CHAPTER 9

13 1 0
                                    

Rasa pusing itu kembali melanda, terasa semakin menggila entah karena apa. Kaki yang semula tak merasa apa-apa, perlahan mulai melemas tak kira-kira.

Pandangannya mulai memburam, tubuhnya semakin berkeringat. Hembusan nafasnya mulai memberat, perlahan matanya mulai tertutup tanda akan hilangnya kesadaran.

Perempuan itu memegang erat apapun yang bisa ia gapai, termasuk kemeja pria disamping nya. Perutnya terasa seperti terlilit dan sangat nyeri.

"Kepala gue pusing" lirihnya dengan mata tertutup dan bibir yang sedikit bergetar karena menahan nyeri setengah mati.

Pria itu memutar matanya jengah, sedikit kesal karena sikap perempuan ini sebelumnya yang keras kepala dan bertingkah seolah-olah ia baik-baik saja. 

Rasa pusing itu semakin tak tau diri, membuat perempuan itu hilang kendali. "Tolong.." lirih perempuan itu lagi.

Wajah pucat pasi menjadi pertanda bahwa perempuan itu benar-benar tak baik-baik saja.

Melihat tak mendapatkan respons apapun, perempuan itu merasa was-was. Takut membuat pria disamping nya menjadi tak nyaman.

Merasa kurang ajar karena dengan seenaknya menyandar pada orang asing, dengan cepat perempuan itu menarik kembali genggaman tangannya.

Namun belum sempat melakukannya dengan benar, sebuah telapak tangan besar mendekap pundaknya erat. Menariknya masuk lebih dalam pada dekapan sang pria.

Perempuan itu tak bisa melakukan banyak hal, yang bisa ia lakukan hanya menerima dan membiarkan pria itu membantunya. Rasa-rasanya harga diri tak lagi sanggup ia pertahankan kali ini, persetan dengan rasa malu.

Hari ini ia akan pasang wajah tembok dengan kesadaran penuh, toh ini akan menjadi pertemuan pertama dan terakhirnya dengan sang pria. Pikir perempuan itu.

Perlahan mata perempuan itu mulai tertutup, membiarkan kesadarannya lenyap begitu saja. Tanpa rasa khawatir akan bagaimana jika pria disamping nya akan berbuat hal yang tak terpikirkan olehnya.

Ketenangan perlahan memeluknya dengan mesra, membawanya lari dari kenyataan pahit yang seharusnya ia saksikan siang ini. Mungkin Tuhan benar-benar menyayangi nya, hingga tak memberinya kesempatan merasakan sakit lebih jauh lagi; pada hatinya.

~~~

Kavela POV :

Hari-hari berlalu begitu cepat hingga tak terasa sudah lewat satu minggu sejak pemberkatan Sagara waktu itu. Sekarang semua sudah jauh lebih baik, beberapa hari ini aku habiskan bersama kakak dan teman-temanku.

Samuel, Arga, dan Sandra sempat beberapa kali menginap dengan alasan menonton bola. Padahal mereka tau bahwa aku sama sekali tak tertarik dengan apapun yang berbau sepak bola.

Namun mereka tetap memaksa dengan alasan rindu. Sialan, aku ingin muntah rasanya jika kembali mengingat itu.

Namun disisi lain aku tau maksud dan tujuan mereka berbuat demikian, tentu saja mereka tak ingin aku merasa sendiri dan berakhir sedih. Oleh karena itulah mereka berusaha selalu ada di sisiku.

Padahal demi apapun aku berani bersumpah bahwa aku sudah baik-baik saja, namun sayangnya mereka tak pernah percaya.

"Patah hati nggak mungkin secepet itu buat sembuh" sanggah Arga setiap kali aku mengatakan aku sudah baik-baik saja.

"Gak pa-pa buat nggak baik-baik aja, jangan terus-terusan mau keliat kuat" sama seperti Arga yang tak memercayaiku, Sandra pun berbuat demikian.

Masalah kali ini Samuel tak terlalu banyak bicara, bahkan setiap kami berdebat ia selalu diam seolah tak ingin ikut menghakimi.

Pagi ini seharusnya aku tak ada janji dengan siapapun, termasuk salah satu dari mereka. Harusnya pagi ini bisa aku habiskan dengan tidur seharian, namun sayangnya itu hanyalah angan-angan belaka.

Karena tepat pukul setengah delapan pagi tadi tiba-tiba bang Ken mendatangi tempat tidurku dan memberitahu bahwa Arga sudah di ruang tamu sejak setengah jam yang lalu.

"Bangun, temen lo udah di bawah"

Demi apapun, rasa-rasanya makian saja tak cukup untuk mengungkapkan kekesalanku pada hari ini.

Tepat setelah bang Ken menutup pintu kamarku, deringan ponsel berbunyi menandakan adanya panggilan masuk. Tanpa melihat pun aku sudah tau bahwa itu adalah Arga.

Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, segeralah ku bangkit dari tempat tidurku dan bergegas ke kamar mandi guna membersihkan diri.

Selesai bersiap-siap akupun segera turun ke bawah menghampiri Arga.

"Selamat pagi ndoro ayu" sapa Arga dengan senyum sumringah di wajahnya.

Ku putar bola mataku jengah, "slimit pigi ndiri iyi, tai kucing" ketus ku diakhir kalimat.

Arga tertawa tanpa dosa, nampaknya pagi ini mood nya tengah bagus. "Kalo kata gue sih lo stop mesam-mesem gak jelas ya tai" kesal ku.

mesam-mesem; tersenyum.

"Hehe"

"Stop ketawa anjir! Ketawa lo tuh nyebelin"

"Hehe"

"Lo mau bawa gue kemana sih anjir?-- masih pagi ege, ngantuk gue" rasa-rasanya mulutku tak bisa berhenti menggerutu kesal sejak tadi, yang sialnya Arga malah nampak tak peduli.

"Kasih gue hari tenang dong bjir! Bete banget" bibirku kukerucutkan kedepan, sebagai pertanda rasa kesal ku masih belum hilang.

"Arga gue ngantuk! Mau tidur, gak mau pergi!" rengekku seraya menghentak-hentakkan kaki ke lantai.

Arga memegang kedua pundakku cukup kuat. "Gue mau lo jadi orang pertama yang dateng ke tempat ini" aku menaikkan sebelah alisku penuh curiga, bibir yang awalnya mengerucut berganti menjadi senyum mengejek.

Aku dekatkan wajahku ke arah Arga, "lo nggak akan macem-macemin gue kan, Ga?"

Arga memutar matanya jengah, "makan tai aja deh lo anjing" kesal Arga.

Aku tertawa girang, puas karena telah berhasil membuat Arga kesal. "Tunggu anjir!" teriak ku seraya memakai sepatu asal-asalan karena si Arga sialan yang tiba-tiba berjalan meninggalkanku.

"Cepet banget sih aelah" mulut itu kembali terbuka untuk menggerutu.

"Ih sumpah mulut lo berisik banget anjir" geram Arga, lelaki itu nampaknya mulai muak mendengar mulutku yang tak berhenti menggerutu sejak turun dari kamar.

"Lo udah mengganggu hari tenang gue bjir"

"Bodo amat" balas Arga acuh, lelaki itu memilih masuk ke dalam mobil ketimbang meladeni mulut berisikku. Menyebalkan.

"Dasar kampret, awas aja kalo tempat lo gak oke. Gue bakar mobil lo" ancamku masih ngotot.

"Buruan masuk bego" teriak Arga dari dalam mobil.

"Jangan bego-begoin gue!" balasku penuh emosi.

"Kavela bego Kavela bego Kavela bego"

"BANG KEN!!" membuat Arga takut sangatlah mudah, cukup melibatkan bang Ken maka nyali lelaki itu akan menyiut.

Aku tak faham dengan Arga, entah apa alasannya hingga lelaki itu nampak sangat takut pada kakakku. Padahal awalnya Arga lebih dekat dengan kakakku, bahkan hingga saat inipun mereka berada pada club dan band yang sama.

Namun Arga tetap saja takut pada kakakku. Walaupun nampak aneh, sebenarnya aku senang-senang saja karena artinya aku bisa menakut-nakuti Arga kapanpun aku mau.

"Dasar biawak makan tai!"

"Bodo amat"

"Bidi imit" ledek pria menyebalkan itu.

"Nggak usah ikut-ikut!" tak ada alasan pasti mengapa aku tak menyukai sikap Arga yang satu ini namun setiap kali mendengar nada bicara Arga yang dibuat-buat benar-benar membuatku merinding.

Arga menjulurkan lidahny mengejek, membuatku semakin kesal."Buruan masuk bego, nanti keburu siang" omel pria itu setelah puas meledekiku.

"Jangan bego-begoin gue! Nanti bego beneran"

"Lah orang udah bego anjir, gak sadar apa gimana lo ha?" demi apapun ingin sekali ku raup wajahnya dengan cabai seratus ton.

"Monyet!"

3 0 9 1 (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang