Bab 8.

700 283 20
                                    


Dito membuka mata, sedikit menyipit sebab sinar matahari memaksa masuk lewat sela gorden. Kali ini, bukan kedinginan yang dia rasakan. Namun hangat menyelimuti sama seperti sebelumnya. Kehangatan dari tempat tidurnya sekarang, yang berarti bahwa dia masih mejadi Dito Winata.

Dito pun menghela nafas, dia menatap sekeliling, dirinya benar-benar telah berada di kamar Ito. Mungkinkah tadi malam ada yang menjemputnya. Padahal Dito sudah menerka-nerka dan pasrah kalau dia bangun dan masih tetap di toilet sekolah.

Mengangkat tangan untuk membuang plester penurun panas dan menaruh di meja nakas. Dia tak ingin beranjak. Dito semakin menenggelamkan diri dari selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

Apakah dia demam?

Tapi Dito tidak peduli. Tubuhnya memang sedikit lengket dan juga terasa hangat. Namun dia merasa telah melewati masa demamnya. Yah, manusia mana yang tak akan sakit saat mengalami kejadian seperti dirinya kemarin.

Beruntung bagi Dito karena kulitnya tidak ruam ataupun menimbulkan efek lain karena bermandikan telur busuk. Ataukah seseorang memberinya salep mujarab yang bisa menghilangkan ruam dalam semalam.

Semua bisa terjadi bukan, mengingat bahwa Winata adalah keluarga kaya.

Seperti kata pepatah, uang tidak bisa membeli segalanya, , tetapi segalanya butuh uang.

Pintu kamar berdecit,  seseorang membukanya. Galen masuk sembari bersedekap dada. Melirik plester yang harusnya berada di dahi Dito sudah terlepas, membuat dirinya yakin kalau orang yang saat ini bergelung dalam selimut itu sudah baik-baik saja.

Berarti tidak sia-sia saudara tertuanya membuat kericuhan tadi malam.

"Bangun, dasar pemalas. Sampai kapan kau akan menjadi beban!" serunya membuka paksa selimut pembungkus tubuh Dito. Galen memutar bola mata malas melihat Dito hanya merenggangkan badan dan membenarkan posisi.

"Dito bangun. Atau kau ingin aku menyeretmu ke balkon dan melemparmu langsung ke kolam renang!" Ancam Dito. Sudut bibirnya naik sebab ancamannya berhasil membangunkan Dito.

Dito duduk sembari tersenyum paksa ke arah Galen. "Sepertinya aku sakit bang. Jadi aku ingin istirahat hari ini. Abang bisa kembali nanti saat aku sudah merasa lebih baik." Dia mengusir Galen secara halus.

"Ya ya ya  ... Alasanmu di terima. Kau tidak usah bersekolah."

Dito pun mengubah senyumannya menjadi senyum ramah. "Terima kasih atas perhatiannya." Dia menarik selimut dan kembali  bersiap membaringkan tubuh. Apakah harapannya berleha-leha hari ini akan terkabulkan, mendengar Galen langsung tanggap mengiyakan.

Akan tetapi ucapan Galen selanjutnya memutuskan harapannya.

"Kau memang tidak sekolah. Tapi ikut aku menjemput kakek. Ini perintah, bukan permintaan. Suka atau tidak, kau harus ikut. Cepatlah bersiap, kakek tidak sudah dibuat menunggu, " ujar Galen yang langsung beranjak pergi. Merasa tak tertarik akan jawaban maupun tolakan yang bisa saja dia dengar dari Dito.

Dito cengo di ranjangnya. Melihat kepergian Galen dengan tatapan tak percaya. Sungguh, tidakkah bisa dia memiliki hari damai, mengapa hari-hari yang dia jalani terasa sangat berat.

Juga, sejak kapan dia tidak merasa takut lagi pada Galen? Ini aneh, semua berubah tanpa dia sadari.

Dito segera bersiap, mengenakan pakaian apapun dan segera turun kebawah karena Galen sudah berteriak memanggil namanya.

Lelaki itu memiliki tenggorokan lebar, mungkin itu sebabnya mengapa dalam keluarga Winata, hanya ketika Galen bersuara keras, suara itu seolah menembus gendang telinga.

"Nanti, dihadapan kakek. Kau tidak boleh menunjukkan kelemahan seperti yang kau lakukan biasanya." Galen berujar serius. Dia duduk di sebelah Dito. Memperingati anak itu tentang sikap apa yang harus diambil Dito nantinya.

Mereka sudah ada di dalam mobil yang akan menjemput kakek. Terdapat empat mobil berjejer rapi disana. Termasuk mobil yang membawa mereka berdua.

"Kenapa?" Dito spontan bertanya.

Galen menoleh ke arah Dito, dia memandang adiknya aneh. Mengangkat telunjuk dan menempatkan di dahi lalu berkata. "Apa ada yang salah dengan otakmu? Kau masih bertanya kenapa?" Sembur Galen.

"Kalau kau ingin mendapatkan sesuatu seperti tahun lalu. Maka bersikaplah sama, kau bajingan sial!"

Dito mengelus tengkuknya tak nyaman. Mau bagaimana lagi, si Ito tak pernah memperlihatkan kakek yang di maksud. Menjadi sebab mengapa Dito hanya tau sekitaran rumah atau sekolah dan beberapa tempat yang di kunjungi oleh anak itu.

"Dengar, apapun itu. Kau tidak boleh lengah."

Setelah Galen mengucapkan itu, tak ada pembicaraan lainnya. Galen seperti biasa fokus pada ponsel. Sedangkan Dito, sedang mencoba menelan ucapan Galen. Apakah kakek itu lebih menyeramkan dari orang rumah?

Glup!

Sial, Dito gugup.



*



"Selamat datang kakek." Galen bersama Dito yang mengekor, berdiri di hadapan seorang pria berwajah tegas. Keriput di wajahnya tak menghalangi wajah penuh ketegasan serta tampannya.

Pria berjas silver, yang dimana separuh rambutnya telah berubah. Apalagi dengan janggut yang juga telah menjadi putih. Tetapi pria tua itu masih mengeluarkan aura dengan wibawa kuat.

"Ya."

Ivander Winata ... Pria yang berdiri tegap tanpa menunduk itu menatap tajam Galen. Beralih pada sosok di samping Galen, Dito. Matanya menyipit memastikan apakah ada perubahan seperti apa yang di katakan oleh seseorang.

"Bekcy."

Ivander memanggil seseorang, dia berbisik memerintahkan pada orang tersebut. "Pedang."

Galen membulatkan mata. "Apapun yang ingin kakek lakukan. Dia sedang tidak dalam keadaan baik." Entah mengapa, Galen sedikit mengerti maksud dari Ivander. Terlebih dia mendengar bisikan kakeknya.

Ivander tidak menghiraukannya, dia tetap berdiri menatap tajam Galen. Beralih memerhatikan seluruh bawahan keluarga Winata yang sudah berada di tempat masing-masing. Matanya juga memicing melihat beberapa ada yang berbaur dengan masyarakat

"Memangnya kau pikir kakek akan melakukan apa?" Alisnya terangkat sebelah. Ivander tersenyum hingga matanya menyipit. Senyuman yang persis seperti Jairo.

Becky datang dengan sebuah pedang panjang. Lalu dengan hormat menyerahkannya pada Ivander.

"Pedang ini sangat tajam. Di tempa langsung oleh seorang profesional." Ivander mulai membuka sarung pedang, kemudian memberikannya pada Becky.

Ivander melakukan beberapa pergerakan dengan ahli. Tubuh tuanya bergerak gesit. "Ujungnya saja sudah sangat bisa untuk menyayat seseorang."

Kata Ivander melirik Dito, tersenyum tipis sebelum mengangkat pedang dan menghunuskannya tepat pada leher Dito. "Lihat, sedikit tersentuh, tetapi darah mengalir dengan deras."

Dito berdiri kaku, lehernya sedikit terdongak. Tak berani untuk menunduk karena jika bergerak sedikit saja, maka mulutnya akan terbelah.

Mengabaikan rasa sakit di lehernya, Dito memandang Ivander. Mengernyitkan alis sebagai tanda bahwa dia bingung atas tindakan kakek tua itu.

"Kakek." Galen memperingati. Walaupun dia tidak bisa membujuk kakeknya untuk tidak melakukan hal gila. Saat ini saja, Dito beruntung hanya mendapatkan luka kecil. Sebab tahun lalu, Dito harus di larikan kerumah sakit dan mengalami trauma ringan karena Ivander.

Galen harus bisa menghentikan kakeknya. Meski dia tak menyukai orang di sampingnya, tetapi bagaimana sosok itu tetaplah adiknya.

"Ho, menarik." Ivander menarik pedang. Melemparnya asal dan mencengkram pundak Dito.

"Kau ... Mari kita lihat, seberapa besar perubahan yang kau bawa."





Tbc.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 17 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang