Dunia Sandiwara

47 4 0
                                    

"Di sebuah negeri yang pendidikannya berseri-seri. Di sebuah negeri yang orang-orangnya penuh nafsu pada gelar. Terutama gelar kesarjanaan. Manakala untuk memperoleh gelar itu sulit, harus bersusah payah, kerja keras, berkorban waktu, pikiran dan tenaga serta dana. Munculah seorang dewa penolong yang siap memberi gelar dari S1-S2-S3, bisa apa saja dalam tempo sesingkat-singkatnya, segala sesuatu yang menyangkut pemberian gelar diselesaikan dengan sejumlah uang, untuk wisudanya di hotel berbintang."

Ucap seorang laki-laki berapi-api. Sorot lampu di atas panggung mengikuti setiap pergerakannya, hanya menyoroti tubuh laki-laki itu. Sebuah pertunjukkan teater sedang berlangsung di Gedung Kesenian Rumentang Siang. Gedung dengan bentuk bangunan heritage bergaya Artdeco ini menjadi saksi bisu perjalanan para seniman untuk berkarya dan menjadi sejarah penting kesenian teater di Indonesia. Sejumlah nama besar seperti W.S Rendra, Arifin C. Noor hingga Teguh Karya pernah turut mewarnai gedung ini. Dibangun pada tahun 1935 sebagai bioskop bernama Rivoli, akhirnya pada tahun 1975 atas izin Gubernur Jawa Barat pada saat itu, gedung ini dialih fungsikan sebagai gedung seni pertunjukan.

Pertunjukkan teater pada malam ini membawakan naskah Prodo Iminato karya Arthur S. Nalan. Panggung pertunjukkan seakan tengah memotret realitas kehidupan tentang sekolah tanpa belajar. Setiap dialog tak lepas dari kritik terhadap pemerintah mengenai ketidakmampuan dalam memberantas praktik jual beli gelar. Sehingga sekolah tanpa belajar rasanya semakin sulit untuk dihentikan. Bahkan mungkin telah dinormalisasi.

Potret sekolah tanpa belajar nyatanya tidak hanya terjadi dalam dunia seni pertunjukkan. Seni teater justru berperan sebagai refleksi kehidupan. Beragam realitas kehidupan di potret dalam sebuah pertunjukkan. Praktik-praktik seperti jual beli gelar seperti dalam drama itu betul-betul terjadi dalam kehidupan. Selain itu, praktik perjokian juga semakin marak terjadi. Untuk saat ini ijazah bukan lagi dimaknai sebagai tanda telah belajar, tetapi hanya tanda seseorang telah tamat bersekolah.

Di bawah redup cahaya bangku penonton, seorang perempuan tersenyum miring. Para pemain di atas panggung telah sukses menyampaikan pesan cerita, setidaknya untuk perempuan ini. Sisi gelap dalam dunia pendidikan memang salah satu yang menjadi keresahannya akhir-akhir ini.

"Sekolah tanpa belajar. Kok bisa pas ya Au?" bisik Gita dengan suara begitu pelan. Tak mau mengganggu penonton lainnya.

"Namanya juga dunia seni pertunjukkan. Ibaratnya, seni pertunjukkan ini miniaturnya kehidupan. Penuh sandiwara," jawab Sabira dengan suara tak kalah pelan. Perempuan yang dipanggil Au oleh teman dekatnya.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya saat adegan di atas panggung telah mencapai akhir cerita. Bagian akhir yang menegaskan bahwa cerita ini terjadi di Manaboa bukan di Indonesia. Sesuatu yang perempuan itu anggap miris, karena untuk mengkritik negeri sendiri kita telah sampai ditahap harus menyamarkan nama negara.

"Berikan tepuk tangan yang meriah untuk Teater Janari!" suara MC terdengar dari sudut panggung.

Bersamaan dengan itu tirai merah yang semula tertutup kini perlahan-lahan terbuka kembali. Menampilkan kembali seluruh tokoh dan tim produksi dari Teater Janari. Mereka maju satu persatu saat MC membantu memperkenalkan diri lengkap dengan peran dalam pertunjukkan. Dua orang terakhir yang memiliki peran sangat penting dalam pertunjukkan kali ini menarik perhatian Sabira.

"Alderon sebagai Sutradara," laki-laki yang dipanggil namanya maju ke depan. Dia sedikit membungkukkan badannya, memberi hormat kepada penonton.

"Pandu selaku Pimpinan Produksi," laki-laki berperawakan cukup tinggi turut maju, melakukan hal yang sama seperti yang lainnya.

Riuh tepuk tangan kembali menggema tatkala semua tim Teater Janari saling menggenggam tangan di atas panggung. Dalam komando Pandu selaku pimpinan produksi mereka secara bersamaan membungkukkan badannya sebagai bentuk hormat dan ucapan terima kasih sebagai bentuk hormat kepada para penonton yang telah hadir dalam pertunjukkan kali ini.

LAKONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang