Freya membantah.

Ssstttt! Tiba-tiba semua murid kompak mengisyaratkan Alex dan Freya untuk diam. Terang saja, mereka sedang fokus berpikir untuk menyelesaikan soal matematika, eh malah ada yang ribut-ribut. Alex dan Freya pun paham dengan maksud mereka, lalu menghentikan perdebatan.

"Hey, Freya!" Cakra memanggil setengah berbisik, sedang yang dipanggil hanya melirik.

"Freya!" Cakra mengulangi panggilannya.

"Apa, sih?" jawab Freya ketus.

"Kami ingin minta bantuanmu." sambung Cakra.

"Apa!"

"Kamu kan ketua kelas. Kamu sering pergi ke kantor untuk menemui guru, jadi pasti kamu sudah biasa berhadapan dengan mereka, kan?"

"Terus?"

"Tolong bantu aku dan Alex untuk pinjam kunci gudang ke Pak Darwis."

"Buat apa?"

"Bola kami tadi masuk ke dalam gudang, kami mau ambil bolanya."

"Itu masalah kalian, bukan masalahku!"

"Ayolah, bukankah saling menolong itu baik?"

Sssttt! Murid-murid kembali mengisyaratkan kalau kelas berisik karena percakapan mereka. Freya diam, tidak menanggapi. Ia kembali fokus mengerjakan soal. Cakra berdecak kesal. Dasar pemburu nilai 100! Begitu katanya dalam hati. Cakra mengalihkan pandangannya ke kertas tugasnya, hufft! Kepalanya sudah pusing memikirkan cara meminta kunci gudang, masih ditambah dengan soal matematika yang rumit ini. Cakra menoleh ke teman di sebelahnya, eh! Dia malah tidur. Kepalanya sudah bersandar di atas meja menindih kertas tugasnya. Dasar Alex!

Pak Muh sudah kembali dari kantor. Ia berjalan berkeliling kelas, memeriksa satu per satu pekerjaan murid-muridnya. Sesekali Ia berhenti, mengambil buku salah satu murid, memeriksanya dan mengembalikannya lagi. Kadang dahinya berkerut, kadang juga manggut-manggut. Pak Muh hampir sampai di bangku Alex dan Cakra. Cakra melihat Alex masih tertidur pulas macam tak punya dosa.

Cakra menyenggol kaki Alex, namun Alex tetap tidak bergeming. Cakra menyenggol lebih keras lagi, hingga badan Alex terguncang, tapi tetap tidak berhasil. Cakra menepuk dahinya, Pak Muh semakin mendekat.

"Bagaimana tugasmu, Cakra?" tanya Pak Muh.

"Sedikit lagi selesai, Pak." jawab Cakra.

"Kau yakin? Kertasmu masih terlihat bersih, Cakra. apa kamu menulis dengan tinta transparan?" Pak Muh memeriksa kembali tugas Cakra, memang belum satu pun terisi. Murid-murid yang lain tertawa.

Truly GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang