Bab 3.

1.4K 385 22
                                    

Galen mengalihkan tatapan pada kakak tertuanya, menaikkan sudut bibir risih karena raut wajah Varro. "Tumben kembali cepat? Biasanya satu bulan baru kau akan kembali, dan apa-apaan wajah itu, Menjijikkan, " ejek Galen terang-terangan.

Aneh karena kehadiran Varro yang kembali lebih awal, karena biasanya, setelah keluar hari ini, maka saudaranya itu akan kembali sebulan kemudian. Bahkan bisa sampai dua bulan.

Varro hanya melirik Galen tak minat, dia mengambil gelas dan menuangkan Vodka kedalam gelas tersebut lalu menegaknya hingga tandas.

"Si tengah..." Varro menggantung ucapannya. Tangannya kembali meraih botol Vodka  dan mengisi penuh gelas mininya. Berbalik memandang Galen tajam. "Apa kau tau ada hal yang berbeda darinya?"

Galen menganggukkan kepala lalu kembali mengangkat ponsel sembari menjawab. "Mungkin iya? Seperti dia melewatkan sarapan pagi dan memilih untuk tidur."

"Kau tau bukan? Si tengah tak akan pernah absen untuk hadir dan membuatku risih. Sungguh, apa kepalanya terbentur kemudian dia sadar kalau apa yang dia lakukan itu memuakkan?" Galen terkekeh kecil ketika selesai mengucapkan hal demikian.

Tak

Gelas kosong itu Varro letakkan. Mata tajamnya tak berhenti menatap Galen. Memerhatikan setiap gerak yang dilakukan oleh adik pertamanya itu. "Kau, berhasil melakukannya?"

Galen menarik sudut bibir. "Tidak ada kata gagal dalam kamus hidupku, " jawabnya bangga. Galen menyeringai ketika Varro sadar tentang kesuksesan dirinya dalam menyelesaikan misi dari Liam.

Varro mengendikkan bahu, tak peduli pada kesombongan disetiap kata yang Galen ucapkan. "Poel menunggu dengan tak sabar jika kau gagal."

"Markas di pulau Phoebe telah diserang oleh Thorell. Hampir 40% senjata direbut oleh mereka, " ujar Galen. Dia mengangkat ponsel dan menunjukkannya pada Varro. Pesan yang baru saja dia terima dari seseorang diperuntukkan bagi saudaranya itu.

"Kakek memintamu untuk mengurusnya." Menarik kembali ponselnya, Galen kembali disibukkan oleh ponsel. Seakan berita yang dia ucapkan barusan merupakan hal biasa.

Varro berdecak kecil, tak lama dari itu ... Sebuah suara terdengar.

"Varro kau dengar? Tangkap Thorell secepatnya. Abaikan senjata lain, cari satu senjata berharga yang di pesan khusus oleh seseorang. Jika kita kehilangan senjata itu, kita akan berada situasi rumit, " Ujar seseorang melewati earbuds kecil di telinga Varro.

"Hm." Varro mengangkat tangan, dia memencet sesuatu pada jam tangannya. Dia memutuskan panggilan secara sepihak dan menghubungi seseorang.

Pip

"Ya tuan?"

"Mark, Urus Thorell, " titah Varro kemudian mematikan sambungan. Dia membuang earbudsnya dan melenggang pergi. Dari pada bajingan Thorell, dia lebih tertarik pada sesuatu.

Galen menaikkan sebelah alis. Merasa aneh karena sikap Varro. Orang sepertinya melewatkan misi? Sungguh, saudaranya itu melewatkannya dan melempar tugas pada tangan kanannya?

Memilih mengangkat bahu acuh, Galen kembali menatap ponselnya. Walaupun tingkah kakaknya begitu menarik untuk dibahas, Galen tidak ingin menggali lebih dalam.

*

Dito menggeliat tak nyaman dalam tidurnya. Lelaki itu sesekali mengernyit dan mendesis memegang perut. Tidurnya terganggu karena hal itu.

Dito membuka mata paksa, tatapan matanya menajam karena kesal. Dia mengantuk, tapi harus terbangun karena diterjang rasa lapar yang tiba-tiba saja datang.

Sial, mengapa manusia harus merasakan lapar. Kenapa manusia harus makan. Harusnya manusia sudah cukup dengan tidur.

