------
pagi itu, mereka duduk kembali di ruang tamu, membicarakan pembagian tugas rumah. Awalnya, suasana masih terasa santai dan penuh canda, tetapi perlahan-lahan, ketegangan mulai muncul.
“Jadi, kita harus membagi tugas rumah tangga ini dengan adil,” ujar Dohoon dengan nada serius. Ia memegang selembar kertas dengan daftar tugas yang sudah disusunnya. “Kita semua tinggal di sini, jadi penting untuk saling membantu.”
Jihoon, yang duduk di sofa dengan tubuh yang setengah terlentang, mengangkat alisnya. “Maksudmu, kita harus mengikuti jadwal ini setiap hari?” tanyanya dengan nada skeptis.
Dohoon mengangguk. “Ya, Jihoon. Kalau tidak ada yang mengatur, rumah ini bisa berantakan.”
“Berantakan?” Jihoon mendengus, matanya beralih ke arah Hanjin yang duduk di samping Dohoon. “Hanjin, kamu setuju dengan semua ini? Maksudku, kita kan di sini untuk bersenang-senang, bukan malah mengikuti aturan ketat.”
Hanjin mencoba tersenyum, meski jelas terlihat ia sedikit gelisah. “Jihoon, aku mengerti maksudmu. Tapi kita semua harus bertanggung jawab, ini rumah kita sekarang.” Ia menatap Jihoon dengan penuh harap agar temannya mengerti.
“Memang benar, tapi lihat ini!” Jihoon menunjuk daftar tugas yang dipegang Dohoon. “Setiap hari kita harus mengurus ini dan itu, kapan kita punya waktu untuk diri sendiri? Lagipula, kenapa harus Dohoon yang mengatur semuanya?”
Dohoon menghela napas panjang. Ia tahu Jihoon sering kali tidak suka diatur, tetapi kali ini ia berharap temannya bisa melihat pentingnya masalah ini. “Jihoon, ini bukan soal siapa yang mengatur. Kita semua di sini sama-sama tinggal, dan aku hanya mencoba memastikan semuanya adil.”
“Tapi kenapa harus ada jadwal seperti ini? Ini seperti tinggal di asrama!” Jihoon mulai kehilangan kesabaran. Suaranya naik satu oktaf, dan ia membuang tubuhnya ke belakang dengan frustrasi.
Di sudut ruangan, Shinyu tampak duduk dengan santai, bersandar pada lengan kursi sambil memainkan ujung rambutnya. “Kalau menurutku sih, asal rumah ini bersih, ya terserah siapa saja yang mau kerjakan. Nggak perlu ribet,” komentarnya sambil mengangkat bahu acuh tak acuh.
“Lihat, bahkan Shinyu setuju,” Jihoon berseru, matanya menatap Dohoon dengan tatapan ‘kan-kubilang-apa’. “Tidak semua orang suka dengan aturan seperti ini, Dohoon.”
Kyungmin, yang sejak tadi hanya diam sambil memainkan ponselnya, akhirnya ikut bersuara. “Aku juga nggak masalah sih siapa yang ngatur, asal aku nggak dapat tugas mencuci piring,” ucapnya sambil tertawa kecil, tetapi jelas tidak ingin terlibat terlalu dalam.
“Aku serius di sini!” Dohoon berkata tegas, matanya berkilat penuh keseriusan. “Ini bukan cuma soal siapa yang suka atau tidak suka. Kalau kita nggak atur ini dari awal, nanti malah jadi berantakan.”
Hanjin, melihat situasi yang semakin memanas, mencoba masuk ke tengah perdebatan. “Oke, tunggu sebentar. Mungkin kita bisa membuat kesepakatan bersama. Dohoon hanya ingin semuanya jelas, tapi kita juga bisa lebih fleksibel, kan?”
“Tapi, Hanjin...” Jihoon ingin membantah lagi, tetapi Hanjin segera mengangkat tangan, menghentikan kata-katanya.
“Dengar, Jihoon. Dohoon hanya mencoba memastikan semua berjalan lancar. Kita bisa berdiskusi soal jadwal ini, tapi jangan langsung menolaknya.” Hanjin berbicara dengan nada lembut namun tegas, berharap bisa meredakan ketegangan.
“Jihoon, kamu selalu merasa harus melawan setiap aturan,” tambah Dohoon, suaranya terdengar lelah. “Aku hanya ingin kita punya rumah yang nyaman, itu saja.”
“Aku bukan menolak, hanya saja... ini terlalu berlebihan!” Jihoon menatap Dohoon dengan pandangan yang sulit dibaca, campuran antara frustasi dan ketidakmengertian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twenty Four Seven With Us
RandomEnam sahabat tinggal bersama di sebuah rumah besar tanpa orang tua, menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa. Setiap dari mereka membawa beban, mimpi, dan konflik pribadi yang perlahan terjalin dalam kehangatan persahabatan. Dari seni, olahraga, h...