Pergi ke kantin setelah mendekap di perpustakaan selama dua jam adalah hal yang paling membahagiakan. Pagi tadi, Samira mencari materi di buku perpustakaan untuk keperluan tugasnya. Mulai dari mencari, memilah, mencatat hal yang penting, sampai berdiskusi lewat pesan dengan Lusi sudah Samira lakukan.
Sekarang, saatnya memanjakan perutnya yang kelaparan. Dia memilih untuk pergi ke kantin fakultas teknik karena hanya fakultas tersebut yang kantinnya tidak direnovasi. Menyebalkan memang, kenapa hanya fakultas mereka yang kantinnya tidak direnovasi. Apa mungkin karena sumber uang yang didapat dari kantin fakultas teknik lebih banyak, jadi mereka mendahulukan merenovasi kantin fakultas lainnya?
"Pak, soto satu sama es kopi satu, ya," ucap Samira mulai memesan. Bapak penjual mengangguk dan mulai menyiapkan pesanannya dengan dibantu oleh karyawannya.
Sembari menunggu pesanannya siap, Samira berdiri dengan memperhatikan keadaan kantin yang penuh orang ini. Sekedar informasi, kantin fakultas teknik berada di luar ruangan. Hanya ada pohon-pohon rindang dan beberapa stand makanan yang tentunya penjual menyiapkan karpet atau kursi untuk pelanggan.
"Ini, Mbak. Totalnya sebelas ribu, ya," ucap Bapak penjual memberikan soto yang ditaruh di wadah rice bowl dengan es kopi yang ditaruh di cup plastik.
Sebelum memberikan uang lima belas ribu, ada tangan lain yang menyodorkan uang sebelas ribu membuat Si Bapak lebih memilih mengambil uang yang pas. "Pacarnya, ya. Duh, bajunya juga kembaran lagi. Sama-sama putih. Lho, celananya juga kembaran."
Mengapa laki-laki itu seenaknya membayar pesanannya? Samira menatap tajam Hagya. Laki-laki itu tidak peduli apa yang akan Samira kesalkan dan memilih menarik lengan kemeja Samira agar tidak memperhambat antrian.
"Nanti gue balikin uangnya," ucap Samira mengikuti kearah mana Hagya membawanya karena tangan kanan dan kirinya membawa soto dan es kopi.
Melihat Samira kesusahan membawa, Hagya mengambil soto dari tangan Samira agar perempuan itu tidak kepanasan. Biarkan es kopi dibawa sendiri, agar Samira bisa meminumnya dengan mudah.
"Sini aja, adem," titah Hagya. Melepas sepatunya dan duduk di karpet yang sudah disediakan. Hal itu dilakukan Samira juga.
Uang sejumlah sebelas ribu Samira todongkan pada Hagya. Seakan tak melihat, Hagya justru membuka tas dan mengeluarkan kotak bekalnya. Dalam hati, Samira ingin menyumpah serapahi manusia di depannya. Kenapa berlagak sok-sokan tak suka uang?
"Simpen, Ra. Nanti dikira gue cowok mokondo sama mereka," ucapnya menyuapkan satu sendok nasi tumis tahu telur kedalam mulut dan menunjuk orang-orang dengan dagunya.
"Salah sendiri tadi bayarin gue," balas Samira tak terima kemudian memberikan secara paksa pada Hagya.
"Uangnya ditabung, Ra. Anggep aja, gue lagi baik hati mentraktir Sophie."
Mendengarnya, Samira mengernyit. "Gue udah bukan Sophie, Gy. Masalahnya, yang lo traktir ini udah kembali ke setelan pabrik. Samira, Gy. Gue balik jadi Samira. Udah bukan Sophie lagi."
"Menurut gue sama aja, tuh."
Daripada meladeni Hagya yang pasti tidak akan menyerah, Samira memilih untuk menikmati sotonya yang sudah agak hangat akibat terlalu membujuk Hagya untuk mengambil uangnya. "Makasih, ya. Lain kali jangan lagi. Gue orangnya nggak suka kalau ditraktir tanpa konteks yang jelas. Pokoknya, makasih deh."
"Sama-sama. Kok bisa, baju kita kembar?" Hagya bertanya sembari menunjuk baju dan celana mereka yang memang memiliki warna sama.
Walaupun memang mengundang perhatian dan pasti orang-orang akan mengira bahwa mereka pasangan, Samira tidak ingin ambil pusing sebelumnya. Tapi, pertanyaan Hagya barusan malah membuatnya malu karena ditanya seperti itu.
"Ini kan warna basic. Pasti semuanya punya warna ini lah, Gy. Emangnya cuma kita doang yang couple dari baju sampe celana?"
Hagya manggut-manggut. "Tapi, cuma kita doang di sini yang baju sama celananya sama."
"Nggak papa. Namanya juga kebetulan," sanggah Samira secepat kilat. Tidak mau membicarakan tentang pakaian mereka yang tidak sengaja sama.
Hagya diam saja. Dia melihat cara makan Samira yang malu-malu karena mereka berdua makan dengan posisi berhadap-hadapan. Pura-pura tak melihat saat perempuan itu sadar bahwa dia sedang menjadi tontonan, Samira berdecak. "Lo bisa nggak, makannya hadap ke arah lain. Jujur, gue agak malu kalau mau nyuap soto."
Perempuan itu masih sama. Samira itu paling tidak bisa ketika acara makannya dilihat orang. Perempuan itu sering overthinking takut orang-orang akan menjudge cara makannya dan takut seumpama ada yang tertinggal dalam giginya. Orang yang dekat dengannya pasti tahu. Samira anti makan di luar. Lalu, apa yang membuat perempuan itu tiba-tiba datang ke kantin untuk makan diantara banyak orang?
"Udah tahu kalau makan nggak bisa dilihatin, kenapa sok-sokan pergi ke kantin? Sendirian lagi." tanya Hagya dengan arah mata yang melihat kearah lain agar Samira leluasa untuk makan.
"Ini gue nyesel, kok." Jawaban yang kelewat jujur, Samira ucapkan.
"Lo sering bawa bekal, ya?" Samira bertanya, menyudahi acara makannya.
"Iya. Gue juga dibawain cemilan tadi. Bentar." Mengeluarkan kotak bekal yang ukurannya lebih kecil ketimbang bekal makanan, Hagya membukanya dan menawarkan pada Samira.
"Lo masih suka biskuit coklat, kan? Bunda tadi bekalin gue ini. Ambil, gih."
Kalimat pertama yang keluar membuat Samira berpikir dua kali sebelum mengambil biskuit coklat. Seharusnya bukan pertanyaan masih suka melainkan pertanyaan apakah Samira suka biskuit coklat atau tidak. Dari mana laki-laki itu tahu bahwa Samira penyuka biskuit coklat? Padahal dia tidak pernah menceritakan padanya tentang fakta tersebut.
Mengambil dengan ragu, Samira memberanikan diri untuk bertanya. "Tahu dari mana?"
Menurut Samira, semua yang terjadi hari sangat aneh. Mulai dari membayar, makan bersama, dan sekarang laki-laki itu menawarinya biskuit coklat dengan pertanyaan ambigunya. Apalagi Hagya eggan menjawab, seakan tak berniat mengklarifikasi mengenai apa yang laki-laki itu seharusnya tidak tahu.
"Hagya," panggil Samira karena tak mendapat jawaban.
"Samira." Hagya meminum air dari botolnya kemudian atensinya fokus pada Samira yang bingung akan semuanya. "Lo ini pura-pura nggak tahu apa emang nggak tahu?"
"Jangan langsung ke intinya. Gue tanya, lo tahu dari mana gue suka biskuit coklat?"
Rasanya, Samira ingin lari meninggalkan Hagya saat dia menanyakan hal itu kepadanya. "Setiap bimbel, lo kan suka bawa biskuit coklat. Emang nggak ada yang notis kalau lo sesuka itu sama biskuit coklat?"
"Gue nggak sesering itu bawa."
"Gue pernah lihat lo borong biskuit coklat di toko deket bimbel."
"Kalau itu gue percaya!" balas Samira cepat. Benar, ketidaksengajaan Hagya melihatnya membeli biskuit coklat pasti membuat laki-laki itu mengambil kesimpulan bahwa dirinya penyuka biskuit coklat.
"Gara-gara itu, gue jadi ikut suka sama biskuit coklat," lanjut Hagya. Seketika biskuit coklat yang Samira kunyah tidak bisa ditelan.
Dia jadi ikut suka biskuit coklat. Bukan suka lo, Ra.
___
11-10-24
KAMU SEDANG MEMBACA
Semu Merah Jambu
Teen FictionTempat bimbel mempertemukan keduanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Samira jatuh pada pandangan pertama. Pesona cowok tampan dan pintar dalam pelajaran apapun, siapa yang tidak akan jatuh hati padanya? Hal ini juga dirasakan oleh Hagya. Menurutnya, me...