Sepasang jelaga bambi berisi kemurnian

34 9 2
                                    

Belum ada lima menit kakinya berpijak, sepenggal laporan telak mengubah suasana hatinya berganti buruk. "Den, tadi Ibu telepon. Katanya Aden jangan ke mana-mana sebelum Ibu sampai."

"Mami mau pulang, Bi?"

"Iya, Den. Sudah di bandara. Kalau ndak ada halangan jam sepuluh nanti tiba di rumah."

"Jeri pamit, Bi! Bilang aja Jeri gak pulang sejak pagi. Terserah Bibi kasih alasan apa. Ekskul kek, atau menginap di rumah temen, asalkan mami gak tau Jeri sempet pulang. Tolong ya, Bi." Runtut penolakannya terucap sembari tungkai mengayun keluar, berencana membebaskan diri dari sipir yang mungkin dapat dengan mudah mengubah segalanya seperti suasana siksa jeruji.

Acap serupa. Bukan kegembiraan batin diterima Jeriko setelah menangkap kabar kepulangan sosok ibunya. Alih-alih lega bersama tuntutan rindu, justru sesak menumbuk keras ke rongga dada. Dia benci kehadiran ibunya sekadar supaya menakut-nakuti kewarasan, memblokir bebas, menarik aman serta merampas ketenangan. Sosok ibu yang digadang-gadang bak makhluk separuh malaikat, hanya memerankan momok pengancam yang terus-menerus memporak-poranda akal sehatnya. Ibu yang harusnya dia tunggu, dinanti kedatangannya, hanya akan mengambil sebagian besar kelapangan dahaga. Baru dirasakan benar jika dia menyingkir tanpa perlu bersitatap, konon bercengkerama. Figur ibu selaku sandaran tidak pernah ada dalam cerita memori Jeriko.

Kesal meruntuhkan fokusnya bahkan sejak pertama Bibi mengungkap kejujuran. Jeriko kembali dari berkumpul sejenak dengan teman-teman sepermainan. Ala pemuda masa kini ketika sedang membicarakan perkara yang dianggap serius, walau tak jarang seputar kegiatan tambahan sekolah atau juga rencana bepergian kelompok. Dan Jeriko memerankan adegan pertama di mana dia gaco pada tim futsal sekolah mereka. Perlu menyusun strategi, memantapkan skedul latihan guna mempersiapkan pertandingan di tiga bulan ke depan.

-----

"Dek, ada Jeri tuh di luar. Abang tengok dia kusut banget, masih pake seragam sekolah. Suruh masuk gih. Kali aja butuh minum." Tama sekonyong menginterupsi keheningan di dapur. Mereka menuntaskan makan malam sedari sepuluh menit tadi. Namun, baik Jihan dan Tuan Prune masih betah berbincang di situ.

"Adek pikir gak jadi dateng. Dari jam setengah enam tadi dia teks Adek, bilang mau mampir."

"Makanya buru samperin. Mukanya kek driver ojol yang abis dicancel pelanggan."

"Bang, apaan sih? Dia pacar Adek, tau! Enak aja dikata-katain!"

"Bodo! Siapa suruh masih muda begitu kok mukanya kek yang ketiban beban segunung. Coba sendiri, deh. Miris bener ngeliatnya."

"Tama—"

"Beneran tau, Yah! Ini sih memang bukan pertama kalinya Tama ngeliat tampang melas Jeri. Tapi, ini yang terparah deh kayaknya. Bukannya mau ngecengin, agak kasian aja."

Tuan Prune menggeleng pasrah, serentak embusan napas Jihan terbuang rendah. Dia beranjak ke wastafel, membilas kedua tangannya di sana. Sedikit kecupan kecil di pipi Tuan Prune sebagai perkataan selamat malam. "Jiji temuin Koko dulu ya, Yah. Takutnya dugaan abang bener."

"Diajak makan, Ji. Siapa tahu lapar anaknya."

"Iya, Yah. Nanti Jiji tanyain."

Jihan menyusul presensi pemuda yang setahun belakangan menjalin hubungan asmara dengannya. Mengenyahkan embel-embel cinta monyet, Jeriko begitu getol mengejar dia demi segenggam afeksi. Dua tiga bulan upaya seperti kesia-siaan, Jihan yang pada masa itu membuang jauh pikiran untuk berpacaran jelas pula menampakkan seribu satu gelagat penyangkalan. Bukan semata-mata mengenyahkan arus pesona si pemuda setengah matang.

Jeriko Rexa Gautama populer di awal pagi mereka meresmikan diri sebagai siswa baru di sekolah. Dia keren dan tegap untuk pria bau kencur tujuh belas tahunan. Siswa siswi lain mengagumi sikap dingin dan kata-katanya yang kasar. Pengecualian bagi Jihan yang terbiasa menuai kelembutan dari kedua laki-laki tampan di surga mereka. Ayah dan abangnya tidak membentak, tidak menyakiti hatinya yang rapuh melalui bait-bait menohok. Amarah pun tak betul-betul terealisasi, mengingat Jihan sendiri seumpama bayi kucing menggemaskan minim perlawanan. Dia sungguh manis, cantik, rentan, gampang disayang dan dicintai.

Hari-hari pedekate adalah serentetan adegan membosankan. Jeriko yang sering seenaknya tanpa segan mengekori Jihan, kendati upaya mendapat tepisan ulang sekuat umpatan. Segala trik murah/mahal diterapkan si pemuda demi menjemput validasi si manis Jihan. Namun, nihil. Jeriko nyaris menyerah sesaat andai seekor anjing tidak menjadi penyelamat sekaligus saksi di balik plot twist si manis mulai meluruh kepadanya.

Jihan membuka diri usai menyaksikan intimasi di antara Jeriko bersama seekor puppy di pinggiran trotoar. Si pemuda menamainya Luki, anak anjing malang dan kaki pincangnya. Si tegap keren itu membawanya ke klinik hewan, mengobati, mendanai semua biaya hingga Luki mampu berdiri tegak di atas keempat kakinya lagi. Jihan luluh setelah perhatian sederhana Jeriko terbaca segitu murni di matanya.

"Ko—" Si empu menoleh, sungguh membuktikan tuduhan abangnya semula. Jeriko yang sekarang di hadapan dia tampak menyedihkan dan kasihan.

"Yang, aku ganggu, ya? Maap jadi ngerepotin. Aku bingung, Yang."

Jihan hela napasnya perlahan-lahan, duduk di salah satu kursi kayu di teras rumah, menepuk sebelahnya agar Jeriko turut rehat di sana.

"Kamu udah makan?" Spontan Jihan bertanya usai menjumpai garis letih di sekitar kelopak manik bambi.

"Belum. Aku buru-buru kabur dari rumah."

"Kenapa kamu telat? Aku kira gak jadi mampir."

"Tadi aku udah bilang, aku betulan bingung. Kepalaku mumet. Aku berhenti di Betamart cuma buat ngelamun sejaman penuh."

"Padahal nanggung banget jaraknya ke sini."

"Iya. Gak enak sama ayah kamu, aku sungkan."

"Kamu udah sering ke sini, nginap malahan. Apa yang bikin sungkan?"

"Enggak dengan penyebab aku mampir kali ini, Yang. Siapapun bakal bosan sama kondisiku yang nyebelin begini."

"Jelasin, Koko! Aku mau kamu ngomong yang jelas, gak usah berbelit-belit. Mami kamu kenapa?"

"Gak tau. Dan gak pengen tau juga. Ada aja masalahnya setiap dia pulang. Itu buat aku muak, muak banget. Belum ketemu mami aja aku udah mikir yang macem-macem. Aku setakut itu sama dia."

"Dia ibu kamu. Gak pantes loh seharusnya."

"Gak ada ibu yang menelantarkan anaknya, Yang. Aku dari TK dipaksa terbiasa dengan kesendirian. Semuanya diurus Bibi. Mau aku hampir mati pun gak cukup bikin mami khawatir sama aku."

"Iya, aku udah denger berkali-kali, Yang. Dan aku yakin bukan itu alasan kamu lari. Selama ini kamu kuat, kamu bertahan sampai sejauh ini dengan keyakinan kamu sendiri ... aku juga gak akan ninggalin kamu, aku gak mungkin biarin kamu tersesat dalam masalah itu. Tapi, aku butuh pengakuan eksplisit."

"Terakhir—terakhir kali papasan sama mami, dia bilang gak akan balik tiga bulan. Aku disuruh nyiapin diri buat menyambut kejutan dia sepulangnya kelak. Mami gak tau kalo aku nguping percakapan dia entah dengan siapa di H-1 keberangkatan dia. Yang,"

"Ya,"

"Kamu janji gak ninggalin aku 'kan?"

"Enggak, Koko."  Kening Jihan mengernyit, memantau kegelisahan kentara pada Jeriko. Seluruh gurat-gurat mencurigakan itu mengalihkan perhatian Jihan dari kondisi mengenaskan rautnya, malar-malar dengan betapa mengkilap permukaan kulitnya oleh rasa lelah.

"Takut, Ji. Koko takut perempuan itu bawa Koko jauh dari sini."  Tama tidak mengada-ngada mengenai Jeriko yang memprihatinkan. Sementara, Jihan kelu mengamati mika di sepasang bambi yang selalu dan akan lebih baik membiaskan kelucuan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lovebirds Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang