End

385 53 16
                                    

Langit kelabu menggantung di atas pemakaman, seolah ikut berduka atas kepergian Zayyan. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga segar yang berjejer di sekeliling makamnya. Suasana hening, hanya terdengar sayup-sayup doa dari orang-orang yang berkumpul di sana, membentuk lingkaran kesedihan yang mendalam.

Satu per satu, mereka berdiri diam, kepala tertunduk dalam keheningan, memberikan penghormatan terakhir. Wajah-wajah penuh duka, mata yang sembab oleh tangisan, dan isak tangis yang sesekali terdengar, membuat suasana semakin terasa pilu. Semua yang hadir hari itu datang dengan perasaan yang sama—kehilangan yang begitu besar, seorang teman, seorang anak, seorang sahabat, yang telah pergi terlalu cepat.

Papa Zayyan berdiri paling depan, tubuhnya tampak rapuh, seperti beban dunia terlalu berat untuk ditanggungnya seorang diri. Matanya menatap kosong ke arah jasad yang perlahan-lahan diturunkan ke liang lahat. Di dalam liang itu, Zayyan beristirahat untuk selamanya, meninggalkan dunia yang penuh dengan kenangan yang tak pernah sempat mereka bagikan.

Di samping Papa Zayyan, Sing dan Leo berdiri diam, namun perasaan di hati mereka bergejolak. Kesedihan yang tak terkatakan membanjiri hati keduanya. Bagi mereka, Zayyan bukan sekadar teman biasa. Dia adalah sahabat yang mengisi hari-hari mereka dengan tawa, senyuman, dan kebersamaan yang tak tergantikan. Sekarang, semuanya terasa hampa, seolah sepotong diri mereka ikut terkubur bersama Zayyan.

Sing menatap jasad yang perlahan mulai ditutupi tanah, tangannya gemetar, tapi dia tak sanggup menahannya lagi. Dia melangkah maju, berlutut di tepi makam, dan dengan suara yang nyaris berbisik, dia berkata, "Selamat jalan, Zay. Lo janji kan, kita akan ketemu lagi... di tempat yang lebih baik." Suaranya pecah, dan air mata jatuh membasahi tanah yang mulai mengering.

Leo, yang selama ini dikenal sebagai orang yang paling kuat di antara mereka, tak bisa menahan air matanya. Bahunya bergetar, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasakan kehilangan yang begitu dalam, kehilangan yang tak bisa diobati dengan waktu. Dia berjalan ke arah makam, meletakkan bunga mawar putih di atasnya. "Lo akan selalu ada di hati kita, Zay. Nggak ada yang bisa gantiin lo."

Sementara itu, di kejauhan, beberapa teman sekelas Zayyan berusaha menahan air mata mereka. Mereka mengenang sosok Zayyan yang selalu ceria, yang selalu membantu tanpa mengeluh. Sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan, potongan-potongan ingatan yang akan mereka simpan di hati mereka selamanya.

Hujan gerimis mulai turun, seolah-olah langit sendiri tak kuasa menahan kesedihannya. Orang-orang mulai menyingkir, meninggalkan Papa Zayyan yang tetap terpaku di depan makam putranya. Dia tak sanggup pergi, seolah-olah jika dia beranjak, kenyataan bahwa Zayyan telah tiada akan semakin menghantamnya.

"Papa minta maaf, Zay," ucapnya dengan suara serak. "Maaf karena Papa nggak pernah ada buat Zayyan. Maaf karena Papa terlalu takut untuk menunjukkan bahwa papa sayang sama kamu...dan maaf karena selalu menyalahkanmu atas hal-hal yang bukan kesalahan mu...." Suara itu tersendat, tercekik oleh isak tangis yang tak terbendung lagi. Di bawah langit yang menangis, seorang ayah akhirnya berlutut di depan makam anaknya, menumpahkan segala penyesalan yang tak akan pernah sampai kepada Zayyan.

Dan di sana, di tengah gerimis yang semakin deras, sebuah nisan berdiri sunyi, tertulis nama yang akan selalu mereka kenang:

Zayyan Arif Hakim 2002 - 2019 "Selamanya dalam kenangan kita."

Sebuah janji yang tertulis dalam batu, untuk sahabat yang telah pergi, namun tidak pernah benar-benar hilang dari hati mereka.

======

Papa Zayyan POV

Setelah kepergian Zayyan, hidupnya berubah menjadi sunyi yang tak terucapkan. Segala sesuatu yang dulu terlihat penting kini tampak tak berarti. Pekerjaan yang selalu dia kejar, prestasi yang dia banggakan, bahkan kesuksesan yang selalu dia anggap sebagai tolak ukur hidup—semua itu hampa, seakan menjadi ilusi belaka. Kamar hotel yang dulu hanya sekadar tempat singgah dalam rutinitasnya kini menjadi penjara bagi pikiran-pikiran yang tak pernah berhenti mengejarnya.

