Akankah seseorang benar-benar bahagia ketika ada orang lain yang rela melakukan apa saja untuknya?
Irish menatap pria yang berbaring di ranjang UGD. Wajahnya pucat dan bibirnya kering serta pecah-pecah. Rambutnya yang biasa tertata rapi kini kusut berantakan. Kulitnya juga masih lembap bekas basah karena air hujan.
Setelah Caraka pingsan di teras rumahnya sekitar tiga puluh menit yang lalu, Irish langsung lari ke rumah Pak Supeno untuk minta bantuan. Mereka membawa Caraka ke UGD rumah sakit terdekat, yang untungnya hanya terletak nggak jauh dari gerbang utama komplek perumahan.
Dokter jaga yang memeriksa Caraka mengatakan bahwa tekanan dan gula darah Caraka terlalu rendah, serta asam lambungnya naik. Untuk mempercepat pemulihan, dokter sudah menyuntikkan obat. Caraka sudah sadar, tapi belum benar-benar pulih seratus persen.
“Sudah enakan, Pak?” tanya dokter yang berjaga.
Caraka mengangguk.
“Syukurlah. Obatnya sudah masuk, seharusnya akan segera membaik. Tapi kita observasi dulu, ya,” terang dokter muda tersebut. “Istirahat saja, Pak. Santai saja.”
“Terima kasih, Dok.”
Setelah dokter tersebut meninggalkan mereka, Irish kembali menatap Caraka. Perasaannya sangat ambigu. Dia sedih, khawatir, dan juga merasa bersalah. Namun, di sisi lain, Irish juga luar biasa marah karena … apa yang dilakukan Caraka selama ini sampai bisa tiba-tiba drop begini?
“Sekarang gimana rasanya? Beneran udah enakan?”
Caraka mengangguk.
“Kok bisa gula darah turun begitu sih, Kak? Apa Kak Ara jarang makan?”
Caraka nggak menjawab. Keterdiaman pria itu membuat Irish mencurigai sesuatu.
“Jangan bilang Kak Ara stay terus di depan rumah dari kemarin?” tanyanya dengan ekspresi menyelidik.
“Aku nggak tahu kapan kamu mau ketemu dan kita harus ketemu.”
“Ya Tuhan! Kan nggak harus begitu!” omel Irish sebal. “Bisa-bisanya kamu ngejogrok di depan rumahku tiga hari. Istirahatnya di mana? Di mobil?”
Caraka bergerak untuk bangun, dan Irish refleks meraih lengan dan punggung pria itu untuk membantu. Tangan Caraka dalam genggamannya terasa hangat.
“Mana enak tidur di mobil? Apa nggak pegal-pegal tubuhnya? Padahal kan nggak harus sebegitunya. Udah tahu aku lagi kesal, harusnya dibiarin aja dulu. Toh kalau udah hilang kesalnya, aku pasti–”
Omelan Irish terhenti begitu saja ketika Caraka mengulurkan tangannya dan meraih Irish dalam pelukan.
“—mau ngomong juga ….”
Irish tertegun. Pelukan itu terasa sedikit lemah, tetapi tekadnya kuat. Caraka menopangkan dagunya ke pundak Irish.
“Jangan begitu lagi, Rish,” kata Caraka lirih. “Tolong jangan pergi dari aku.”
Ragu-ragu, Irish menggerakkan tangannya dan balas memeluk Caraka.
(*)
Ke mana perginya kemarahan dan kejengkelan yang membabi buta sejak hari Jumat? Masih ada, tapi hal itu nggak menghalangi Irish untuk berada di apartemen Caraka.
Setelah dokter memastikan kondisi Caraka cukup bagus untuk rawat jalan, pria itu diizinkan pulang. Semarah-marahnya Irish, dia nggak bakal tega membiarkan Caraka menyetir sendiri. Wajah pria itu bahkan masih pucat dan jalannya sempoyongan. Jadi, Irish menawarkan diri untuk menyetir mobil Caraka–dan was-was sepanjang jalan karena ini kali pertama dia membawa mobil mewah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DRUNK DIALING
ChickLitDRUNK DIAL verb past tense: drunk dialed; past participle: drunk dialed: make a phone call to (someone) while drunk, typically one that is embarrassing or foolish. "the temptation to drunk dial an ex" Irish menyalakan ponselnya dengan sedikit gemeta...