Saat Arsen turun menuju ruang makan untuk sarapan, dia mendengar perdebatan kecil. Sepertinya itu Rumi dengan Andra.
"Papa yang memaksaku menikah, tapi Papa sekarang mau mengurangi jatah bulananku? Itu bukan setengah, tapi seperempatnya?"
Arsen memutuskan berhenti di pertengahan tangga. Sepertinya momennya tidak pas jika ia datang saat ini.
"Itu sudah menjadi tanggung jawab suamimu menafkahi kamu. Papa hanya mengurangi sedikit, apa kamu tidak puas?"
Rumi menyugar rambutnya ke belakang. Pria di depannya benar-benar tidak bertanggung jawab. Bagaimana bisa ayahnya melempar tanggung jawab kepada menantunya? Memang sudah kewajiban Arsen menafkahinya, tetapi dari awal pernikahan mereka sudah tidak benar. Rumi merasa harga dirinya terluka mendengar kalimat tidak tahu malu yang ke luar dari bibir ayahnya.
Arsen menunduk, menatap jari kakinya yang beralas sendal rumahan. Sepertinya mereka melupakan pembahasan tentang nafkah semalam. Arsen tidak masalah dengan seluruh biaya kebutuhan Rumi. Dia masih sanggup untuk memberi sebagian hartanya untuk satu orang tambahan.
"Bisa-bisanya Papa berkata seperti itu. Arsen hanya orang asing yang tiba-tiba menjadi anggota keluarga ini."
Arsen tersentak kecil saat namanya meluncur mulus dari bibir Rumi. Perempuan itu bahkan tidak pernah menyebut namanya saat mereka membahas kesepakatan.
Dari arah belakang, Vanilla menatap punggung yang dibalut kaos oblong. Bertanya-tanya dalam hati kenapa pria ini berdiri di sana. Vanilla yang telah berpakaian rapi mulai menuruni tangga.
"Kamu menghalangi jalan. Kenapa malah berhenti di sini?" Vanilla berdiri di belakang Arsen dan mengejutkan pria itu.
Arsen berbalik dan mendapati Vanilla menatapnya tidak ramah. Arsen bertanya-tanya apakah orang-orang di rumah ini tidak bisa bersikap ramah? Lagipula lebar tangga ini cukup luas untuk tiga orang berjalan berdampingan, tapi Vanilla justru menegurnya karena menghalangi jalannya.
Vanilla berdecak malas dan mengambil sisi kiri, berjalan menuju ruang makan meninggalkan Arsen. Jika dipikir-pikir Arsen lebih tua tiga tahun dari Vanilla, jadi kenapa dia meninggalkan sopan santunnya?
Saat sampai di ruang makan, suasananya sangat buruk. Vanilla sudah bisa menebak kenapa Rumi menggerutu dan Andra memasang wajah marah. Vanilla menarik kursi di sisi kiri ayahnya dan Rumi duduk di hadapannya. Tidak lama Vanilla duduk, Arsen datang dan menarik kursi di samping Rumi.
Rumi berinisiatif mengambilkan sepiring nasi untuk Arsen beserta lauknya. Persetan dengan ayahnya, ia tidak peduli. Setelahnya dirinya meletakkan piring di hadapan Arsen sebelum kemudian mengambil bagiannya.
Ruang makan itu jatuh hening. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang saling bersahutan. Arsen melirik Rumi yang menyuapkan nasi dengan tidak cantik. Perempuan itu sepertinya masih dalam suasana hati yang buruk. Berbeda dengan Vanilla yang makan dengan gerakan cepat, tapi tetap terlihat anggun.
Arsen tidak bisa tidak bertanya dalam hati, apakah hubungan keluarga Rumi tidak seharmonis itu? Ia juga ingin bertanya di mana sosok ibu Rumi saat ini. Namun jika ia bertanya, pasti orang-orang ini akan tersinggung. Jadi, ia hanya menelan bulat-bulat pertanyaan itu untuknya sendiri. Lagipula ia akan tahu cepat atau lambat.
Rumi meletakkan sendok di atas piring yang sudah kosong dan menyeka mulutnya dengan sapu tangan.
"Aku akan pergi hari ini." Setelah mengucapkan itu, Rumi bangkit dan meninggalkan ruang makan serta Arsen yang menjadi canggung di antara dua keluarga barunya.
Tidak lama kemudian Vanilla bangkit dan menyandang tas. "Aku berangkat." Perempuan dengan tinggi semampai itu berjalan menuju pintu keluar. Tidak lama setelah itu deruman mobil terdengar sebelum akhirnya samar-samar menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Time
ChickLitBirlianda Arumi, seorang gadis muda yang keras kepala dan suka memberontak, selalu merasa terabaikan oleh ayahnya yang tidak peduli. Sebagai bentuk protes atas rasa tidak adil yang ia rasakan, Rumi menjalani hidup dengan boros dan impulsif, mencoba...