27. Kecuali Berniat Menikahi Anak Pejabat, Dilarang Main-Main Soal Pekerjaan

7.5K 1.2K 108
                                    

Mengapa manusia selalu berada di persimpangan, salah logika yang terlalu ketat atau hati yang terlalu keras kepala?

Pesan dari Caraka masuk ke ponsel Irish hari Minggu malam.

Caraka Samahita (RedBuzz):
Besok aku jemput ya?

Meski cuma sebaris, Irish butuh waktu satu menit membacanya. Tentu saja satu detik untuk membaca dan lima puluh sembilan detik untuk bengong memikirkannya. Itu pun Irish belum berhasil menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Caraka.

Persoalan dengan Caraka memang sudah jelas, tapi Irish masih ragu-ragu untuk kembali ke kantor. Setiap kali membayangkan tatapan orang-orang di sana, bulu kuduk Irish merinding. Setiap kali memikirkan bagaimana Desi dan Kinan memasang ekspresi sinis saat weekly meeting, Irish langsung malas keluar dari selimutnya.

Kenapa orang harus bekerja? Kenapa sih kita nggak bisa hidup aman di balik selimut aja?

Masalahnya, Irish nggak mungkin menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada satu demi satu dari mereka. Pertama, itu akan memakan banyak waktu dan tenaga. Kedua, Irish nggak yakin akan ada yang percaya. Pelabelan online itu sangat ampuh. Terutama hal-hal fenomenal seperti “pelakor”. Orang-orang akan lebih tertarik untuk menguak aibnya ketimbang kebenaran yang sesungguhnya.

Irish sudah bertanya apa yang akan Caraka lakukan untuk menyelesaikan masalah ini. Pria itu bilang akan segera bicara dengan Shaka–walau Irish curiga solusi asli yang Caraka tawarkan adalah “abaikan saja apa kata orang karena mereka nggak tahu apa-apa dan nggak memberi kita makan”. Irish yang biasanya akan setuju, tapi jujur saja, kali ini dia akan keberatan jika Caraka memilih opsi itu. Menurut Irish, orang seperti Shaka harus dihentikan. Memaklumi dan membiarkannya hanya akan membuat Shaka lebih tantrum lagi.

Alhasil, hari Senin terlewati begitu saja dengan Irish yang masih bimbang harus masuk atau nggak.

“Sebenernya masalah apa, sih?” tanya Bang Eros, Senin malam, ketika Irish mengungsi ke kamarnya karena capek dengan pikirannya sendiri. “Seinget gue, lo belum pernah segalau ini.”

Irish berbaring di ranjang abangnya dan menghela napas panjang. “Masalah mantan nggak kelar-kelar!” gerutunya. “Capeeek, deh!”

“Mantan lo?”

“Mantan dia!”

Bang Eros membulatkan bibirnya, lalu tertawa.

“Gue kirain lo pacar pertama Caraka, Rish. Mukanya polos abis, kayak freshgrad yang minim pengalaman sosial.”

Irish menatap abangnya dengan ekspresi nggak habis pikir. Bisa-bisanya Bang Eros menilai Caraka minim pengalaman sosial, padahal dirinya sendiri juga minim pengalaman sosial?

“Tapi lo yakin bakal nikah sama anak pejabat apa gimana?” tanya Bang Eros lagi.

“Maksudnya?” Irish balas bertanya.

“Ya … kelakuan lo ini.”

“Kelakuan yang mana?”

Tangan Bang Eros bergerak cepat di atas keyboard. Barisan angka dan simbol-simbol bergulir cepat di layar komputer besar abangnya. Kadang Irish bingung dengan kemampuan Bang Eros untuk tetap fokus dengan apa yang dia kerjakan sambil melakukan hal lainnya. Contoh nyatanya ya saat ini: ngoding sambil me-review hidup Irish.

“Kabur dari kantor gini? Bolos dengan alasan personal? Bahkan gue yang nggak punya kantor aja harus tetap jaga reputasi, Manis. Kecuali lo berencana nikahin bos, jangan iseng-iseng nyampurin perkara kerja sama hati.”

Jleb.

Jujur saja, kata-kata Bang Eros sangat menusuk. Tentu saja Irish tahu. Dia sudah paham dengan hal itu. Urusan pribadi dan pekerjaan harus dipisahkan, tapi dia belum tahu caranya untuk menguatkan diri untuk bersikap nggak peduli.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DRUNK DIALINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang