I Wish

26 5 0
                                    

Seorang perempuan yang tengah duduk di atas kursi meja belajarnya mengalihkan atensi saat pintu kamarnya dibuka. Itu adalah kakaknya dengan pakaian yang terlihat trendy, memasuki kamarnya dengan lagak sombong.

"Ada apa Kakak ke sini?" Rumi bertanya. Tidak biasanya kakaknya datang hanya untuk beramah-tamah. Itu pasti hal yang membuatnya kesal.

"Kamu sudah dengar? Papa akan menjodohkanmu dengan seseorang." Vanilla bisa melihat kerutan di dahi adiknya. Ini benar-benar menarik. Pasti setelah ini akan ada pertengkaran antara ayahnya dengan sang adik.

Rumi menghela napas. Tebakannya benar, kakaknya datang hanya untuk mencari perkara dengannya. "Jangan bercanda. Kalau Kakak hanya ingin menggangguku lebih baik Kakak pergi. Masih banyak hal yang harus kukerjakan," ucap Rumi, menolak percaya kalimat yang baru saja dilontarkan Vanilla.

"Kali ini aku tidak bercanda. Kamu tahu? Orang yang akan dijodohkan denganmu itu dosen di kampusmu." Ada senyuman mengejek saat Vanilla mengatakan itu. Dia benar-benar bahagia melihat sang adik menderita. "Tidak lama lagi papa pasti mencarimu. Kalau kamu tidak mau menikah, lebih baik kamu kabur sekarang." Vanilla berbalik dan meninggalkan kamar setelah puas melihat reaksi tercengang Rumi.

"Dia pasti hanya membual seperti biasanya." Perasaan Rumi menjadi tidak karuan setelah mendengar kabar buruk dari Vanilla. Seharusnya ia melempar bukunya ke wajah menyebalkan kakaknya.

***

Vanilla benar. Seharusnya ia mengikuti saran kakaknya untuk kabur, tapi saat ini semuanya sudah terlambat. Kalimat yang baru saja dilontarkan oleh ayahnya membuat dunianya runtuh. Semua usaha yang ia pertaruhkan untuk sang ayah seakan sirna bagaikan air di atas kuali panas.

"Aku tidak mau." Rumi berkata lirih. Dihadapan sang ayah, Rumi hanyalah seorang pemberontak yang keras kepala dan hidup dengan menghamburkan uang.

Andra menatap wajah sedih itu dengan bias. Tak ada keramahan di wajah Andra. Kepala keluarga yang keras hanya kepada Rumi.

"Kamu tidak seperti kakakmu. Pernikahan ini akan dilaksanakan bulan depan dan kamu akan tinggal bersama suamimu."

Rumi menatap tak percaya Andra akan berkata seperti itu. Secara tidak langsung, ayahnya mengusirnya agar segera pergi dari rumah ini. Benar kan? Dirinya hanya sosok pembuat masalah. Namun, Rumi tidak seperti itu.

"Selalu kakak. Apa Papa pernah sekali saja melihatku?!" Rumi tidak bisa menahan kekesalan di hatinya saat ini. Kenapa harus dirinya sedang di sisi lain ada Vanilla yang juga belum menikah. Ah, Rumi lupa. Vanilla adalah anak kesayangan di keluarga ini berbeda dengan dirinya yang dianggap beban keluarga.

"Kamu tidak punya apa-apa yang bisa diperlihatkan. Seharusnya kamu bersyukur karena ada yang mau menikahimu." Andra masih berbicara tenang di hadapan Rumi yang sudah terbakar api kemarahan.

Gadis dengan rambut ikal yang menutupi sebagian wajahnya karena tertunduk itu, meremas piyamanya seakan menyalurkan kekesalannya. Baiklah, Rumi akan menerima pernikahan ini, tapi jangan salahkan dirinya jika ia berbuat gila kedepannya. Rumi tersenyum miring tanpa sepengetahuan Andra. Rencana-rencana gila termonitor di otaknya membuatnya terkekeh kecil.

Andra mengernyitkan dahinya. Rencana gila apalagi yang akan dilakukan Rumi. "Jangan coba-coba untuk kabur. Selama sebulan ini kamu dilarang keluar."

Rumi mengangkat wajahnya dan menyelipkan rambutnya di balik daun telinga sebelum kemudian tersenyum. "Bukan masalah."

***

Arsen menggenggam tangan yang belakangan ini terlihat kurus. Ia baru mengetahui ibunya mengidap penyakit yang sudah lama diderita, tapi wanita yang selama ini ia kira baik-baik saja, ternyata menderita gagal ginjal.

Ayahnya yang duduk tak jauh dari sana hanya bisa tertunduk. Bukan keinginannya untuk menyembunyikan fakta tentang kesehatan sang istri, tapi atas permohonan istrinya lah ia tidak bisa memberi tahu Arsen. Kini rasa sesal menyelimuti dirinya.

"Mama mau kamu menikah dengan gadis pilihan Mama." Suara lembut yang biasanya memanggil dirinya kini terdengar lemah.

"Tolong jangan bahas itu lagi." Rasa-rasanya Arsen sudah mendengar perkataan itu seribu kali hingga membuatnya muak.

"Ini permintaan Mama. Dia gadis yang baik, kamu pasti menyukainya." Amara tersenyum lembut berharap anaknya kali ini mau menurutinya.

"Aku tidak bisa, Ma," tolak Arsen. Dia memiliki seorang kekasih dan ingin memperkenalkannya kepada orang tuanya, tapi ibunya justru menyuruhnya menikah dengan wanita lain sebelum ia melakukan itu.

Amara tersenyum kecut mendapati penolakan yang kesekian kalinya. Wanita itu sadar bahwa permintaannya sangat egois, tapi di sisi lain gadis pilihannya adalah yang terbaik menurutnya dan mungkin saja ini permintaan terakhirnya.

"Baiklah jika kamu menolak. Mama hanya ingin kamu menikah dengannya."

Arsen menatap mata yang sedikit layu itu dengan perasaan serba salah. Namun, hatinya tetap tidak dapat tergerak.

Hari-hari berlalu dan Amara sudah terlihat lebih baik. Namun, Arsen menyadari ada perbedaan dari sikap ibunya. Wanita itu kini gemar menyendiri dan termenung di taman belakang rumah. Terakhir dirinya melihat sang ibu menatap jauh keluar jendela kamarnya. Seperti seseorang yang memiliki banyak pikiran.

Kini Arsen melihat Amara duduk di kursi di bawah pohon tabebuya. Sepertinya wanita itu sedang menikmati teh buatannya.

Arsen ingin mendekat, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia tidak bisa melihat wajah sendu ibunya lebih lama. Itu hanya akan menambah rasa bersalah di hatinya.

Sampai tanpa terasa dua bulan telah berlalu dengan hambar. Arsen merasa tertekan memikirkan kesehatan sang ibu yang terus menurun dan ayahnya yang memohon untuk menuruti permohonan Amara. Bahkan sang kekasih tidak bisa menghilangkan rasa kalut yang menderanya.

"Baiklah. Aku akan menuruti keinginan Mama," ucap Arsen setelah memikirkannya matang-matang. Biarlah ia menjalani pernikahan yang tidak diinginkannya saat ini dan ia akan memikirkan rencana selanjutnya seiring berjalannya waktu.

Arsen bisa melihat senyuman di bibir Amara untuk pertama kalinya setelah wanita yang melahirkannya itu ke luar dari rumah sakit. Amara berjalan mendekat dan duduk di samping Arsen.

"Terima kasih. Mama senang mendengarnya." Amara meraih telapak tangan Arsen dan mengusapnya penuh rasa haru.

Sedangkan Damar hanya bisa menghela napas lega mendengar keputusan Arsen. Ia yakin keputusan yang diambil anaknya tidaklah mudah dan ia berharap kehidupan pernikahan anaknya berjalan sebagaimana mestinya, walau ia yakin pasti ada perdebatan kecil di dalamnya.

——

Terima kasih telah membaca.

Jangan lupa tambahkan ke perpustakaan untuk update episode terbarunya.

Jika kamu menikmati cerita ini silakan vote dan komen. Bye bye

The Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang