WARNING
Bahasa suka suka
Banyak typo
Happy Reading
.
.
.Beberapa tahun sudah berlalu sejak semuanya berakhir. Setiap tahun yang terasa seperti mimpi yang berjalan begitu lambat, penuh dengan ingatan yang terus menghantui, menghancurkan tiap usaha untuk melanjutkan hidup.
Meski aku mencoba berpura-pura bahwa aku baik-baik saja, bayangannya terus muncul di setiap celah waktuku, terutama saat aku sedang sendiri.
Yang paling aneh adalah, dia selalu datang di mimpiku, terasa begitu nyata seolah dia masih di sini, di sisiku. Hanya dalam mimpilah aku bisa melihat senyumnya, mendengar suaranya, dan merasakan kehadirannya yang dulu begitu akrab. Tapi kenyataannya, dia tidak pernah kembali.
Aku tidak tahu apakah ini adalah takdir yang kejam atau sekadar permainan pikiran, tapi setiap kali aku memejamkan mata, aku seakan melihatnya lagi, wajahnya, senyumnya, caranya berbicara yang dulu terasa menenangkan.
Pada saat-saat itu, aku benar-benar bingung dengan apa yang kurasakan. Apakah aku masih mencintainya? Atau aku hanya terjebak dalam kenangan indah masa lalu kami?
Kadang, rindu ini terasa begitu membingungkan. Mungkin aku hanya merindukan perasaan nyaman yang dulu ia berikan, bukan sosok dirinya yang sebenarnya.
Aku seringkali berjalan menyusuri jalan yang dulu kami lewati bersama. Ada sesuatu tentang tempat-tempat itu yang membuatku merasa terhubung dengannya lagi, meski dia sudah lama pergi.
Anehnya, setiap kali aku berada di jalan itu, aku selalu berharap bisa berpapasan dengannya. Mungkin, di keramaian itu, tanpa sengaja mataku akan menangkap sosok yang selama ini hanya tinggal di mimpi.
Tapi, benar kata orang, sedekat apa pun tempat kita, jika Tuhan tidak ingin kita bertemu, maka kita tidak akan pernah bertemu. Rumahnya tidak jauh dari rumahku, tapi seolah ada jarak tak kasat mata yang memisahkan kami.
Meski langkah kaki kami mungkin pernah menjejak jalan yang sama, takdir sudah memutuskan kami tak akan pernah bertemu lagi.
Setidaknya, jika bisa, aku ingin melihatnya sekali lagi, mendengar kabarnya, mengetahui bahwa dia baik-baik saja.
Aku bahkan tidak tahu lagi, apakah yang kuingat adalah sosoknya yang sekarang, atau dirinya yang dulu, saat senyum itu masih milikku, sebelum dunia kami berpisah.
Rindu ini kadang datang begitu kuat, menamparku dengan kenyataan bahwa sesuatu yang pernah begitu dekat kini terasa tidak bisa dijangkau.
Pernah suatu kali, rasa rindu ini begitu tidak tertahankan sehingga aku nekat menghubunginya. Aku tahu ini bodoh, tapi aku menggunakan nomor asing agar dia tidak mengenaliku. Aku tidak berharap banyak, hanya ingin dia membaca pesanku.
Bukan untuk memulai lagi, bukan untuk memaksa dia kembali, tapi hanya untuk memastikan dia masih ada di dunia ini, bahkan jika keberadaannya hanya sekadar nama di layar ponselku.
Entah kenapa, meski tidak ada balasan darinya, itu sudah cukup membuatku merasa sedikit lebih lega, seolah-olah aku masih memiliki sedikit akses ke dunianya.
Namun, kegembiraan kecil itu tidak bertahan lama. Dia akhirnya memblokir nomorku, aku bisa memaklumi hal itu. Mungkin dia berpikir aku hanyalah orang asing yang mengganggunya, tanpa tahu bahwa di balik layar itu adalah aku, seseorang yang dulu pernah mengenalnya dengan baik.
Sejak saat itu, aku berhenti mencoba menghubunginya. Aku tahu batasanku, dan aku tidak ingin menjadi bayangan masa lalu yang terus menerus mengganggunya.
Tapi di dalam hatiku, aku masih tidak bisa melepaskannya. Mungkin, ini lebih tentang bagaimana perasaan yang dulu dia berikan padaku, tentang bagaimana dia membuatku merasa utuh.
Mungkin aku tidak benar-benar merindukan dirinya yang sekarang, melainkan sosoknya dia yang dulu. Versi dirinya ketika kami masih saling memiliki.
Itu adalah perasaan yang sangat nyaman, perasaan bahwa aku dimengerti tanpa harus berbicara, dan diterima tanpa harus berpura-pura.
Aku mencoba terus maju, tapi setiap langkah yang kuambil selalu membawaku kembali ke kenangan tentang kami. Momen-momen kecil seperti obrolan ringan di sore hari, atau bagaimana dia selalu ingat hal-hal sepele yang bahkan aku sendiri lupa.
Terkadang aku bertanya-tanya, apakah aku benar-benar merindukannya, atau hanya merindukan perasaan yang pernah dia berikan untuk ku?
Dan yang lebih mengganggu adalah kenyataan bahwa meskipun dia sudah tidak ada lagi di hidupku, dia masih memiliki kekuatan untuk mempengaruhi setiap langkahku.
Aku takut membuka diri untuk orang lain, karena aku tahu aku belum selesai dengan masa lalu ini. Bagaimana bisa aku melangkah maju, ketika sebagian besar diriku masih terjebak di masa lalu? Aku ingin melupakan, tapi setiap kali aku mencoba, kenangan itu semakin kuat.
Pernah ada saat di mana aku merasa begitu marah pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku begitu bodoh, masih terjebak dalam kenangan yang sudah lama berlalu? Tapi kemudian, aku sadar, mungkin bukan dia yang aku rindukan.
Mungkin aku hanya merindukan versi diriku sendiri yang ada saat bersamanya. Mungkin yang kuinginkan bukan dia kembali ke hidupku, tapi perasaan aman, cinta, dan kenyamanan yang dulu pernah ia bawa.
Saat bersama dia, aku merasa menjadi versi terbaik diriku, seolah-olah kami saling melengkapi di dunia yang sering kali terasa terlalu keras.
Namun, kenyataannya sekarang adalah aku harus menghadapi hari-hari tanpanya. Aku harus belajar untuk hidup dengan kenangan itu, tanpa membiarkannya menahanku di masa lalu.
Setiap kali aku merasa ingin menghubunginya lagi, aku harus ingat bahwa aku melangkah keluar dari bayangannya, bukan untuk kembali ke dalamnya.
Mungkin, pada akhirnya, rindu ini akan memudar. Atau mungkin, ia akan berubah bentuk menjadi sesuatu yang lebih mudah diterima, kenangan yang manis, tapi tidak lagi menyakitkan.
Aku masih belum tahu bagaimana cara mengatasi perasaan ini sepenuhnya. Mungkin aku tak akan pernah benar-benar bisa melupakannya.
Tapi untuk saat ini, aku hanya berharap bahwa suatu hari nanti, ketika aku melihat kembali masa lalu ini, aku bisa tersenyum dan berkata bahwa aku telah melepaskan dengan sepenuhnya.
Bahwa aku tidak lagi hidup dalam bayangannya, melainkan telah menemukan kembali diriku sendiri.
Mungkin, aku tidak akan pernah benar-benar melupakannya, tapi aku akan belajar untuk berdamai dengan kenangan ini. Dan pada akhirnya, biarkan waktu yang perlahan menyembuhkan, meski aku tahu, sebagian dari diriku akan selalu merindukannya.
.
.
.
.
ENDTerkadang, kamu juga pasti pernah merasa seperti ini, kan? Kenangan yang terus muncul, meski kita tahu semuanya sudah selesai. Kita belajar menerima, tapi mungkin, kita hanya butuh waktu lebih lama untuk benar-benar melepaskan
A Thousand Years END
Terimakasih ya yang sudah baca :)
Sunnie💥
(12.10.24)
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story
RandomHanya kumpulan Oneshot sebagai selingan cerita yang lain :) Sunniee💥