Airi meringis membaca berita yang terpampang usai mengetik namanya sendiri di kolom pencarian komputer tempat ia melarikan diri sampai waktu yang belum ditentukan itu.'Atlet Selam Kebanggaan Indonesia, Airi Oseana, Sukses Jadi Buron!'
'Undur Diri dari Olimpiade Paris 2024, Airi Oseana Diduga Mengasingkan Diri Usai Tertangkap Menarik Koper di Bandara International I Gusti Ngurah Rai.'
'Buat Indonesia Malu, Airi Oseana Diminta Pulang Kampung ke Jepang.'
Matanya semakin membulat setiap kali menggeser layar ke bagian bawah. Sejak kapan reporter Indonesia berubah profesi jadi admin akun gosip?
'Airi Oseana Rela Serahkan Gelar Penyabet Medali Emas: Apakah Benar sedang Hamil?'
Tangan Airi sontak memegang perutnya. Kurang ajar.
Menghela napas kasar, wanita itu mematikan komputer tersebut dan bersandar di punggung kursi sambil merentangkan kedua tangannya. Kalau tahu semelelahkan ini jadi musuh negara, mungkin memang sepatutnya ia menahan sakit untuk tetap mengikuti olimpiade sialan itu. Matanya melirik ponsel mati yang tergeletak di meja komputer, berandai kalau tak sengaja ia nyalakan, mungkin ponsel itu akan meledak tak bersisa. Dan Airi tak ingin ambil resiko. Memasukkan benda pipih tersebut ke dalam saku celana pendeknya, wanita manis itu beranjak dari depan komputer untuk mencari udara segar.
Hanya ada beberapa tamu yang nampak di restoran milik resort sore itu; yang syukurnya tampak tak peduli atau sadar akan kehadiran Airi. Tidak ada tempat aman untuk kabur jika wajah dan namanya terpampang dałam semua stasiun TV nasional, hal ini ia mengerti. Jadi kabur ke Menjangan memang bukan pilihan terbaik. Tapi mengingat bahwa pulau di barat laut Bali itu biasanya hanya dikunjungi oleh para penyelam dan tak kebanjiran manusia seperti destinasi lainnya; dan bahwa dilihat dari segi waktu seharusnya bulan ini bukan yang terbaik untuk free diving dari sisi pasang-surut laut, asal Airi tidak membuat dirinya menonjol, ia tak akan ada dalam masalah yang lebih berat dari yang sudah ia alami sekarang. Lagipula, Airi tidak hanya datang ke pulau ini untuk sekadar lari dari kejaran berita dan pertanyaan bodoh repoter. Ia datang karena Menjangan disebut-sebut Surga para penyelam. Airi mengerti jelas bahwa tempat ini adalah tempat di mana ia seharusnya berada sekarang; bukan Paris.
Lama memandang ke kolam renang yang dapat dilihat dari restoran, seorang pria jangkung dengan kaos putih santai dan celana selutut membawakan pesanan yang Airi pesan 15 menit lalu. Airi mencoba mencerna situasi. Mungkin memang tak semua pekerja di sini harus memakai seragam. Lingkungan kerja yang bebas, pikirnya.
"Saya nggak pesan dessert," ujar Airi pelan sambil mengangkat piring cheesecake yang ia yakin tak ada dalam daftar pesanannya.
"On the house," sahut pria itu.
"Gimana?"
"Anggap aja sebagai rasa tersanjung atlet kebanggaan Indonesia mau berlibur di sini." Tersenyum kelewat manis, Airi mengerutkan dahinya ketika tak bisa membedakan apakah pria itu tulus atau hanya berujar sarkastik.
"Ah, ketinggalan berita ya, Bli? Saya bukan lagi atlet kebanggaan Indonesia. Kebetulan udah jadi buron," sahut Airi tak kalah datarnya. Sepenuhnya mengabaikan pramusaji itu, Airi mengambil sepasang sendok-garpu dan mulai melahap nasi campurnya.
"Baswara. Panggil Bas aja, orang Jakarta kok." Baswara menjulurkan tangan kanannya. "Dan regulasi di hotel ini, buron tetap tamu. Jadi jangan sungkan," lanjutnya dengan senyum masih sama lebar dan tangan masih terjulur ke arah Airi yang menatapnya tak percaya.
"Kalau gitu ya perlakukan kayak tamu aja. Saya nggak ke sini untuk cari teman, Bli." Airi menekankan tiap kata dalam kalimatnya. Baswara menurunkan uluran tangannya.
"Ada baiknya punya satu teman di saat satu negara nggak berpihak sama kamu, Oseana." Baswara menaruh kembali piring cheesecake yang tadi berpindah ke tangannya ke atas meja. "Nggak peduli seberapa pemberaninya kamu," lanjutnya.
