6

638 150 15
                                    

_SD_

Leoze melangkahkan kakinya ke arah dapur. Sebenarnya dia malas harus menampakkan diri di pagi hari ini, karena sudah pasti di ruang makan keluarganya berkumpul tengah sarapan. Namun, rasa haus yang tak bisa lagi dia tahan, membuat dirinya harus menginjakkan kaki di dapur. Dirinya yang memasuki area dapur langsung mengambil atensi keluarganya, tapi Leoze memilih cuek, dia membuka kulkas dan mengambil botol air minum.

"Kak Zee, ayo sarapan bersama," celetuk Angel. Sudah lama mereka tak makan dalam satu meja yang sama.

"Kamu makan saja sendiri. Aku tidak lapar," jawab Leoze dengan dingin. Mendengar penolakan dari kakaknya, membuat Angel menunduk sedih.

Gracio yang melihat perubahan suasana hati anaknya, menghela napas pelan. Ia memperhatikan anak pertamanya yang akan beranjak dari sana, dengan segera dia menghentikannya. "Duduk dan makan Leoze! Kasihan adikmu. Lagipula kita keluarga, sudah seharusnya kamu ikut sarapan di meja ini."

"Aku tidak selera makan satu meja dengan kalian!" ungkap Leoze dengan pedas.

"Jaga bicaramu, Leoze!" bentak Gracio. "Setidaknya hormati aku sebagai ayahmu. Duduk dan makan!" kata Gracio dengan paksaan.

"Aku. Tidak. Mau!" jawab Leoze penuh dengan penekanan.

"Duduk jika kamu masih mau aku anggap anak!" perintah Gracio penuh dengan ancaman.

Semua orang di meja makan terdiam, menyaksikan perdebatan antara ayah dan anak. Napas Leoze naik turun menahan emosi, wajah putihnya perlahan memerah. Tangannya mengepal dengan kuat sampai terlihat urat-uratnya. Dengan perasaan kesal Leoze mengambil duduk di sebelah Angel. Melihat kakaknya mau makan bersama tentu membuat senyum dibibirnya terbit, tapi dalam hati merasa sedih mengapa harus ada perdebatan terlebih dahulu.

Daging sapi yang dihidangkan di piring besar, yang seharusnya nampak lezat dan menggugah selera makan mendadak tak membuat Leoze merasakan itu semua. Makanan yang masuk dimulutnya seakan rasanya pahit. Dia mengunyah makanan dengan pelan sambil menatap tajam pada Ayah dan mantan kekasihnya yang tengah makan itu. Betapa merekahnya senyum sang ayah dan tatapan kagum pada Shani. Ingin rasanya Leoze menusuk mata ayahnya sendiri dengan garpu yang dia pegang. Apakah dirinya harus berubah menjadi psikopat sekarang?

"Enak bukan rasa dagingnya?" tanya Gracio dengan perhatian pada Shani yang dibalas anggukan dan senyuman tipis. "Makanlah yang banyak. Angel, kamu juga harus makan yang banyak supaya cepat tumbuh besar."

"Leoze, bagaimana perkembangan perusahaanmu?" Gracio mulai pembicaraan pada anak pertamanya.

"Apa pedulimu?"

"Sshhh, bukan seperti itu. Kalau kamu butuh bantuan Daddy, Daddy akan dengan senang hati membantumu," jelas Gracio.

"Tak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri. Kau urus saja perusahaanmu sendiri," tolak Leoze mentah-mentah. "Aku tak ingin perusahaanku bernasib sama seperti milik Opa," lanjutnya.

"Leoze!" sentak Gracio.

"Apa?" tanya Leoze bernada seolah menantang.

"Sudah! Tak baik bertengkar di depan makanan. Zee, habiskan makanmu," celetuk Shani menengahi. Dia rasanya sudah muak karna hari-hari selalu ada pertengkaran dan perdebatan di dalam rumah.

Gracio menghela napas pelan dan mengusap rambut istrinya dengan pelan. Melihat pemandangan itu, Leoze seakan ingin membalikkan bumi ini, dia menggengam alat makannya dengan erat lalu dengan sengaja meletakkannya dengan kasar di atas piring yang masih terisi makanannya. Dia berdiri dan meraih botol minumnya, kakinya beranjak dengan cepat meninggalkan meja makan dengan rasa panas yang menyelimuti. Keluarga sekarang nya menatap kepergiannya.

"Dia semakin hari semakin tidak sopan. Apa ini yang diajarkan ibunya dulu?" kata Gracio.

"Daddy jangan membawa-bawa Mommy! Kak Zee menjadi seperti ini pasti karena ulah Daddy," sahut Angel yang membela kakaknya.

"Mengapa Daddy?" tanya Gracio yang seolah dia tak merasa melakukan kesalahan sama sekali.

"Tidak mungkin Daddy lupa. Daddy yang telah merebut kebahagiaan Kak Zee. Huh~ pagi yang buruk! Aku berangkat sekolah dulu." Angel meraih tasnya dan ikut pergi meninggalkan meja makan. Daripada merasakan ketegangan di rumah, dia memilih segera ke sekolah bertemu teman-temannya.

"Maaf Shan, sarapan kali ini kacau. Semua karna anak itu," kata Gracio yang lagi-lagi menyalahkan anak pertamanya.

"Jangan menyalahkan siapa pun om," kata Shani.

"Tidak bisakah kamu mengubah panggilan menjadi Mas saja?" tanya Gracio. Mereka sudah menikah, tapi Shani masih saja enggan memanggilnya dengan sebutan Mas. Shani hanya diam tak menanggapi. Dia merasa tak nyaman dan bahkan tak mau sampai kapan pun itu harus memanggil yang dulu calon mertuanya itu Mas. Dia tak akan bisa. "Baiklah, senyaman kamu saja. Tapi saya menunggu waktu itu tiba."


















Leoze kalau ga kuat angkat kaki aja.

Dah maap buat typo.

SEBUAH DRAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang