Rumi sedang bersolek di depan cermin saat pintu kamarnya terbuka. Melirik dari ekor matanya, tubuh jangkung dengan setelan batik yang tak lain adalah suaminya masuk dalam diam. Rumi yang tidak mau tahu kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda.
Arsen yang menyadari lirikan Rumi dan tidak mendapat respons dari gadis itu, berjalan menuju kopernya dan mengambil baju ganti. Kamar Rumi terlihat nyaman dengan nuansa sejuk serta furnitur mewah di dalamnya. Sungguh dirinya lelah dengan drama pernikahan yang diatur oleh ibunya. Setelahnya Arsen masuk ke dalam kamar mandi yang ada di sudut kamar, sebelum kemudian Rumi menatap pintu bercat putih itu yang sudah tertutup rapat.
Rumi kurang lebih mengetahui siapa orang yang menikahinya. Arsen Pradipta, salah satu dosen pengajar di kampusnya. Rumi hanya beberapa kali berpapasan dengan Arsen, dosen muda yang diminati banyak mahasiswa. Namun sayang, Rumi tahu bahwa pria dewasa itu telah memiliki sorang kekasih. Maka dari itu saat mengetahui siapa yang akan menjadi suaminya Rumi sedikit terkejut. Sepengetahuannya, Arsen sangat dekat dengan sang kekasih. Apakah setelah ini Arsen masih memiliki hubungan dengan kekasihnya? Sejujurnya Rumi tidak mempermasalahkan hal itu, sebab mengetahui pernikahan mereka hanyalah sebuah formalitas.
Gadis berambut ikal itu mendongak saat pintu kamar mandi terbuka. Arsen dengan aura segar sehabis mandi berjalan ke luar dengan tangan kanan mengusap rambut basahnya dengan handuk.
"Pak." Suara asing itu masuk ke telinga Arsen. Bukan tipe suara yang lembut, tapi juga tidak ramah. Itu terdengar seperti seseorang yang memiliki kepercayaan diri dan ego yang tegas.
"Ada apa?" Arsen duduk di sofa yang tidak jauh dari kasur, menatap Rumi yang saat ini masih duduk di depan meja rias dengan piyamanya.
Rumi tidak langsung membalas. Gadis itu diam beberapa saat memikirkan hal yang ingin diutarakan, tapi tidak tahu harus memulainya dari mana.
"Saya tahu ini sangat tiba-tiba. Kamu juga pastinya tidak berharap akan menikah secepat ini." Pada akhirnya Arsen yang memulai pembicaraan, melihat Rumi tidak kunjung angkat bicara.
Rumi mendengus. bukan ini yang ingin Rumi bicarakan. Namun mendengar itu, Rumi tidak bisa menerima pembelaan dalam bentuk apapun atau siapa yang harus disalahkan. Satu hal yang membuatnya merasa sedikit marah, itu karena Arsen. Mengingat ayahnya yang memaksanya untuk menikah, pasti Arsen juga mendapat paksaan yang sama. Pria dewasa itu seharusnya punya pendirian yang kuat untuk menolak, tapi nyatanya pria di seberangnya justru menerima perjodohan konyol ini.
"Saya juga berharap orangnya bukan Bapak." Rumi merasa ada yang salah dengan panggilan sapaan ini, tapi bagaimanapun orang yang sedang berbicara dengannya adalah dosennya.
Arsen menyandarkan punggungnya ke belakang serta menopang salah satu kakinya di atas kaki yang lain dan tangan yang saling bertaut, menatap Rumi dengan lebih intens. Jika Rumi bisa berkata seperti itu, maka dirinya juga bisa. Namun, ia yakin hal itu tidak akan berakhir baik jadi Arsen hanya mengangguk.
"Mari buat kesepakatan." Rumi mengambil laptop di meja belajarnya untuk mengetik poin-poin yang akan mereka ajukan. Hitam di atas putih, setidaknya kesepakatan konyol ini harus ada buktinya.
Gadis itu duduk di lantai dan meletakkan laptop di atas meja. Mengikuti Rumi, Arsen juga duduk di atas lantai yang dialasi karpet bulu.
"Mari kita buat ini menjadi sederhana," ucap Rumi. "Saya tidak ingin memaksa kehendak siapapun di sini, jadi Bapak juga tidak boleh memaksa saya. Jika Bapak ingin melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan saya, saya tidak masalah, tapi Bapak juga tidak boleh mencampuri urusan pribadi saya."
Rumi menatap Arsen. Sebagai orang dewasa seharusnya Arsen mengerti tentang privasi. Jadi dia berharap Arsen menyetujui perkataannya.
"Silakan ketik. Saya tidak masalah." Arsen berkata. "Lalu tambahkan jika salah satu melanggar poin-poin yang sudah tertera, maka pihak yang melanggar akan mendapat sanksi," lanjut Arsen.
"Apa sanksinya?" Tentu ini juga sangat penting. Melanggar tanpa hukuman sama saja dengan sia-sia.
"Itu akan ditentukan oleh pihak lain yang dirugikan karena salah satu melanggar kesepakatan."
Rumi mengangguk, jadi hukuman akan ditentukan saat salah satu ada yang melanggar kesepakatan. Itu berarti sanksinya bisa berubah-ubah tergantung siapa yang memberi sanksi.
"Apa tidak ada yang ingin Bapak tambahkan?" Rumi merasa Arsen juga harus menambahkan kesepakatan yang akan mereka buat. Tidak adil jika hanya dirinya yang mengisi kesepakatan di antara mereka. Walaupun dirinya terkenal egois, dia masihlah seorang perempuan yang punya rasa kasihan.
"Saya tidak suka sesuatu yang tidak rapi, jadi selama kamu tinggal di rumah saya setelah pindah, jangan membuat kekacauan." Arsen bukan berkata untuk kondisi rumah yang terlihat rapi saja, tapi juga suasana rumah yang harmonis dan nyaman sebelum kedatangan Rumi. Pekerjaannya sudah banyak dan ia ingin suasana rumah harus kondusif dan membuatnya tenang.
Rumi yang paham ke mana arah pembicaraan Arsen, mengernyit tak suka. Pernyataan itu seakan menganggap dirinya orang bermasalah dan membuat suasana di sekitar menjadi panas. Namun tak ayal, Rumi menambahkan poin tersebut.
"Sepertinya ini sudah cukup. Hal-hal kecil lainnya tidak perlu ditambahkan." Rumi menutup laptopnya setelah menyimpan dokumen penting yang berisi keputusan mereka. Mungkin jika waktu luang, ia akan mencetaknya dan memberikan salah satunya untuk Arsen kemudian langkah terakhir adalah tanda kesepakatan, yaitu tanda tangan.
Rumi berjalan menuju kasurnya dan menarik selimut. Namun, sebelum gadis itu berbaring, ia menatap Arsen yang masih duduk di sofa.
"Saya tidak terbiasa tidur dengan orang lain. Apa Bapak nggak masalah tidur di sofa?" Rumi kembali turun dari kasurnya dan memberikan bantal serta selimut untuk Arsen.
Pria dengan tatanan rambut yang masih berantakan itu, menatap Rumi sedikit tercengang. Perempuan ini benar-benar. Arsen tidak habis pikir, Rumi ternyata orang yang cukup santai mengutarakan ketidaknyamanannya.
Tidak bisa berkata-kata, akhirnya Arsen mengalah dan mengambil bantal serta selimut dari tangan Rumi. Apa yang Rumi katakan ada benarnya, sejujurnya dia juga tidak nyaman tidur dengan orang asing dan perasaan bersalahnya akan semakin besar terhadap Nadia.
"Tentang perceraian ... apa kita harus membahasnya?" Rumi sedikit ragu bertanya akan kegelisahannya. Pernikahan ini terjalin bukan karena mereka saling mencintai. Cepat atau lambat hubungan ini tidak akan bisa dipertahankan.
Arsen memandang iris berwarna coklat terang milik Rumi. Mereka disatukan karena sebuah paksaan dan Arsen mungkin berpikir Rumi memiliki keinginan untuk bersama dengan orang terkasih sama seperti dirinya.
Iris hitam legam milik Arsen sempat menghanyutkannya dalam perasaan tidak karuan. Rumi selalu berharap jika pernikahannya adalah sesuatu yang sangat membahagiakan. Namun, entah sejak kapan hal itu telah terlupakan dan hasrat untuk itu telah lama menghilang.
"Kita bahas itu nanti." Saat ini Arsen tidak bisa berpikir jernih. Ia ingin mengatakan secepatnya perceraian itu diurus, tapi di sisi lain, ada ibunya yang sangat berharap dengan pernikahan ini. Arsen tidak ingin membuat ibunya sedih dan kembali sakit. Namun, ia juga ingin kembali bersama Nadia. Perempuan yang sangat ia cintai.
Arsen menata bantal di ujung sofa dan membaringkan dirinya serta menyelimuti tubuhnya, meninggalkan Rumi yang masih berdiri di dekatnya.
Rumi menghela napas. Sepertinya membahas tentang perceraian tidak lama setelah mengucap kalimat sakral bukanlah hal yang etis.
——
Jangan lupa vote dan komen, ya😉
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Time
ChickLitBirlianda Arumi, seorang gadis muda yang keras kepala dan suka memberontak, selalu merasa terabaikan oleh ayahnya yang tidak peduli. Sebagai bentuk protes atas rasa tidak adil yang ia rasakan, Rumi menjalani hidup dengan boros dan impulsif, mencoba...