Dito terlalu malas untuk beranjak. Di sisi lain dia tak ingin keluar karena alasan ketakutan. Terakhir kali berinteraksi dengan Varro pun berhasil membuat dirinya semakin ingin menenggelamkan diri dalam selimut hangat.

Lelaki itu menyeramkan. Dito baru saja bertemu dengan dua anggota keluarga Winata. Namun sudah  membuat Dito semakin enggan keluar kamar. Sialan, Ito. Lelaki itu menambah beban pada hidup sama Dito.

Pergerakan tak rela harus Dito lakukan. Meski berat hati Dito berpisah dengan ranjang hangatnya untuk memanjakan isi perutnya. Kaki kecilnya harus berjuang karena rasa dingin menjalar ketika dia menapaki lantai marmer.

Melirik ke sana sini berharap menemukan sandal berbulu yan- oke, Dito menemukannya. Mungkin nanti Dito akan mencari sesuatu seperti karpet lembut dan memenuhi seluruh ruangan dengan karpet tersebut.

Dito mulai melangkah keluar kamar. Mengenakan kaos putih kebesaran dan celana yang tenggelam dalam kaos tersebut. Menampilkan paha mulus serta bentuk kaki yang diidamkan oleh sebagian wanita.

Dengan rambut acak-acakan dan wajah bantalnya. Dito berjalan sembari melakukan kebiasaannya. Menggaruk perut ataupun area sekitarnya. Membuat perut mulus Dito Winata terlihat bagi penjaga yang berjaga disetiap sudutnya.

Hoammm

Dito menyuap lebar, mulut kecil itu menganga hingga mata Dito menyipit. Menyebabkan satu tetes air mata keluar dari kelopak matanya. "Jikalau ada obat ampuh yang mengenyangkan selama satu minggu, " gumamnya linglung.

Dito berjalan melewati tangga, melangkah perlahan karena Dito sadar bahwa dia sedang mengantuk. Sial, baru saja bangun tidur, tapi dia belum puas mengarungi alam mimpi.

Dito mengucek-ucek matanya. Berharap mengurangi kantuk yang menyerang. Dia ingin sekali berbalik dan melanjutkan tidur tampannya. Tetapi perutnya berbunyi keras pertanda minta di isi.

"Duh, ngantuk, " gumamnya menggaruk leher sembari menapaki anak lantai terakhir. Tak sengaja kakinya menyandung kakinya sendiri sampai tubuhnya limbung siap menghantam lantai.

Dito tidak begitu merespon karena ngantuknya. Tubuhnya pasrah ia hantamkan ke lantai jikalau tidak ada yang menangkap tubuhnya. Karena saat ini, seseorang memegang tubuhnya dengan satu tangan.

"Mau mati?" ujar dingin seseorang. Seluruh bulu kuduk Dito berdiri. Apa-apaan suara itu.

Seseorang yang ternyata Jairo, dia berwajah datar. Jairo yang sejak tadi mengamati pergerakan kakak ketiganya dibuat heran.  Jantungnya mendadak terhenti, dalam benak bertanya. Apakah ini taktik baru agar diperhatikan.

Tetapi meski dia tau hal tersebut, mengapa Jairo menangkap tubuh kecil ini. Mengapa Jairo tidak mengusir lelaki itu seperti biasanya. Ada apa dengan respon tubuhnya hari ini.

"Mungkin itu taktik barunya. Ingin di peluk dengan cara klise, " sahut Galen yang tiba-tiba datang. Dia juga memandang Dito tajam. Melihat wajah Dito yang menunduk ketakutan.

"Memalukan ... Apa kau tidak malu? Di usiamu yang sekarang, apa kau tidak punya otak?" hina Galen. Tatapannya beradu dengan tatapan adik bungsunya. Galen memandang Jairo mengkode si bungsu untuk memberikan Dito padanya.

Jairo memutuskan pandangan lebih dulu. Dia membenarkan posisi Dito hingga terpaksa lelaki itu menatap kedua orang di hadapannya.

Mati-matian Dito berdoa dalam hati, semoga kesialannya tidak semakin parah. Bertemu dengan Jairo diwaktu seperti ini sungguh tak terduga.

Kantuk Dito pergi seakan kantuk itu sendiri takut akan keberadaan keturunan Winata didepannya.


Tbc.

DitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang