08 | Revelation

50 7 0
                                    

HAPPY READING !!
VOTE AND KOMEN !

---

Hanjin duduk di dalam bus yang melaju perlahan melewati jalanan pedesaan yang semakin sunyi. Di luar, langit malam terlihat gelap dengan bintang-bintang yang samar-samar. Ia menyandarkan kepalanya di kaca jendela, napasnya berat sementara pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang nenek Shinyu.

"aku harap nenek baik baik saja.." Hanjin bergumam sendiri, matanya terus menatap langit.

Ia teringat kembali kata-kata nenek saat telepon tadi.

Flashback telepon:

“Nenek, aku akan kesana ya? tunggu aku!” tanya Hanjin saat berbicara lewat telepon dengan nada sedikit panik.

“baiklah, tolong rahasiakan ini dari Shinyu, Shinyu sudah banyak beban di kepalanya. Nenek nggak mau menambah kekhawatirannya lagi. Biarkan dia tenang dulu, Han,” jawab nenek dengan suara yang terdengar lemah tapi penuh kasih.

“Tapi, nenek di rumah sakit… Shinyu berhak tahu. Dia pasti ingin ada di sana buat nenek,” desak Hanjin, merasa bingung.

“Anak itu sudah banyak memikirkan hidupnya, biarkan nenek yang tanggung ini sendiri. Jangan bilang dulu, Hanjin. Nenek mohon,” suara nenek terdengar tegas, walaupun terkesan menenangkan.

----

Hanjin menghela napas panjang, hatinya terasa berat. Dia tahu nenek Shinyu hanya ingin melindungi cucunya, tapi dia merasa salah jika menyembunyikan sesuatu yang penting seperti ini dari Shinyu.

"Tapi... apa aku bisa benar-benar merahasiakannya?" Hatinya dipenuhi keraguan.

Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri. Pandangannya kembali ke luar jendela, melihat pemandangan yang semakin berubah menjadi pegunungan dan persawahan yang gelap.

“Shinyu pasti akan marah kalau tahu aku tidak memberitahunya...” gumam Hanjin lagi, tangan kirinya mengusap tengkuknya yang mulai tegang.

Bus berhenti di salah satu pemberhentian kecil, menurunkan beberapa penumpang. Hanjin melirik ke arah mereka yang turun dengan tenang. Ia mengingat saat-saat dirinya dan Shinyu sering pergi ke sekolah dengan bus ini. Waktu itu semuanya terasa ringan dan tanpa beban.

"Aku harus gimana? Nenek bilang ini untuk kebaikan Shinyu, tapi rasanya salah." Hatinya terus berdebat sendiri, sementara pemandangan luar terus berganti.

Dia mengambil ponselnya, menatap layar sambil berpikir apakah ia harus menghubungi Shinyu atau tetap diam seperti permintaan nenek. Namun, jemarinya hanya gemetar tanpa bisa memutuskan.

"Shinyu... maafin aku kalau nanti kamu tahu semua ini, ya?" Hanjin bergumam pelan, memutuskan untuk menunda keputusan sampai ia tiba di rumah sakit.

Di dalam bus yang semakin sunyi, Hanjin merasa kesepian, namun tekadnya untuk berada di sisi nenek Shinyu tetap kuat. Meskipun ada dilema besar yang masih menggantung di pikirannya.

----

Pagi itu, Jihoon terbangun dengan perlahan berjalan keluar kamar. Matanya masih setengah terbuka saat melihat Shinyu yang masih tertidur di sofa, tampak terbungkus selimut tipis yang sudah hampir terjatuh ke lantai. Ia menghela napas kecil, lalu berdiri dan mendekati Shinyu.

“Shin... bangun, udah pagi,” bisik Jihoon sambil menepuk pelan bahunya.

Shinyu mengerang pelan, lalu membuka mata dengan sedikit berat. Ia duduk sambil mengusap wajahnya, masih setengah sadar. “Kenapa aku tidur di sofa ya?” gumamnya.

Jihoon hanya mengangkat bahu sambil tersenyum kecil, “Kayaknya kamu kecapekan, deh.”

Shinyu menghela napas panjang, tapi tiba-tiba, ada perasaan aneh menyergapnya. Perasaan tidak nyaman yang membuatnya gelisah. “Eh, Hanjin mana ya?” tanyanya tiba-tiba.

Twenty Four Seven With Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang