Gue lagi duduk di teras rumah Eyang sambil ngerasain angin malam yang sejuk. Beberapa kerabat sudah berpamitan. Papa juga sudah pulang duluan karena Mama mau menginap di sini satu malam lagi. Pikiran gue masih penuh sama kejadian tadi siang, waktu Papa tiba-tiba dateng dan nyela obrolan gue sama Mama. Tapi sebelum gue bisa lebih jauh mikirin hal itu, Om Bambang tiba-tiba manggil gue.
"Eld, ikut Om sebentar. Ada yang mau Om omongin," katanya dengan nada serius, beda dari biasanya.
Gue langsung bangkit dan ngikutin dia ke ruang kerja Eyang, jauh dari keramaian keluarga yang masih ngobrol di ruang tamu. Ruangan itu sepi, hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas. Om Bambang duduk di kursi, mukanya serius banget. Gue langsung bisa nebak kalau ini bukan pembicaraan biasa.
"Eld, Om butuh bantuan kamu," katanya sambil menatap gue tajam.
Gue menarik kursi dan duduk di hadapannya, ngerasa ada yang nggak beres. "Bantuan apa, Om?"
Om Bambang narik napas dalam sebelum jawab. "Kamu harus antar seorang anak ke panti asuhan. Anak ini... nggak bisa tinggal di dekat kita."
Gue kaget dan langsung nanya, "Siapa anak ini, Om? Kenapa harus diantar ke panti?"
Om Bambang diam sejenak, kayak nimbang-nimbang apa dia harus cerita semuanya. Tapi akhirnya dia buka suara. "Anak ini... anak haram Eyang."
Gue terdiam, ngerasa kayak baru aja disambar petir di dalam ruangan. "E-eyang ... Eyang punya anak lagi? Om serius?"
Om Bambang mengangguk pelan dengan ekspresi yang tetap serius. "Iya, Eld. Ini anak dari hubungan Eyang di luar pernikahan. Sekarang anak ini ada di rumah Eyang yang lain, dan kita nggak bisa biarin dia tetap di dekat keluarga ini. Kalau nggak, bisa ada masalah besar, terutama soal warisan di masa depan. Om nggak tahu siapa ibunya anak ini, tapi bukan nggak mungkin ibu anak ini atau bahkan anak ini yang akan bikin masalah."
Gue makin kaget, otak gue berusaha mencerna semua yang baru aja gue denger. "Jadi, Om mau aku buang anak ini? Ini berat, Om... Gimana aku bisa ngelakuin itu?"
Om Bambang natap gue dengan tatapan penuh keyakinan. "Om ngerti ini nggak gampang, Eld. Tapi kamu harus percaya sama Om. Anak ini bisa bikin masalah besar nantinya. Eyang udah tua, dan masalah warisan bisa jadi kacau kalau dia muncul di kemudian hari. Ini buat kebaikan keluarga. Buat kamu dan mama kamu juga."
Gue diem, ngerasa serba salah. Di satu sisi, gue tahu Om Bambang selalu mikirin yang terbaik buat keluarga, tapi di sisi lain, gimana mungkin gue bisa ngelakuin ini? Ini anak kecil yang nggak tahu apa-apa, hasil dari kesalahan orang dewasa.
Tatapan tegas Om Bambang bikin gue nggak bisa langsung nolak. Gue tahu dia nggak pernah main-main soal urusan keluarga, mirip banget sama Eyang.
"Om, aku nggak yakin aku bisa ngelakuin ini," suara gue lirih.
Om Bambang narik napas panjang. "Om nggak nyuruh kamu buat suka sama keputusan ini, Eld. Om cuma minta kamu lakukan apa yang harus dilakukan. Kadang, buat melindungi keluarga, kita harus ngelakuin hal yang nggak kita suka."
Gue menunduk, ngerasa makin terjebak di antara moral dan kewajiban keluarga. Hati gue berat, tapi otak gue tahu kalau Om Bambang nggak mungkin asal ngomong. Namun, ini tetap tugas yang nggak gampang buat gue. Gue nggak tahu gimana harus ngejalaninnya. I feel confused about what to do because it goes against my conscience.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roomies
General FictionNandaka Buana Wijaya, atau Daka, adalah pria 27 tahun yang tampak punya segalanya-karier gemilang di bisnis mesin mobil mewah dan apartemen super eksklusif di jantung ibukota. Tapi di balik kesuksesan itu, ada ruang kosong yang tak terisi. Di tengah...