Warning ⚠️
Part ini berisikan adu mulut dengan Ibu. Terima kasih. Selamat membaca.
___
Bagaimana cara agar Ibu mengerti bahwa Samira alergi dengan udang?
Aroma udang saus lada hitam menguasai seisi rumah. Riko, selaku kakak satu-satunya yang baru datang sehabis bekerja dimasakkan udang oleh Ibu. Jelas, Ibu akan memasakkan apapun untuk putra kesayangannya tanpa peduli jika salah satu anggota keluarga memiliki alergi atau tidak menyukainya.
Samira akan kalah jika dibandingkan dengan kakaknya. Dari segi tampilan, pendidikan, pekerjaan, dan yang lainnya, Samira kalah telak. Ibu menyayangi Riko karena dia tidak pernah membantah dan selalu menuruti apa yang Ibu suruh atau minta.
Hanya ada satu yang membuat Samira iri pada sang kakak. Bagaimana rasanya disayangi mati-matian oleh Ibu sendiri?
"Ra, aku transfer uang ya buat kamu beli makan."
Samira hanya iri dengan satu hal itu dan Riko selalu berhasil membuat Samira untuk tidak membenci sang kakak karena disayang besar-besaran oleh Ibu. Dari balik pintu, Samira tersenyum. Seandainya dunia membenci dan tidak ada yang menyayanginya, masih ada Riko yang senantiasa merentangkan kedua tangannya untuk menerima.
Dengan langkah santai menuju ruang makan, Samira mengambil air dan menyiapkan buah-buahan sebagai cemilan. Benar, dia memutuskan untuk tidak memesan makanan dan menabung uang yang diberikan Riko tadi.
"Ibu sudah masak udang kesukaan kakak. Kamu beneran nggak makan?" Ibu berucap membuat pergerakan memotong apel terhenti.
Jangan, jangan tersulut emosi, Ra. Dia Ibu bukan temanmu.
"Bu, aku nggak mau bagi udangnya. Biarin aku puas-puasin makan masakan Ibu. Jarang kan, aku pulang ke rumah," sahut Riko agar keadaan tidak memanas.
Ibu masih kurang puas karena Samira tidak bergeming untuk sedikit mencicipi masakannya. "Kamu nggak menghargai masakan Ibu, Ra."
"Ibu udah capek-capek masak, kamu malah nggak mau makan masakan Ibu dan milih motong apel," lanjutnya.
"Aku diet," balas Samira. Nada dingin terpancar dalam suaranya.
"Beneran nggak ngehargain masakan Ibu, kamu?" bentak Ibu tersulut emosi.
Menetralkan degup jantung yang berdetak makin kencang, Samira juga melakukan helaan nafas panjang. Dia sudah capek menjelaskan bahwa dia memiliki alergi udang. Sebanyak apapun dia mengatakan hal tersebut, Ibu tidak akan mendengar penjelasannya. Sebanyak apapun dia meronta-ronta tentang alerginya, semakin dia tidak didengar dan menjadi tak kasat mata.
"Bu, aku baru pulang setelah seminggu. Samira nggak salah, aku emang udah nyogok dia buat nggak makan udang buatan Ibu. Sudah ya, Bu? Jangan marahin Samira."
Seperti tersihir dengan ucapan Riko, Ibu melirik Samira sinis walaupun Samira tidak melihat sinisan mata tersebut. "Contoh Kakakmu. Selalu nurut sama Ibu. Nggak pernah nyusahin Ibu. Ditambah sering ngasih duit Ibu. Kurang-kurangin lah Ra, kayak gitu. Ibu capek tahu nggak selalu berantem sama kamu."
"Ibu..."
"Kamu diem dulu, Rik. Adikmu ini keras kepala. Batu aja kalah sama dia. Nggak tahu deh, besok dia mau jadi apa. Orang kelakuannya makin bandel!"
"Aku alergi udang."
"Cuma nyicip sedikit kan nggak masalah. Alergi kambuh juga ada obatnya," balas Ibu tak mau kalah.
"Ibu maunya dihargai. Tapi, apa Ibu pernah menghargai aku? Apakah kalau aku mati, Ibu juga bakal seneng?"
"Samira!" Riko menyadarkan Samira yang ucapannya sudah melewati batas.
"Bahkan, Ibu cuma diem waktu aku kasih pertanyaan tentang hal yang menyangkut kematianku. Harusnya Ibu marah! Ibu sebenarnya anggap aku apa, sih? Benda mati?"
"Lucu ya kamu. Ibu cuma minta kamu makan udang masakan Ibu aja, kamu sampai bahas tentang kematian. Jangan lebay, Ra. Makan udang nggak bakal bikin kamu mati!"
Itu yang Ibu tahu. Menurut beliau, Samira tidak akan kenapa-kenapa hanya karena alergi udang. Tapi, jika yang alergi adalah Riko, Ibu akan menghindari apa yang menjadikan putranya alergi agar Riko tidak kenapa-kenapa. Jadi, apa yang dilakukan Samira di rumah ini? Beban keluarga? Manusia tak kasat mata? Apa benda mati?
Rasanya, Samira tidak kuat menahan semua ini. Dia ingin membiarkan mulutnya berbicara lebih marah tapi tatapan Riko seakan memberitahu bahwa tidak seharusnya Samira melakukan ini. Persetan dengan tatapan teduh, persetan dengan Ibu yang sakit hati karena ucapannya, dan persetan mengapa harus dia yang disalahkan padahal bukan kesalahannya. Samira memutuskan keluar rumah. Berlari sekencang mungkin dengan tatapan penasaran dari orang sekitar.
Kakinya berhenti pada sebuah taman desa. Ini masih pagi dan merupakan hari libur, pantas jalanan dan taman sangat ramai penuh orang.
"Samira Bhumi. Kamu ngapain, sayang?" Samira tersenyum ketika melihat siapa yang memanggilnya. Budhe Arsih, kakaknya Bapak yang menjual bubur ayam menyuruhnya mendekat dan duduk di kursi tempatnya berjualan.
"Berantem sama Ibu?" Tidak usah ditanya juga Budhe Arsih tahu jawabannya.
Mengerti bahwa keponakannya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja, beliau membuatkan es teh kesukaan Samira ditambah satu porsi bubur ayam. "Ibu pelupa ya, Ra? Padahal kamu udah sering bilang kalau kamu alergi udang. Kalau Ibu masak udang, kamu boleh dateng ke rumah Budhe. Eh, Ibu nggak masak udang juga kamu boleh dateng ke rumah Budhe, kok."
Seperti mengoreksi ucapannya yang salah, Samira tersenyum mendengarnya. Dia berterima kasih karena mendapat gratisan es teh dan bubur ayam. "Apa aku berantem terus ya sama Ibu biar aku bisa makan bubur ayam Budhe secara cuma-cuma?"
"Boleh. Kayak kuat aja mentalmu berantem sama Ibu terus."
"Paling cuma pengen meninggal aja," jawab Samira enteng membuat Budhe Arsih tertawa kecil.
Tidak perlu dipikirkan, Samira hanya bergurau yang Budhe Arsih sendiri mengerti akan tabiat adik ipar dan keponakannya. Walaupun memang ada keinginan seperti itu tapi tenang saja, Samira masih baik-baik saja dan tidak berniat melakukan hal bodoh yang membahayakan nyawa.
"Kamu kalau nggak kuat di rumah, pergi kos aja, Ra." Pembicaraan Budhe Arsih sudah mulai serius.
"Aku justru pengen pindah dimensi aja biar bisa ketemu sama Howl."
Mimik wajah Budhe Arsih langsung tak berniat membicarakan hal serius. Kenapa Samira harus menjadi seorang wibu agar tetap waras? Atau sekarang ini dia mengalami kehaluan tingkat tinggi seperti yang dibicarakan di internet tentang pengaruh anime pada generasi muda?
"Cari pacar sana. Otakmu udah nggak waras mikirin cowok karya manusia. Nggak bisa dimiliki, morotin uangmu, cuma fiksi lagi."
"Howl tuh bikin aku waras, lho. Budhe nggak mau nyoba terjun ke dunia anime? Pelan-pelan nonton kimi no nawa, nanti baru nonton jujutsu kaisen."
"Apa sih kimi kimi itu? Sujudsu? Mending dipakai ibadah daripada nonton nggak jelas."
Mendengar nama anime dibaca salah, Samira mengoreksi dan menyuruh Budhe Arsih untuk berhati-hati menyebut nama anime. "Kamu cantik gini tapi suka nonton anime, cowok-cowok nggak pada ilfill lihatnya?"
"Biarin. Asalkan nggak mengganggu ketenteraman hidupku, silahkan ilfill sama aku."
"Gaya! Nanti kalau ada cowok yang kamu suka terus dia ilfill lihat tontonanmu. Yakin nggak tantrum?"
"SERATUS PERSEN YAKIN!"
"Tiba-tiba kepikiran, gimana kalau cowok animeku ada di dunia nyata?" Pertanyaan tak berbobot bisa-bisanya keluar dari mulut Samira.
"Kamu di kuliahin kenapa jadi bodoh sih, Ra?"
___
26-10-24
Boleh banget kalau ada yang komen buat meramaikan cerita ini. Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini, semoga kita bisa bertemu lagi di part selanjutnya ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Semu Merah Jambu
Ficțiune adolescențiTempat bimbel mempertemukan keduanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Samira jatuh pada pandangan pertama. Pesona cowok tampan dan pintar dalam pelajaran apapun, siapa yang tidak akan jatuh hati padanya? Hal ini juga dirasakan oleh Hagya. Menurutnya, me...