***
Semakin malam bukan semakin sepi malah semakin ramai, gue mendadak jadi enggak tega sama pekerja gue yang semakin kuwalahan buat ngelayanin pembeli. Antrian makin panjang, dengan perkara sinyal jelek untuk melakukan pembayaran via qris, rasanya gue jadi pengen bikin tower sendiri di dekat foodtruck milik gue ini. Setidaknya buat mereka-mereka yang mau jajan di tempat gue, enggak kesulitan sinyal perkara tuk bayar makanan aja.
Enggak ragu sedikitpun tuk mengangkat sampah bekas makanan atau minuman, serta mengelap beberapa meja kayu tuk tempat duduk customer, gue yang tadi udah keringetan karena olah raga, malah nambah keringetan karena aktivitas ini. Seger sih emang, berasa racun-racun ditubuh keluar lewat keringet, tapi kok lama-lama ya capek juga rasanya. Sejenak jeda, bersandar pada sisi mobil foodtruck milik gue, seorang karyawan cowok dekatin gue, dan kasih gue minuman. Air putih dalam botol kemasan itu udah sengaja dia bukain tutupnya, biar gue tinggal neguk doang. Lumayan lah service yang dia lakuin. Asal enggak ada maksud lain aja dari service yang dia lakuin ini.
"Pak, itu ada teman-teman wartawan yang merapat," ucapnya sambil memberikan kode melalui lirikan.
Amat sangat familiar dengan wajah ketiga wartawan itu, gue berusaha tuk menjaga senyum supaya enggak ada kabar buruk yang mereka posting esok hari.
"Selamat malam mas Daka."
"Wih, bapak Daka sekarang lah. Kalian lupa Perusahaan milik pak Daka kemarin dapat penghargaan internasional. International Engine & Powertrain of the Year."
"Owh, iyakah. Masuk 10 besar dong, Pak?"
"Untungnya masuk," jawab gue berusaha bijak.
Sadar kalau salah seorang karyawan gue udah siapin tempat untuk kami mengobrol-ngobrol malam ini, gue langsung aja mengarahkan para wartawan itu untuk duduk di sana. Sambil disajikan minuman kopi unggulan dari bisnis gue ini, satu persatu dari mereka mulai memuji kenikmatan yang lidah mereka rasakan.
"Habis ini mau bisnis apalagi, Mas?"
Gue senyum. Ikut meneguk kopi tersebut, enggak lupa gue melepaskan suara aahhh dengan kencang, seolah menggambarkan betapa nikmatnya kopi ini.
"Menurut gue, bisnis bukan ajang banyak-banyakan. Sebelum bergerak di bidang F&B, gue juga ngejalanin bisnis mesin itu sampai 5 tahun dulu. Enggak tergiur sama hal-hal lain. Fokus aja dulu satu, kalau udah bisa settle, baru lanjut bisnis yang lain. Lagi juga, bisnis yang gue harapkan bukan yang sekarang meledak besok hilang. Tapi gue coba cari yang jangka panjang. Karena jelas percuma lo udah keluarin modal, tenaga dan pikiran, kalau ujung-ujungnya gulung tikar."
"Nah, ini toh pikiran yang mantep. Kalau orang-orang kan kebanyakan aji mumpung," sahut salah satunya. Gue meringis aja waktu dengar kalimat ini.
"Trus ngomong-ngomong bangun rumah tangganya kapan, Mas? Masa iya Nandaka Buana Wijaya cuma ahli bangun bisnis. Tapi untuk urusan menemukan pasangan hidup nol besar sih. Atau ... apa ada kemungkinan perjodohan tuk memperkuat Kerajaan bisnis bakalan dilakuin?"
Terlihat seperti yang paling tahu dengan kondisi gue, gue tatap satu persatu wajah wartawan ini. Kadang mereka hanya demi bisa lancar dalam pekerjaan rela menulis soal kebohongan mengenai kehidupan orang lain.
"Kalian kan tahu nama gue Nandaka Buana Wijaya, bukan Taomingse. Jadi enggak mungkin ada Sanchai dalam hidup gue ini."
Tertawa lepas, ketiga wartawan itu saling melirik sebelum menyahuti kalimat gue dengan candaan kurang ajar.
"Iya, Mas. Emang enggak akan ada Sanchai dalam kehidupan, Mas. Tapi mungkin aja ada nama Joko di sana."
----------------------------------------------------------
Joko siapamu, Mas Daka?
Kalo ini sapa, Mas? Yang suka olah raga bareng di GBK sambil nemenin kontrol foodtruck?
KAMU SEDANG MEMBACA
Roomies
General FictionNandaka Buana Wijaya, atau Daka, adalah pria 27 tahun yang tampak punya segalanya-karier gemilang di bisnis mesin mobil mewah dan apartemen super eksklusif di jantung ibukota. Tapi di balik kesuksesan itu, ada ruang kosong yang tak terisi. Di tengah...