Jika diberi satu kesempatan pertanyaan yang pasti akan dijawab, apa yang ingin kamu tanyakan kepada semesta?
Untuk saat ini, Irish punya satu pertanyaan yang ingin sekali dia kemukakan: kapan jatah sialnya akan habis? Dengan semua hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupnya, fakta soal yang satu itu lumayan meresahkan.
Irish sudah sibuk menanyakan hal itu sejak dia terjaga dari tidurnya. Selimut masih membungkus tubuhnya sampai batas leher, Betmen masih meringkuk di bawah kakinya, dan kamar masih gelap karena tirai jendela belum dibuka. Seharusnya dia bergegas bangun dan segera bersiap-siap ke kantor. Namun, yang Irish lakukan cuma berbaring telentang, menatap langit-langit kamarnya yang penuh dengan sticker bintang menyala, sibuk dengan pikirannya sendiri yang terlalu berisik.
Pintu kamarnya diketuk.
"Bangun, Dek! Kamu nggak ke kantor?" Terdengar suara Bang Aras.
Irish diam saja, pura-pura masih asyik menyelam di pulau mimpi.
"Beneran belum bangun? Ini bocah kebo banget sih .... Dek, Abang masuk, ya!"
Pertanyaan itu cuma formalitas, karena nggak lama kemudian pintu kamar Irish terbuka, membuat cahaya terang dari jendela di ruang tengah membanjir masuk. Sontak Irish menutupi wajahnya dengan selimut. Sementara Betmen melesat keluar kamar.
"Adek, bangun! Udah jam setengah tujuh lewat itu!" Bang Aras menjulang di samping ranjang, mengguncang lengannya.
Pelan-pelan Irish membuka mata, membiasakan diri dengan cahaya. "Ini hari apa?" tanyanya dengan nada merana.
"Kamis."
Irish mengerang. "Haaaah ... kenapa, sih, weekend masih lama?!"
Bang Aras tertawa. "Kenapa sih kamu tuh? Buruan bangun, Dek! Emangnya nggak takut telat terus potong gaji?" tanya Bang Aras sambil berjalan keluar kamar.
Irish semakin sebal karena diingatkan soal kenyataan bahwa dia adalah budak korporat sejati. Haaah ... seandainya penghasilan Irish nggak bergantung pada gaji bulanan, sudah tentu kegalauan ini nggak perlu dia rasakan.
Bukannya segera mandi dan bersiap, Irish malah keluar kamar dengan wajah mengantuk dan duduk di kursi makan. Di meja makan sudah tersaji nasi goreng ayam kesukaan Irish, sementara papanya masih sibuk di depan kompor.
"Tunggu, Neng, Papa lagi gorengin nugget ... lho? Kok kamu masih buluk begitu?" tanya papa Iris, terkejut dengan penampilan anak bungsunya yang masih berkotoran mata.
Alih-alih menjawab, Irish meraih sepotong timun dan mengunyahnya dengan suara berisik.
"Adek ini lagi kesambet setan mager kayaknya, Pa," jawab Bang Aras yang lewat di dekatnya membawa keranjang pakaian kotor.
Jam berapa Bang Aras pulang, Irish bertanya-tanya. Seingat Irish, semalam ketika dia telepon minta dijemput, Bang Aras bilang sedang dapat sif sore. Sebagai seorang perawat, Bang Aras memang punya tiga sif yang dilakukan bergiliran. Jika sedang dapat sif malam, mustahil Bang Aras sudah beredar di rumah sepagi ini.
Jika bukan Bang Aras, pastilah Bang Eros yang menjemputnya semalam. Sontak Irish menatap pintu abu-abu nomor dua dari depan yang tertutup rapat. Lubang udara di atasnya terlihat gelap. Sudah pasti penghuni kamar itu masih asyik molor, dan nggak berurusan dengan jam kerja seperti dirinya. Irish jadi iri kepada abangnya yang nomor dua itu. Bang Eros bisa bangun siang dan nggak ada yang akan memotong gajinya.
Jika Bang Aras bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta, Bang Eros merupakan IT Developer independen yang nggak terikat dengan perusahaan mana pun. Bang Eros mengambil pekerjaan yang dia mau, bekerja dengan ritmenya sendiri, nggak punya jam kerja saklek apalagi sistem absensi potong gaji, dan duitnya tetap banyak. Kadang-kadang Irish merasa dunia ini nggak adil. Bang Eros bahkan bisa bekerja hanya dengan celana kolor dan kaus kutang!
KAMU SEDANG MEMBACA
DRUNK DIALING
ChickLitDRUNK DIAL verb past tense: drunk dialed; past participle: drunk dialed: make a phone call to (someone) while drunk, typically one that is embarrassing or foolish. "the temptation to drunk dial an ex" Irish menyalakan ponselnya dengan sedikit gemeta...