Pagi itu Rumi sedikit bangun kesiangan karena malamnya dia tidak bisa tidur. Rambut yang hanya disisir ala kadarnya, terayun saat ia menuruni tangga. Setelah sampai di lantai bawah, Rumi tidak melihat sosok Arsen di mana pun. Perempuan itu menuju dapur dan mendapati Asih yang sedang membereskan meja makan. Apa Arsen telah pergi? Bagaimana bisa pria itu tidak membangunkannya.
"Bibi, tolong siapkan bekal untukku," ucap Rumi. Gadis itu sibuk dengan ponselnya untuk memesan taksi online sembari menunggu bekalnya disiapkan.
"Nyonya sepertinya kecapekan, saya tadi sudah berusaha bangunin." Ucap Asih seraya memberi sebuah tas berisi bekal Rumi.
Rumi mengambil tas itu dan menatap Asih. "Yang bener? Sepertinya karena aku tidak bisa tidur tadi malam."
Rumi bukan orang yang akan tidur larut jika tidak ada tugas kuliah. Sepertinya itu karena ia masih dalam proses beradaptasi dan ada sebagain yang membuatnya tidak nyaman.
Rumi bergegas saat deruan mobil terdengar. Ia akan memakan bekalnya di perjalanan karena tidak mungkin memakannya di kampus saat pelajaran tengah berlangsung. Rumi melebarkan matanya saat jam di tangannya menunjukkan pukul 7.45 itu artinya sudah 15 menit kelasnya berlangsung. Perempuan itu akhirnya hanya bisa menghela napas pasrah, mengingat dosennya sedikit memberi kelonggaran untuk mahasiswa yang terlambat, setidaknya Rumi merasa lebih tenang.
Setelah sampai, Rumi segera memberi uang dan berjalan cepat menuju kelasnya. Kali ini ia bersyukur karena kelasnya ada di lantai dua bukannya di lantai tiga atau empat.
Dengan tubuh yang sedikit membungkuk, deruan napasnya terdengar memburu. Pintu di depannya sudah tertutup dan hanya suara sang dosen yang bisa ia dengar, itu artinya ia benar-benar terlambat. Tidak mau berlama-lama, Rumi menegakkan badannya dan menarik napas panjang. Rumi membuat ketukan sebanyak tiga kali sebelum tangannya membuka daun pintu itu perlahan.
"Permisi, Pak—" Saat matanya bertemu pandang dengan sang dosen, suaranya tiba-tiba saja tidak bisa keluar. Melihat bahwa mereka benar adalah teman kelasnya, otak Rumi seakan bekerja lebih keras untuk memproses apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sebelum dirinya menyadari apa yang salah, sang dosen lebih dulu mengangkat suaranya.
"Kamu telat 30 menit. Kalau memang tidak berniat untuk datang, lebih baik kamu melanjutkan tidurmu di rumah." Perkataan tajam itu menembus masuk ke telinga Rumi.
Rumi tidak bisa berkata karena masih mencerna situasi. Melihat orang yang rasanya baru kemarin menikahinya ada di depannya, Rumi tidak bisa tidak bertanya kenapa pria itu mengajar di kelasnya.
"Sesuai kebijakan yang saya terapkan selama mengajar di kelas ini sebagai dosen pengganti, saya tidak ingin melihat mahasiswa datang terlambat setelah saya masuk ke dalam kelas ini." Arsen berjalan perlahan menuju pintu, menatap Rumi yang masih terdiam.
Sedangkan Rumi mengingat kembali kapan pria itu mengatakan kalimat tersebut, tapi nyatanya tidak ada memori tentang itu di otaknya. Bahkan teman-temannya tidak ada yang memberitahunya sama sekali. Tentu saja Rumi tidak tahu karena Arsen baru saja mengatakan peraturan itu tidak lain untuk mengerjai Rumi.
"Jika ada salah satu mahasiswa yang terlambat maka dia dilarang masuk ke dalam kelas." Pria itu berhenti tepat di hadapan Rumi dan tangan kirinya perlahan menarik daun pintu hingga wajah Rumi tidak terlihat. "Silakan datang di hari berikutnya."
Melihat senyum miring Arsen, Rumi tersadar dari kebodohannya. Benar-benar tidak masuk akal. Dirinya selama ini tidak pernah terlambat, tapi kenapa ia mendadak mendapatkan kesialan di hari ini. Walaupun menggerutu tidak jelas, Rumi tetap mendudukkan dirinya di lantai, mendengarkan penjelasan Arsen dengan seksama.
***
"Nggak biasanya kamu telat. Apa ayahmu kembali berulah?" Sedikit banyak, Kanala tahu permasalahan antara Rumi dengan ayahnya dan lagi Rumi cuti kuliah selama sebulan. Rumi hanya mengatakan kalau ia dihukum untuk tidak ke luar rumah karena membuat kesalahan. Kanala bisa memaklumi karena Rumi tidak sekali dua kali mengambil cuti tiba-tiba seperti ini.
"Aku nggak bisa tidur semalaman, jadi ya aku bangun kesiangan," jawab Rumi setelah menyedot air mineralnya. Rumi menyingkirkan botol minumnya dan melipat tangannya di atas meja, menatap Kanala yang sedang memakan makan siangnya, sedangkan ia telah selesai makan. "Sejak kapan pak Arsen menjadi pengganti pak Burhan?"
Kanala menelan makanannya sebelum menjawab, "Sejak hari ini."
Mata Rumi melebar. Apa maksudnya pria itu sengaja membuat peraturan kejam untuk menghukumnya? Ia belum pernah mendengar rumor yang mengatakan Arsen adalah dosen yang ketat. Itu lebih masuk akal jika Arsen adalah dosen yang banyak disukai mahasiswa karena perangainya yang mudah didekati, tapi tahu batasan.
"Apa-apaan? Jadi dia sengaja menghukumku?" Rumi memukul pelan permukaan meja, tidak bisa menerima ketidakadilan yang ia terima.
"Kamu juga salah. Terlambat 30 menit itu keterlaluan," ucap Kanala santai. Kali ini ia telah menyelesaikan makannya dan meneguk es jeruknya.
Rumi terdiam karena perkataan Kanala tidaklah salah. Namun, ia tetap kesal karena yang menghukumnya adalah Arsen.
"Kenapa pak Burhan nggak masuk hari ini?" Tidak sekalipun dosen berbadan gempal itu tiba-tiba mengambil cuti. Kalaupun tidak bisa hadir hari ini, pasti dosennya itu akan mengganti jadwalnya di lain hari. Maka dari itu, mendengar bahwa ada yang menggantikan perannya, pasti urusan pria paruh baya itu sangat mendesak untuk waktu yang cukup lama.
"Oh, beliau akan mengambil study di luar negeri untuk S3. Mungkin pak Arsen akan menjadi dosen sementara sampai ada dosen tetap yang menggantikan pak Burhan." Kanala menjelaskan dengan detail agar Rumi tidak salah menangkap.
"Aku sudah merangkum materi pelajaran selama kamu cuti." Kanala merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan binder kuning miliknya sebelum menyerahkan benda itu kepada Rumi. "Untungnya tidak banyak tugas kali ini." Diam-diam Kanala bersyukur atas hal itu.
Rumi mengambil binder itu dan bersyukur karena memiliki teman seperti Kanala yang sangat peduli padanya. Rumi mengenal gadis berambut pendek itu saat menjadi mahasiswa baru di kampus tempat ia berkuliah. Awalnya Rumi menjadi sangat pemarah saat Kanala mengomentari bahwa dirinya sangat berlebihan saat berpakaian. Lagi pula saat itu mereka masih mahasiswa baru sehingga penampilan Rumi yang berlebihan menarik perhatian orang lain dan akan berpikir bahwa Rumi hanya ingin menonjolkan dirinya supaya mudah dikenal.
"Kali ini nggak ada tugas kelompok?" Rumi memasukkan binder itu ke dalam tas ranselnya. Dia akan menyalin materi saat di rumah nanti.
"Nggak ada." Kanala menggalang hingga rambutnya ikut bergoyang. "Semuanya tugas individu," lanjutnya.
Rumi menghela naps lega mendengarnya. Mengkin selama seminggu ini dia akan disibukkan dengan tugas yang harus dia selesaikan. Selain karena tidak ingin mengulang kelas di semester berikutnya, Rumi tidak ingin ayahnya kembali marah, walaupun penyebabnya adalah ayahnya sendiri.
Memikirkan hari-hari berikutnya kelas pak Burhan akan digantikan oleh Arsen, Rumi mendadak tidak bersemangat. Kenapa pula dari sekian banyak dosen, harus pria itu yang menjadi dosen pengganti. Rumi yakin hari-harinya tidak akan tenang.
——
Jangan lupa vote dan komen.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Time
ChickLitBirlianda Arumi, seorang gadis muda yang keras kepala dan suka memberontak, selalu merasa terabaikan oleh ayahnya yang tidak peduli. Sebagai bentuk protes atas rasa tidak adil yang ia rasakan, Rumi menjalani hidup dengan boros dan impulsif, mencoba...