Pas gue lagi masak, Daka muncul dengan senyum lebar di wajahnya. Dia langsung nyium bau masakan gue.
"Apa tuh, Bro? Masak apa lo?" tanya dia sambil ngeliat ke arah teflon.
"Tempe goreng saos jamur," jawab gue singkat tanpa niat buat ngobrol lebih lanjut. Gue masih kesel sama dia, tapi gue juga nggak mau ngedumel pagi-pagi begini. Perut gue lebih membutuhkan bantuan setelah semalam gue skip makan saking ngantuknya begitu nyampe kamar. Gue lagi nggak berselera makan dan lebih memilih tidur. Kadang gue memang nggak lapar kalau udah terlalu capek.
Daka merhatiin gue yang mindahin isi teflon ke piring. Nggak pake aba-aba, dia langsung ngambil satu potong tempe. Dia masukin ke mulutnya langsung bikin gue mendelik. "Udah cuci tangan?" tanya gue rada jengkel.
"Enak juga, nih!" katanya dengan mulut masih penuh. Dia sengaja nggak jawab pertanyaan gue. "Lo tahu nggak, ini bisa jadi menu baru di foodtruck gue."
Gue ngeliat dia dengan tatapan nggak percaya. "Lo serius? Tempe goreng saos jamur lo bilang bisa jadi menu baru?"
Dia angguk, matanya berbinar. "Serius, Bro! Orang-orang sekarang suka yang simpel tapi beda kayak gini. Gue yakin ini bakal jadi salah satu favorit."
Gue hanya bisa mendesah, setengah nggak percaya dengan apa yang gue denger. Di satu sisi, gue kesal karena bahan-bahan yang gue beli selalu diambil seenaknya buat foodtruck-nya. Tapi di sisi lain, ada sedikit rasa bangga juga. Daka selalu bisa ngeliat potensi dari hal-hal sederhana, dan meskipun gue kesel, gue juga nggak bisa bohong kalau gue senang masakan gue disukai.
Tapi tetep aja, gue harus ngomongin soal bahan makanan yang sering dipakai tanpa ijin. "Daka, lo tahu nggak, bahan-bahan yang gue beli itu buat kita makan di sini, bukan buat lo pake eksperimen menu baru di foodtruck. Gue nggak keberatan lo pake, tapi bisa nggak lo ganti bahan-bahan yang lo ambil?"
Daka berhenti ngunyah dan ngeliat gue dengan tatapan sedikit bersalah. "Gue ganti uang ya, Bro? Gue nggak ingat apa aja yang udah gue pake."
Gue memicing dan menipiskan bibir. Kalo soal uang, gue nggak akan bawel begini. Masalahnya effort yang sudah gue keluarkan buat bisa nyetok bahan-bahan itu. Turun ke supermarket di bawah apartemen memang mudah, tapi menyusuri rak ke rak dan memilih daging segar di jajaran daging itu capek. Belum lagi antriannya di kasir. Apalagi kalau harus mempertimbangkan kemampuan makan Daka yang sering 'menggila' tiap habis fitness, jumlah belanjaan gue bisa dihitung stok buat lima orang seminggu. Asli, Daka ini kadang bisa kayak emak-emak kompleks yang rutin senam sehat tapi pulangnya mukbang batagor, bakso, dan somay. Kenapa gue bisa tahu? Karena fenomena ini gue tahu dari karyawan gue slash si emak-emak kompleks yang resolusi tahunannya selalu diet dan turunin BB tapi usahanya sering kepentok nafsu makan dan nafsu mata.
"Oh, iya, maaf Bro. Gue nggak nyadar kalau itu bakal ngerepotin lo. Ntar gue ganti deh bahan-bahannya." Daka meralat tawarannya.
Gue ngangguk, merasa sedikit lega. Setidaknya dia ngerti maksud gue. Gue nggak mau terus-terusan kesel cuma karena masalah kecil kayak gini. Gue mengambil nasi ke dua piring, lalu membawa dua piring itu ke island, sementara Daka sudah duduk manis di stool seakan paham salah satu piring bakal jadi jatahnya makan. Gue berdecak tapi tetap menyerahkan salah satu piring ke depan Daka.
Sambil menyuap semunjung nasi, ingatan gue kembali ke beberapa bulan lalu. Saat itu, semuanya berantakan. Gue inget jelas gimana akhirnya gue mutusin buat tinggal di luar rumah setelah pertengkaran hebat sama Papa. Semua diawali dari hal-hal kecil yang lama-lama meledak jadi masalah besar. Papa selalu merendahkan Mama dan gue nggak tahan lagi ngeliat itu setiap hari. Ketika gue ngelawan, Mama justru minta gue buat pergi, buat nyari ketenangan. Kata Mama, mungkin gue bakal lebih baik kalau tinggal di luar dan menjauh dari konflik di rumah. Berat hati gue meninggalkan Mama, apalagi ninggalin dia sendirian di rumah bareng Papa. Tapi, gue juga nggak mau ngecewain Mama yang baru kali itu memohon sesuatu ke gue.
Setelah mutusin buat pergi dari rumah, gue teringat sama Alana, sahabat gue sejak SMA. Dia yang ngenalin gue ke Daka, terus nggak lama setelah itu gue pindah ke apartemen ini. Alana bilang dia kenal Daka gara-gara ketemu nggak sengaja pas mereka sama-sama nonton latihan softball di Senayan. Katanya, mereka deket karena main Mobile Legends bareng. Aneh sih, tapi gue nggak nanya lebih lanjut. Buat gue, yang penting Alana nggak ada rasa sama Daka. Itu aja udah cukup. Soalnya, udah lama gue naksir sama Alana. Kita udah temenan sejak kelas sebelas SMA, dan seiring waktu, rasa itu makin kuat. Tapi gue nggak pernah nyatain perasaan gue, takut persahabatan kita jadi rusak. I value our friendship so much that I'm willing to keep my feelings to myself, even if it means hiding my love for her.
-------------------------------------------------------
Gacoan dulu gak sih?
Eld Nongkrong di Gacoan
KAMU SEDANG MEMBACA
Roomies
General FictionNandaka Buana Wijaya, atau Daka, adalah pria 27 tahun yang tampak punya segalanya-karier gemilang di bisnis mesin mobil mewah dan apartemen super eksklusif di jantung ibukota. Tapi di balik kesuksesan itu, ada ruang kosong yang tak terisi. Di tengah...