Makanan di mulut Airi hampir saja terjatuh menatap punggung itu pergi dari hadapannya. Airi memang tak pernah mengedepankan pendidikannya karena sibuk bergelut di bawah air, tapi ia tidak sebodoh itu untuk tidak menangkap apa yang Baswara maksud dengan kalimat terakhirnya: "nggak peduli seberapa pemberaninya kamu mengundurkan diri dari salah satu ajang olah raga paling terkemuka dunia, jadi bahan cercaan satu negara, dan masih bisa duduk santai makan nasi campur di hotel bintang lima."
Sekarang ia tanya, reporter bodoh dan Baswara, siapa yang lebih kurang ajar?
//
Airi duduk di balkon kamarnya, menatap hamparan laut yang terpampang di depannya. Tak berujung. Matahari sudah beberapa menit yang lalu hilang sepenuhnya, namun ia masih saja termangu dalam pikirannya sendiri. Dua minggu yang lalu ia masih berdiri tegap di atas papan setinggi sepuluh meter bersiap meluncur ke bawah dan hilang di makan air. Satu minggu yang lalu ia sibuk memilih baju mana yang harus ia paksa masuk ke dalam kopernya yang sudah terlampau penuh. Empat hari yang lalu juga ia duduk di dalam salah satu ruangan gedung Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, setelah secara keukeuh meminta namanya ditarik dari daftar atlet yang akan dikirim ke ajang Olimipade di Paris tersebut. Kemarin lusa, namanya resmi ditarik, warga Indonesia panik, dan sekarang ia di sini duduk dengan hati terusik.
Lututnya ia tarik mendekat ke dada saat angin menghembuskan napas di muka Airi, meledeknya. Kepingan memori menghantuinya. Lompatan indahnya yang mendapat sambutan heboh riuh tepuk tangan pelatihnya saat ia berhasil menyelam hampir tanpa cipratan air. Rasa panas yang digantikan dingin basah tempat yang selalu ia panggil rumah kedua itu. Kaporit yang kian meninggalkan jejak di indera perasanya, atau di rambutnya meski terhalang topi renang hitamnya. Rio di tahun 2016. Tokyo di tahun 2020. Waktunya yang habis bolak-balik menaiki tangga hingga ketinggian sepuluh meter. Keriput di tangannya yang menjadi bukti. Semuanya Airi jajarkan dalam satu garis lurus di kepalanya, sebelum ia simpan kembali rapat-rapat dalam ruang istimewa di sana.
Ia tersenyum kecut. Baswara benar, memiliki satu teman yang ada di pihaknya saat jutaan manusia lainnya tidak, memang merupakan pilihan terbaik. Lagi-lagi menjadi alasan kenapa Airi tahu ia ada di tempat yang tepat. Karena ia bisa saja kehilangan segalanya; semua percaya warga Indonesia, nominał setinggi langit yang medali emasnya berikan, harga dirinya ketika harus siap menerima hujatan siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, kehidupan megahnya sebagai atlet kebanggaan Indonesia dan semua privilege yang datang bersamaan dengan gelar itu,
Tapi Airi tidak bisa kehilangan teman baiknya.
Suara percikan air dari televisi dalam kamarnya membubarkan semua bayangnya. Ia membalik badan, mendapati rekaman lompat indahnya di Rio de Janeiro delapan tahun lalu. Kejuaraan dunia pertamanya setelah rutin menjuarai berbagai olimpiade tingkat regional, nasional, dan beberapa kali menyumbang piala untuk ajang SEA games.
Airi tidak kuasa menahan sesak di dadanya ketika mengingat bahwa seluruh hidupnya ia percaya bahwa itulah dunianya, namun sekarang ia malah ada di sini dengan alasan sudah tak sanggup lagi melakukannya. Ia cinta menyelam. Ia mencintai caranya menerobos angin ketika terjun dari ketinggian sepuluh meter. Ia mencintai air yang selalu siap menangkapnya. Kalau tidak, tidak mungkin Airi sanggup menghabiskan hampir dua puluh tahun hidupnya untuk itu.
Ia menghembuskan napas yang tak ia sadari sedari tadi ia tahan, meraih remote, dan mematikan televisi tersebut. Sudah lebih dari lima channel TV berbeda ia lihat memutar rekaman lama miliknya itu, dan Airi merasa sudah lebih dari cukup ia diingatkan akan seberapa besar ia mencintai dunia selam dan semua cara yang ia lakukan untuk tetap mencintai dunia itu.
Menjatuhkan badannya di atas kasur, Airi bertanya, kira-kira akan sampai kapan ia harus jadi buronan reporter?
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Barat Laut Bali
ChickLitDalam hidupnya, Airi tidak pernah mencintai apapun lebih dari ia cinta menyelam. Percikan, dingin, dan basahnya air, adalah hembusan napasnya. Maka ketika ia mengundurkan diri dari kejuaraan dunia dan merelakan gelarnya sebagai atlet kebanggaan Ind...