Gue angkat alis. "Saya?"
"Iya, pak Daka. Masa saya. Kalau saya mah mana bisa blokir nomor telepon cewek cantik." katanya sambil nyengir.
Gue ketawa lepas. Yes, gue setuju. Alana emang cantik.
Bayangin wajahnya aja udah bikin orang tersenyum. Rambut panjangnya, hitam legam, selalu tergerai rapi kayak model iklan shampoo. Kulitnya putih bersih, selalu terlihat glowing di mana pun dia berada. Matanya? Tajam, tapi punya sorot lembut yang bisa bikin orang betah lama-lama ngobrol sama dia. Senyumnya juga enggak main-main, manis banget, apalagi kalau dia lagi ketawa—bisa bikin orang lupa sama dunia.
Penampilannya selalu modis, tapi enggak berlebihan. Alana tahu gimana caranya tampil elegan tanpa harus pamer. Paduan celana panjang dan blouse berwarna pastel yang dia pakai terakhir kali kami ketemu masih terbayang jelas di kepala gue. Simple, tapi classy. Kalau orang lihat kami jalan bareng, pasti mikir kami pasangan yang serasi. Gue bahkan pernah dengar temen-temen gue bilang kalau kami cocok banget. Di mata orang lain, mungkin begitu.
Tapi... buat gue, enggak. Ada yang kurang. Alana emang baik, cantik, pintar, dan tahu gimana cara bawa diri di lingkungan mana pun. Tapi entah kenapa, gue enggak pernah ngerasain perasaan lebih dari sekadar temen. Kami ngobrol, ketawa, nongkrong bareng, tapi di hati gue, enggak ada perasaan spesial. Enggak ada getaran.
Gue respect sama Alana, dan gue seneng bisa punya temen cewek yang kayak dia. Hanya sampai disitu, enggak ada lebihnya. Cuma kalau sampai ada yang bilang gue enggak normal karena enggak suka sama cewek secantik Alana, wah ... kurang ajar namanya. Enggak semua cewek cantik harus disukai, terus lanjut dimiliki. No! Jadi stop berlomba-lomba memiliki orang yang memiliki rupa cantik atau ganteng. Kadang mereka ada di dunia ini untuk melengkapi kekurangan wajah kita.
"Gimana, Pak? Perlu saya hubungi mbak Alana buat konfirmasi ke beliau kalau pak Daka enggak blokir nomornya dia?"
"Hahaha, enggak usah. Nanti saya aja yang hubungi dia langsung."
"Baik, Pak."
Melihat Bayu mulai putar badan tuk keluar dari ruangan gue, buru-buru gue panggil dia. Setidaknya gue pengen dengar komentar dari dia, orang terdekat gue, mengenai gosip yang wartawan tulis dalam info media kali ini.
"Bay ... kamu udah baca gosip hari ini?"
"Gosip? Gosip apa, Pak?"
"Soal saya."
"Soal bapak?"
Bayu nanya balik, ekspresinya berubah hati-hati. Ah, jelas dia udah dengar gosip itu. Kalau gosip udah nyebar sampai ke telinga karyawan gue, berarti ini udah jadi bahan omongan di kantor.
"Iya, soal saya yang dibilang homo," kata gue pelan, sambil natap dia. Tangan gue bersidekap, menunggu reaksi dia. Gue penasaran, gimana Bayu, orang yang paling deket sama gue di kantor, bakal nanggepin ini.
Bayu diem sebentar, kelihatan mikir. Mukanya datar, enggak ada ekspresi kaget atau bingung. Gue tahu dia pasti udah dengar dari orang-orang, tapi dia tetap profesional, enggak mau asal bicara sebelum gue konfirmasi.
"Saya enggak percaya gosip, Pak," jawab Bayu, nadanya tegas tapi tetap sopan. "Orang-orang bisa ngomong apa aja tanpa tahu fakta sebenarnya, kan?"
Gue angguk pelan, tapi masih menatap dia lekat-lekat. "Dan menurut kamu?"
Bayu narik napas, matanya ketemu sama gue. "Menurut saya, bapak tetap bos saya yang sama. Enggak peduli apa pun yang orang bilang di luar sana. Mereka enggak tahu bapak kayak apa sebenarnya. Sedangkan saya, hampir 10 jam sehari nemuin Bapak. Saya bahkan tahu siapa saja orang yang Bapak temui sehari-harinya. Termasuk saya juga tahu soal mas Eldrian. Jadi jangan karena gosip ini pikiran pak Daka jadi kusut. Amat sangat merugi jika pak Daka sampai dalam kondisi seperti itu."
Jawaban Bayu bikin gue sedikit lega. Gue tahu dia bisa diandalkan, tapi mendengar langsung dari mulutnya bikin gue ngerasa lebih baik.
"Thanks, Bay," gue senyum tipis. "Tapi tetap, gosip kayak gini bisa ngeganggu bisnis. Kita harus waspada."
"Pasti, Pak. Saya bakal siapin langkah buat jaga-jaga kalau gosip ini makin besar."
Gue angguk lagi, ngerasa tenang. Bayu memang orang yang selalu bisa diandalkan.
-------------------------------------------------------------------
Pernah gak sih kalian dengar gosip tentang kalian sendiri? Trus yang digosipin itu hal yang enggak benar.
nah, apa yang kalian lakuin kalo dalam posisi itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Roomies
General FictionNandaka Buana Wijaya, atau Daka, adalah pria 27 tahun yang tampak punya segalanya-karier gemilang di bisnis mesin mobil mewah dan apartemen super eksklusif di jantung ibukota. Tapi di balik kesuksesan itu, ada ruang kosong yang tak terisi. Di tengah...