Setiap kali Papa Zayyan menutup mata, bayangan putranya selalu muncul. Ia bisa melihat Zayyan, masih kecil, berlari riang di taman, memanggil-manggilnya dengan tawa polos yang menggetarkan hati. Ia melihat momen-momen di mana Zayyan tumbuh, momen yang seharusnya dia nikmati, tapi yang malah dia abaikan karena takut menghadapi kesedihan yang disebabkan oleh kehilangan istrinya. Setiap kali ia melihat Zayyan, ada bayangan wanita yang pernah dia cintai—wanita yang telah meninggalkan luka dalam di hatinya.

Namun sekarang, Zayyan sudah tiada, dan dengan kepergiannya, semua rasa penyesalan itu menggulung seperti ombak besar, menenggelamkannya dalam lautan kesedihan yang tak bertepi. Mengapa aku tidak pernah memberinya waktu? Mengapa aku begitu takut untuk mencintainya seutuhnya? Pikiran-pikiran itu menghantui setiap jam yang dia jalani, membuatnya terjaga sepanjang malam, dikelilingi oleh hantu kenangan yang tak bisa dia hapus.

Hari-hari setelah pemakaman adalah yang terberat. Rumah terasa seperti reruntuhan—setiap sudut dipenuhi oleh kenangan Zayyan. Suara tawa putranya yang dulu memenuhi ruang itu kini hanya gema hampa yang tak akan pernah kembali. Setiap kali Papa Zayyan melewati kamar Zayyan yang kini tertutup rapat, hatinya terasa seakan ditusuk berulang kali. Bau khas Zayyan masih melekat di sana, seakan kehadirannya masih ada, tapi ketika dia membuka pintu, hanya ada keheningan yang menyambutnya.

Banyak hal yang seharusnya ia katakan kepada Zayyan, tapi semuanya kini tinggal angan-angan. Bagaimana dia seharusnya mengatakan bahwa meski dia tak pernah menunjukkannya, dia sangat mencintai putranya? Bagaimana dia seharusnya meminta maaf atas jarak yang dia ciptakan di antara mereka—jarak yang akhirnya tak pernah bisa dia tembus? Penyesalan itu begitu pahit, menghancurkan hatinya dengan setiap detik yang berlalu.

Di tengah malam, Papa Zayyan sering mendapati dirinya duduk di ruang tamu, menggenggam bingkai foto keluarga yang berdebu. Foto lama itu menampilkan senyum Zayyan, kecil dan bahagia, bersama dirinya dan istrinya yang kini juga telah pergi. Mereka tampak seperti keluarga yang sempurna—sesuatu yang dulu dia yakini akan bertahan selamanya. Tapi kenyataan telah mengajarkan bahwa tidak ada yang abadi.

Ia sering bertanya-tanya, Apakah Zayyan tahu? Apakah dia tahu betapa aku menyayanginya? Apakah dia tahu bahwa di balik sikap dinginku, ada hati yang terluka dan ketakutan yang begitu besar? Tapi pertanyaan itu tak pernah terjawab. Zayyan telah pergi membawa semua jawabannya, meninggalkannya dalam kegelapan.

Rasa bersalahnya begitu dalam. Ia merasa bahwa ia telah gagal sebagai seorang ayah—bahwa dalam usahanya melindungi diri dari rasa sakit kehilangan lagi, dia justru kehilangan satu-satunya hal yang paling berharga dalam hidupnya. Zayyan adalah satu-satunya pengingat akan cinta yang pernah dia miliki, tapi ketakutannya membuat dia tak pernah benar-benar hadir bagi putranya. Dia selalu bersembunyi di balik pekerjaan, alasan-alasan yang tak lagi masuk akal, mencoba melarikan diri dari kenyataan yang tidak pernah bisa dia hadapi.

Sekarang, di dunia yang tak lagi memiliki Zayyan, dia hidup dengan penyesalan yang tiada akhir. Dia merasakan setiap harinya kosong, tanpa arah, tanpa tujuan. Ia sering kali menatap keluar jendela, melihat kehidupan yang terus berjalan tanpa dia, tanpa Zayyan. Tapi bagi Papa Zayyan, dunia telah berhenti pada saat putranya menghembuskan napas terakhir. Waktu tak lagi berarti—hari-hari terasa panjang, tapi juga tak terasa nyata.

Kadang-kadang, ia berdoa agar ada kesempatan kedua. Sebuah kesempatan untuk memeluk Zayyan sekali lagi, untuk mengatakan bahwa dia menyesal dan bahwa dia menyayanginya lebih dari apa pun di dunia ini. Tapi doa itu hanya hilang dalam sunyi, tidak pernah sampai pada tempat yang dia harapkan.

Di dalam hatinya, dia tahu bahwa penyesalan ini akan menjadi teman setianya seumur hidup. Tidak ada pengampunan yang bisa dia berikan pada dirinya sendiri, tidak ada waktu yang bisa dia putar kembali. Zayyan telah pergi, dan bersamanya, harapan untuk memperbaiki segalanya ikut terkubur dalam-dalam. Yang tersisa hanyalah kenangan—kenangan yang akan selalu menghantui setiap detik yang dia habiskan di dunia tanpa putranya.










Akhirnya cerita ini selesai, bagaimana pendapatnya teman-teman?  bisa komen untuk masukan nya ya🤗

Jangan lupa vote dan komen.

End.

Aku Ingin Menyerah •Zayyan Story• ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang