Dengan riang aku mengambil beberapa snack yang dimiliki Jimin di dalam kulkas. Dia memang memiliki banyak persediaan makanan, dia adalah tipikal pria yang tidak akan membiarkan lemari pendinginnya kosong dan selalu menyusun segala sesuatunya dengan rapi.
Aku melihatnya sedang berada di pantri untuk membuatkan dua buah gelas cokelat panas.
"Aku akan menghabiskan persediaan makananmu," candaku seraya berjalan menuju sofa depan televisi.
Aku duduk dan menoleh ke belakang, menatap Jimin yang berkutat dengan ponselnya dengan raut serius—sepertinya dia sedang mengetik pesan untuk sesorang. Tak lama, dia meletakkan benda itu kembali ke pantri lalu menoleh padaku sambil kedua tangannya memegang dua mok.
"Mau pakai susu atau tidak?" tanyanya.
Aku pura-pura berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak usah."
"Oke." Jimin mengambil susu yang ada di lemari pendingin dan mencampurkannya dengan milik kami berdua.
Aku kembali fokus pada layar televisi di depanku. Beberapa saat kemudian, Jimin membawa kedua cangkir berisi cokelat susu ke hadapanku dan dia pun mengambil tempat untuk duduk di sampingku
"Apa kau mengabaikan telepon dari ibumu lagi?" tanya Jimin.
Mendengar pertanyaan itu aku hanya bisa menghela napas. "Ya. aku belum bisa mengirimi mereka uang akhir bulan ini," jawabku.
"Kau bisa mengeluhkan hal itu kepada ibumu," usul Jimin. "Kau tidak bisa memaksakan dirimu, aku yakin ibumu pasti mengerti, Naya."
"Aku tahu," gumamku pelan.
Jimin mendekat untuk memberikan kecupan di sisi kepalaku, lantas memberikan usapan lembut di sana, berusaha membuat perasaanku sedikit membaik.
Dia juga mengatakan bahwa tidak apa sesekali merasa kesal, asal hal itu tidak berlanjut karena perasaan kesal tidak baik dipendam, tidak baik untuk kesehatan pikiran dan jantung. Jimin menyarankanku untuk lebih sering bicara mengenai apa yang kurasakan, apa yang membuatku terganggu, atau jika aku sedang kesal, aku boleh bercerita padanya.
Jimin selalu menjadi Jimin yang mampu menenangkan kegelisahanku, kendati ia tak selalu bisa melakukannya namun setidaknya dia selalu berusaha. Dia akan bertanya padaku mengenai apa yang mengganggu pikiranku, walaupun sepertinya Jimin menyadari bahwa dia sudah jarang sekali melakukannya sejak saat ia berpacaran dengan Haejin.
Mungkinkah dia juga tahu bahwa dirinya mulai menyebalkan ketika berpacaran dengan wanita itu? yang menjadi alasan mengapa kami mulai sering berdebat dan bertengkar. Meskipun kami akan kembali saling berbicara seolah tidak terjadi apa-apa karena Jimin tidak akan bisa marah padaku.
Setelah segala hal yang kami lalui, aku pikir setiap momen terburuk manusia pasti juga memiliki momen terbaik dalam hidup. Dan aku tak tahu apakah suatu saat hal-hal indah yang saat ini sedang kurasakan berubah menjadi kenangan buruk yang sukar untuk dikenang. Karena tidak ada yang dapat menebak apa yang akan terjadi di masa depan.
Namun, sepertinya aku memilih menikmati setiap momen dalam hidupnya yang saat ini sedang berlangsung. Ketika Jimin berbicara padaku sangat dekat, kudengar tawanya yang terkembang manis tanpa sekat. Aku menikmati semuanya, suaranya, hembusan dan harum napasnya yang menerpa wajahku terasa menyenangkan.
"Apakah kau habis berkencan sebelum kemari?" tanya Jimin. Dia meneliti penampilanku dan berkata lagi, "Kau tampak cantik."
Hari sudah hampir sore, dan hujannya sudah reda. Aku ingat mengenai gaun pemberian Taekim sekaligus kejadian tak menyenangkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE SCENARIO [lengkap]
FanfictionJudul sebelumnya: Filter Shin Naya ditantang Jimin untuk membuat si billioner Taekim sembuh dari trauma. Sebagai imbalan Jimin harus putuskan pacarnya. Namun skenario mereka berantakan ketika Taekim benar-benar jatuh cinta dan dia menuntut Naya atas...