1. Kebetulan yang Tidak Diakui

459 56 10
                                    

Milk

Aku menyusuri hamparan yang meliuk-liuk berdampingan dengan air yang tidak dapat terhitung banyaknya. Pasir menggelitikkan jemari kecilku, seakan-akan menari bersamanya. Mataku tidak terlepas dari keindahan temanku, yang dihampiri turis-turis yang menikmatinya. Angin pun mendukungku, dengan membisikkan telingaku agar aku tenang.

Laut, temanku yang setia. Hanya laut yang mendengar ceritaku. Dengan laut, aku menjadi diriku sendiri. Tak ada yang mengerti aku selain laut. Laut jugalah yang menghidupiku. Hanya saja, aku tidak bisa membawa laut untuk berjalan bersamaku. Mengelilingi desa, menikmati makanan kesukaanku, atau mengobrol dengan orang-orang yang sering kukenalkan padanya.

Cuaca hari ini mendukung aktivitasku. Aku berpikir akan melaut sore ini.

"Milk!" 

Seseorang dari kejauhan memanggil namaku. Dia berdiri di pinggir jalan raya dengan menggunakan seragam sekolah yang amat pas di tubuhnya. Senyumnya sangat lebar untukku. Aku pun membalas sambil melambaikan tanganku. Dengan cepat, aku menghampiri teman kecilku.

"Bukankah kamu tinggal di asrama, Film?"

"Aku hanya mampir sebentar ke rumah untuk mengambil barang."

Aku mengangguk kecil. Film adalah sahabatku yang berkuliah di Mahidol University dengan jalur beasiswa. Dia mengambil kedokteran, persis apa yang ia mimpikan sejak dulu. Aku memandang kagum pada Film dengan seragamnya. Pintu hatiku terketuk, ada rasa iri yang tidak ingin aku tunjukkan.

"Sudah lama kita tidak bertemu, Milk. Masih menjadi nelayan?"

"Tentu saja. Jika aku tidak melaut, aku tidak bisa makan."

"Hidupmu akan lebih baik jika kamu mencari kerja di Bangkok. Kesempatan kerja disana masih tergolong besar."

Aku tidak mampu membalas perkataannya. Aku sangat ingin sekali ke Bangkok, tetapi aku sama sekali tidak memiliki uang untuk hidup disana. Untuk makan sehari-hari saja, aku harus melaut sampai matahari belum terbit dan menjual hasil tangkapanku ke pasar.

"Lebih baik aku disini, Film. Aku bisa melakukan apapun. Melihat laut dan menangkap ikan sudah menjadi keseharianku."

"Hey, mentang-mentang kamu anak pesisir, jangan meromantisasikan hidupmu hanya melihat laut!"

"Daripada memikirkan aku, lebih baik kamu membawa pacarmu kesini? Ah, seorang Film mempunya pacar? Rasanya tidak mungkin!"

Film memukul pelan kepalaku. Aku hanya terkekeh dengan perlakuannya. Film mengecek waktu di jam tangannya, sepertinya ia ada urusan lain.

"Nanti aku akan bawa pacarku. Aku harus segera pergi, Milk. Aku meninggalkan sesuatu di rumahmu. Aku akan kembali ke Samut Sakhon saat liburan semester." ucapnya sambil berlari menuju motornya. Entah pergi kemana.

Begitu sosok Film telah menghilang dari pandanganku, aku kembali berjalan untuk menelusuri pantai. Sudah saatnya aku bercerita kepadanya. Aku pergi ke spot favoritku, di atas karang yang berada cukup jauh dari kafe dan dermaga.

Pandanganku tak lepas dari laut. Aku dapat melihat daratan dari kejauhan, meski sangat kecil bentuknya. Entah Nyanmar atau masih negaraku, aku malas jika membuka buku geografiku.

"Selamat pagi, Laut. Kamu lihat kan siapa yang datang tadi? Itu Film, sahabat kecilku. Dia kembali kesini untuk mengambil sesuatu dari rumahnya, sekarang ia kembali ke Bangkok dengan motor bututnya."

"Aku iri sekali dengannya, Laut. Dia bisa kuliah, sedangkan aku? Tergila-gila padamu. Aku juga ingin kuliah, tetapi aku masih bergantung padamu untuk makan." lanjutku.

Laut Bercerita - The Story of Finding HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang