***
"Buset! Fitnahnya!!!"
Niat hati habis bersih-bersih, gue pengen langsung tidur setelah semua kelelahan yang gue rasain, eh ... enggak tahunya si brengsek-brengsek itu, alias wartawan gila, bisa-bisanya bikin narasi kurang ajar soal cerita kami tadi. Mereka mengemas hasil pembicaraan gue dalam bentuk ke ambiguan. Sampai-sampai gue yakin, yang baca kabar ini, mereka pasti menyimpulkan gue ada kelainan seksual. Ya, lagian, tulisan judul beritanya begini.
Jangan menilai orang dari nama, Nandaka Buana memberikan komentar, tidak ada salahnya dengan nama Joko?
"Kenapa dipenggal begini kalimatnya? Sialan banget tuh wartawan. Ini mah sama aja bikin yang baca jadi mikir yang enggak-enggak!"
Cuma bisa ngamuk-ngamuk di kamar, jujur gue sendiri pun bingung, sampai sebegininya wartawan bikin gosip biar menarik perhatian orang.
"Dari banyak hal yang gue bahas sama mereka, kenapa yang diangkat cuma nama JOKO doang? Kelihatan banget emang sengaja bikin gue digosipin."
Udah habis tenaga berolah raga dan bekerja, ditambah rasa kesal karena dibikinkan gosip sama wartawan, gue sampai males memperdebatkan ini. Karena kalau gue berusaha tuk melawan wartawan, nanti yang ada mereka berlindung dibalik kata kebebasan pers. Padahal kalau kayak gini kasusnya bukan kebebasan pers lagi, tapi yang ada pencemaran nama baik gue.
Melemparkan ponsel ke sisi ranjang yang lain, gue dengar seseorang ketuk pintu kamar gue dari luar. Suara Eld kemudian terdengar berteriak, memanggil nama gue, berharap gue notice diwaktu tengah malam seperti ini.
"Apa?" tanya gue setelah membuka pintu kamar.
Dia menguap lebar, kemudian kedua matanya menatap gue dengan kondisi setengah terpejam.
"Lo enggak bawain gue makanan apapun?"
Sebelah alis gue keangkat. Makanan? Emang nih anak nitip?
"Bro, jangan bengong lah. Gue laper. Kalau belum makan gue enggak bisa tidur," katanya sembari cengengesan.
Gue perhatiin keadaan dia yang amat sangat mengenaskan. Pakai celana boxer pendek, dan tshirt putih udah melar di sekitaran leher, dia kelihatan banget macem cowok-cowok miskin pada umumnya. Tapi yang bikin gue aneh, dia bisa bayar sewa apartemen ini ke gue? Kan tandanya nih anak mampu.
"Emang lo pesan makanan ke gue? Kan, enggak! Trus kenapa sekarang nagih?"
Tatapan setengah mengantuk dari dia, mendadak terbuka lebar. Kondisi dia sekarang seperti menggambarkan gue salah bicara. Lah, kan emang begitu kenyataannya?
"Emang gue harus nitip dulu baru lo beli makanan?"
"Iyalah. Mana gue tahu lo mau makan apa!"
"Lo keterlaluan sih."
"Keterlaluan apa?" tahan gue setelah dia putar badan. Kecewa? Ah, ini mah akal-akalan dia aja.
"Kemarin kan udah gue bikin tempe goreng saus jamur. Ya, setidaknya hari ini gantian lah. Lo minimal beliin gue makan. Gue kan tahu nih, lo enggak bisa masak, masa iya dengan kekayaan lo ini, enggak bisa beliin gue makan malam."
Ngerutin kening, satu yang bikin gue sadar, ternyata dia pamrih juga jadi orang.
"Jadi lo pamrih?"
"Bukan pamrih, tapi kan kita roomies. Masa iya supply dari gue doang. Lo juga, lah!"
Makin enggak paham arah pembicaraannya, gue tatap sendal rumah punya gue yang sekarang kayaknya udah jadi hak milik dia.
"Owh, gitu ya, bro. Lo doang yang supply? Lo enggak lihat tuh kaki lo. Gue lihat-lihat banyak barang gue yang lo pakai. Belum lagi ...."
"Ah, enggak asik. Lo hitung-hitungan dalam semua hal."
Gue makin enggak paham isi pikiran si Eld. Dia duluan yang ungkit soal supply. Tapi pas gue jabarin, dia yang ngerasa tersakiti.
Sebelum putar badannya lagi, si Eld ngelirik gue sambil bergumam pelan. "Besok gue belanja deh. Buat masakin lo. Lo ada request enggak mau dimasakin apa?"
"Gue mau dimasakin kesadaran lo aja."
"Brengsek lo, bro!"
------------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Roomies
General FictionNandaka Buana Wijaya, atau Daka, adalah pria 27 tahun yang tampak punya segalanya-karier gemilang di bisnis mesin mobil mewah dan apartemen super eksklusif di jantung ibukota. Tapi di balik kesuksesan itu, ada ruang kosong yang tak terisi. Di tengah...