11. Teka-Teki Ayah

318 69 12
                                    

Liburan di Pattaya membawa kesan yang sangat menggembirakan bagi kami. Aku dan Love bersenang-senang disini. Kami singgah selama tiga hari dua malam di rumah peninggalan ayahku. Aku sempat bertemu dengan sahabat lama ayah, Paman Papang. Selama ini, beliau menantikan kehadiranku. Aku teringat pada pertemuan pertamaku dengan beliau.

Pada malam yang berkilauan cahaya bintang di angkasa, aku dan Love mendatangi rumah yang bernuansa arsitektur Jepang. Aku mengandalkan sebuah catatan kecil milik ayah untuk sampai ke tempat ini. Tak lama, seorang penjaga rumah mendatangiku.

"Kalian siapa, nak?" ucap seorang lelaki yang berperawakan usia limapuluh tahunan. Aku dan Love menyapa dengan ramah.

"Paman, apakah ini rumah milik Pandesriwat Vosbein?"

"Betul, tetapi kalian siapa?"

"Saya Pansa Vosbein, anak tunggal dari Pandesriwat Vosbein." ucapku dengan hati-hati.

Tak disangka, mata lelaki itu berbinar. Ia memegang kedua tanganku.

"Kamu Milk? Sudah lama sekali aku menunggumu. Mari, silakan masuk!"

Lelaki itu membuka pintu kayu, membawa kami masuk ke dalam rumah. Saat lampu dinyalakan, rumah itu sangat asing bagiku. Bagi rumah yang telah ditinggalkan bertahun-tahun, rumah ini sangat bersih dari debu dan kotoran.

"Milk, aku Papang. Aku teman dekat ayahmu semasa kecil. Rumah ini adalah peninggalan ayahmu yang dititipkan kepadaku. Aku turut sedih atas meninggalnya ayah ibumu, Milk."

Aku dan Love duduk di atas bantal, seperti kebiasaan orang Jepang. Persis seperti di buku-buku komik Doraemon milikku.

"Lalu, siapakah gadis manis ini, Milk?"

Aku menggenggam tangan Love yang berada di bawah meja. Gadis itu sedikit tegang, tetapi aku mengusap tangan itu dengan ibu jariku untuk memenangkannya.

"Dia Pattranite, kekasihku."

Pernyataan itu membuat dua pasang mata melihatku tajam. Aku sudah tahu ini akan terjadi, tetapi aku lebih mengakui seperti itu daripada gadis ini marah padaku apabila aku menyebutnya teman.

Lelaki itu tersenyum lebar. "Seleramu boleh juga, Milk. Jika ayahmu masih hidup, pasti ia akan menggodamu."

Aku yakin gadis di sampingku tersipu malu. Aku dapat melihatnya dari pipinya yang merah.

"Kalau begitu, kalian tidur disini. Semuanya selalu Paman bersihkan setiap minggu. Jadi, Paman yakin tidak akan ada hewan pengganggu. Besok Paman akan bawakan makanan untuk kalian."

"Terima kasih, Paman. Mari aku antarkan."

Aku meminta Love untuk merapikan barang bawaan ke kamar. Entahlah ia memilih kamar mana karena aku sendiri tidak tahu. Aku membiarkan dia berkeliling.

Saat di luar rumah, raut muka Paman Papang berubah menjadi serius.

"Milk, bisakah kamu datang ke rumah Paman saat tengah malam? Aku ingin kamu datang sendirian tanpa kekasihmu. Rumahku tepat di sebelah rumahmu."

Aku menaikkan alis. "Kenapa, Paman?"

"Ada beberapa hal yang ingin Paman serahkan padamu. Jangan biarkan gadis itu tahu, ini tentang keluargamu."

Rasa penasaranku semakin tinggi. Hawa ingin melontarkan berbagai pertanyaan semakin besar. Namun, niat itu ku urungkan.

"Baiklah, Paman. Nanti aku akan berkunjung ke rumahmu. Sampai bertemu lagi, Paman."

Paman mengangguk pelan dan meninggalkan halaman rumah ini. Aku belum menganggap rumah ini milikku. Entahlah, aku merasakan sesuatu yang berbeda dari rumah ini, seolah-olah menyimpan rahasia.

Laut Bercerita - The Story of Finding HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang