Wedding Dress

12 5 0
                                    

Andra memijit pelipisnya melihat banyaknya tas belanjaan di atas sofa dan Rumi yang duduk di sofa lain dengan tidak tahu diri malah bermain ponsel.

"Papa melarangmu keluar, tapi kamu malah pergi tanpa izin."

"Papa pasti tidak akan mengizinkanku keluar kalau aku meminta izin terlebih dahulu," ucap Rumi acuh. Ancaman Andra itu nyata, tapi Rumi selalu berbuat sesukanya. Bukan sekali dua kali Rumi melanggar perintah Andra, jadi dia sudah terbiasa.

"Kali ini Papa tidak akan menghukummu karena lusa kamu akan menikah. Jangan melakukan hal aneh yang membuat malu keluarga," tegas Andra.

Rumi mengangkat bahu dan membawa serta barang-barangnya meninggalkan ruang tamu. Di pertengahan anak tangga Rumi berpapasan dengan Vanilla. Kakaknya itu menatapnya dari ekor matanya, tapi Rumi mengabaikannya. Kali ini ia tidak ingin beradu mulut dengan Vanilla, karena cukup lelah melakukan banyak hal di luar sana.

"Dasar pemboros," desis Vanilla.

Rumi menutup pintu kamarnya dan menjatuhkan semua tas belanjaannya di lantai. Gadis itu melempar tas selempangnya di atas ranjang dan melepas sepatunya asal sebelum kemudian membaringkan dirinya di atas ranjang. Dirinya sangat lelah hari ini. Mendengar nasihat dari Arman yang selalu ia dengar agar tepat waktu menjalani checkup membuat energinya terkuras, itu juga karena ia berbelanja setelahnya.

"Arman sialan. Padahal cuma telat sehari." Rumi bergumam dengan mata terpejam. Tanpa terasa gadis itu jatuh tertidur dangan pakaian yang ia pakai saat ke luar.

***

Arsen membiarkan tugas mahasiswanya begitu saja. Kepalanya pusing memikirkan banyak hal. Raut wajahnya terlihat lesu dan tak bergairah. Setelah berkata jujur dengan Nadia, sang kekasih, wanita itu memilih mundur. Namun, Arsen tidak ingin kehilangan orang yang ia cintai. Pria itu meminta Nadia untuk menunggu, tetapi tatapan terluka dan kecewa itu mengganggu pikirannya.

Arsen dan Nadia telah bersama untuk waktu yang lama. Bagaimana bisa Arsen melepas Nadia begitu saja. Hanya Nadia yang membuat Arsen merasa nyaman. Nadia wanita yang lembut dan penuh perhatian dan terkadang akan bersikap manja. Karakter seperti itulah yang dibutuhkan Arsen untuk memenuhi egonya sebagai seorang pria.

Arsen tidak tahu bagaimana rupa calon istrinya dan juga sifatnya. Ia akan bersyukur jika wanita yang akan dinikahinya mudah diatur dan penurut. Amara juga mengatakan kalau gadis itu adalah anak yang baik, jadi Arsen akan memercayai itu.

Dua hari lagi dirinya akan menjadi suami orang, tapi bukan dengan wanita yang ia cintai. Ini hanya pernikahan sederhana yang akan dihadiri oleh keluarga besar dari masing-masing pihak.

***

Rumi menatap pantulan dirinya di cermin yang tengah memakai kebaya putih. Gadis dengan rambut yang disanggul itu menatap puas dirinya.

"Cantik," gumam Rumi. "Beruntung banget yang nikahin aku." Gadis itu tertawa keras setelah mengatakan kalimat penuh kebanggaan diri.

"Nggak usah kepedean. Calon suami kamu juga terpaksa nikahin kamu," celetuk Vanilla yang duduk di atas ranjang milik Rumi yang berbalut sprei putih. Kamar gadis itu pun telah dihias layaknya kamar pengantin baru.

Kalau bukan karena Andra menyuruhnya mengawasi Rumi, ia tidak akan mau berlama-lama duduk di satu ruangan dengan gadis nakal itu.

"Kenapa? Kakak iri lihat aku mau nikah, tapi Kakak bahkan belum punya pasangan," cela Rumi mengatai Vanilla yang masih sendiri.

"Kenapa aku harus iri. Kalian menikah karena terpaksa dan tidak saling mencintai." Vanilla menatap punggung adiknya. "Aku penasaran sampai mana pernikahan kalian akan bertahan." Senyuman sinis terlihat saat Vanilla mengatakan itu.

Rumi mendengus kesal. Kakaknya ternyata memiliki pemikiran yang sama dengannya. Ia juga berharap pernikahannya tidak akan bertahan lama.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seorang wanita yang merupakan bibinya menghampiri Rumi.

"Mempelai pria sudah datang. Kamu harus segera turun," ucap Anita. Wanita itu menatap Rumi cukup lama. Keponakannya itu mirip sekali dengan adiknya, Citra, yang merupakan ibu dari Rumi dan Vanilla.

"Cantik. Bibi jadi teringat mendiang ibumu." Anita tersenyum lembut seraya mengelus rambut Rumi tanpa merusak tatanannya.

"Bibi, jangan membuatku sedih," tegur Rumi. Diingatkan tentang ibunya, sudut hatinya terasa nyeri.

Anita tersadar dari perkataannya. Ini hari bahagia Rumi dan ia justru membuatnya sedih. "Bibi minta maaf."

Rumi hanya menghela napas dan tersenyum. "Tidak apa."

"Kalau begitu ayo kita turun. Tidak baik membiarkan suamimu menunggu terlalu lama." Rumi mengangguk dan menyambut uluran tangan Anita.

Rumi dan Anita jalan berdampingan dan Vanilla mengikuti di belakang. Rok yang dipakai Rumi cukup menyulitkannya berjalan dan itu membuatnya sedikit kesal, tetapi harus tetap menampilkan senyum cantiknya saat semua mata melihat dirinya.

Mata cantiknya yang dipakaikan softlens menangkap sosok pria tampan telah duduk di hadapan sang ayah dan seorang penghulu. Apakah itu dosen yang dimaksud Vanilla? Dia pernah berpapasan beberapa kali, tapi tidak pernah diajar oleh dosen muda itu.

Anita mengantar Rumi untuk duduk di samping mempelai pria. Sedangkan Vanilla telah memisahkan diri.

Arsen tidak melirik ke arah Rumi sama sekali. Pikirannya kacau dan hatinya tidak tenang. Bahkan saat penghulu itu mulai berbicara, Arsen tidak lagi peduli sampai si penghulu memulai sesi ijab qobul.

"Baiklah, Bapak Andra, silakan."

Andra menghela napas sebentar sebelum meletakkan telapak tangannya di atas meja, tapi Arsen sama sekali tidak bergerak.

"Nak Arsen?" Penghulu memanggil Arsen agar segera menyambut jabatan tangan Andra. Setelahnya Arsen menggenggam tangan yang tidak jauh berbeda dengannya.

"Ananda, Arsen Pradipta, saya nikah dan kawinkan engkau dengan putri saya yang bernama Birlianda Arumi binti Andra Suripto dengan mas kawin sebesar 100 juta rupiah dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Birlianda Arumi binti Andra Suripto dengan mas kawin sebesar 100 juta rupiah dibayar tunai!" Dalam sekali tarikan napas Arsen berhasil mengucap kalimat sakral yang seharusnya ia lakukan untuk sang kekasih.

Arsen memejamkan matanya erat. Bukan karena ia merasa lega, tapi perasaan bersalah telah mengkhianati Nadia.

Sampai orang-orang di sekitarnya serentak mengucap kata 'sah', Arsen telah resmi menjadi suami dari gadis cantik bernama Rumi.

"Baiklah. Mempelai pria, silakan pasangkan cincin di jari manis mempelai wanita." Si penghulu menyerahkan kotak  beludru berwarna merah berisi sepasang cincin emas putih.

Arsen mengambil cincin yang memiliki permata di atasnya sedangkan Rumi memberikan tangan kirinya. Arsen menyambut tangan kecil itu untuk dipasangkan cincin.

Setelahnya penghulu menyuruh hal yang sama untuk Rumi. Gadis itu dengan ogah-ogahan melakukannya bahkan cincin itu sempat terjatuh sebelum sempat tersemat di jari manis Arsen. Namun, mereka yang menyaksikan hanya beranggapan bahwa Rumi tengah gugup dan itu adalah hal yang wajar.

Sedangkan di sisi lain Arsen memandang Rumi dengan tatapan yang tidak biasa.

The Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang