K

485 50 5
                                    


☀⚡


Halilintar duduk di meja makan, menikmati roti panggang dengan selai stroberi favoritnya untuk sarapan. Pemuda itu terlihat serius, seperti biasanya.

Solar, yang baru saja bangun, mulai mendekatinya dengan langkah santai.

"Selamat pagi, Kak Hali," sapa Solar. Lalu dengan suara pelan namun penuh godaan, ia menambahkan, "Apa kabar, shorty?"

Halilintar langsung mendelik ke arah Solar. "Aku bilang jangan panggil aku begitu!" protesnya dengan wajah merona. Namun, Solar hanya tertawa kecil dan mengambil tempat duduk di samping Halilintar.

"Yah, tapi bagaimana lagi? Kamu kan sekarang lebih pendek dariku," Solar mengangkat bahu sambil meraih segelas jus jeruk di atas meja. Ia sengaja menyamakan tinggi pandangannya dengan Halilintar yang sudah sejak lama tak tumbuh lagi. Sementara Solar terus tumbuh dan kini lebih tinggi darinya.

"Bukan salahku kalau gen kita beda."

Halilintar mendengus, lalu berpura-pura tidak peduli. "Aku tetap kakakmu. Jadi, kau harus hormat padaku," katanya, mencoba untuk tetap tenang, meskipun ia tahu Solar hanya bercanda.

Solar itu jika dengan orang luar, jarang menunjukkam sisi keanakannya. Hanya dengan kakaknya sahaja dia selalu mengusik. Walau hampir sepenuh masa mereka berdebat.

Solar mencoba menahan tawanya. "Iya, iya... Kakakku yang kecil dan manis. Jangan khawatir, aku tetap hormat padamu, kok."

Mendengar kata "manis", Halilintar langsung cemberut. "Aku tidak manis!" protesnya, tangannya bergerak cepat untuk memukul pelan lengan Solar.

Namun, Solar dengan mudah menghindar sambil terus tertawa.

"Yah, orang-orang selalu mengira kamu adikku karena wajahmu yang imut itu, Kak Hali. Mungkin aku harus mulai memanggilmu adikku saja, ya?" Solar menggoda lagi, kali ini dengan senyum puas.

"Dedek Alin~"

Halilintar semakin kesal. "Kalau kamu tidak berhenti menggoda, aku tidak akan membuatkan makanan favoritmu lagi!" ancamnya, meskipun ancaman itu tak pernah benar-benar dijalankan.

Solar tahu betul bahwa Halilintar tidak pernah bisa benar-benar marah padanya. Lagipula, Halilintar selalu perhatian walau ditutupi mulut pedasnya dan memastikan Solar mendapatkan semua yang ia butuhkan sejak orang tua mereka meninggal.

Solar tersenyum lembut. "Aku tahu, Kak Hali. Terima kasih karena selalu menjaga aku," ujarnya tiba-tiba dengan nada serius, yang membuat Halilintar terdiam.

Wajah Halilintar kembali memerah. Ia mengalihkan pandangannya dan bergumam, "Itu karena... aku kakakmu. Tentu saja aku akan menjagamu."

Solar menatapnya dengan hangat.

Meskipun sering mengganggu dan bertengkar dengan Halilintar, ia tahu betapa berartinya kakaknya itu baginya.

"Dan aku juga akan selalu menjagamu," ucap Solar perlahan, kali ini tanpa nada bercanda.

Segengsi-gensi Solar dan Halilintar, mereka hanya ada satu sama lain.

Halilintar melirik Solar, dan untuk sesaat, suasana di antara mereka menjadi tenang dan nyaman.

Namun, rasa canggung segera menyelimuti Halilintar, dan ia pun cepat-cepat mengalihkan perhatian dengan menambahkan selai stroberi lagi ke roti panggangnya. "Baiklah, cukup basa-basinya. Cepat makan, atau kamu terlambat ke sekolah."

Solar mengangguk. "Iya, iya, Kak Hali. Terima kasih, shorty." Ia kembali mengusik, namun kali ini Halilintar hanya menggerutu kecil tanpa membalas.

☀⚡

2 Siblings Chaos Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang