A

322 44 2
                                    

☀⚡

Malam itu, Halilintar pulang ke rumah setelah bekerja lembur sebagai barista di sebuah kafe kecil. Mumpung buat tambah tabungan untuk kuliah Solar lepas tamat sekolah beberapa bulang lagi.

Matanya sedikit lelah, tapi ia tetap tersenyum puas karena hari ini ia berhasil menambah sedikit tabungan. Meskipun keluarga mereka meninggalkan harta warisan, Halilintar tahu bahwa jika tidak dikelola dengan baik, uang itu bisa habis dalam waktu singkat. Lagipun harta yang ditinggalkan tidaklah banyak. Ia ingin memastikan masa depan Solar tetap terjamin.

"Aku pulang. "

Saat membuka pintu rumah, ia melihat Solar duduk di meja makan, sedang membaca buku di ruang tamu. Solar yang tampak tenang itu, meskipun sibuk dengan studinya, langsung menoleh begitu mendengar suara Halilintar masuk.

"Kak Hali, kamu pulang terlambat lagi," kata Solar tanpa melihat ke arah kakaknya, tapi ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya. "Kamu harus berhenti bekerja terlalu keras."

Halilintar hanya tersenyum tipis sambil meletakkan tasnya di kursi. "Aku baik-baik saja, Solar. Lagi pula, aku harus bekerja untuk kita berdua. Kamu kan tahu, kita tidak bisa hanya bergantung pada warisan."

Solar menghela napas, meletakkan bukunya sejenak. Dia tahu kakaknya terlalu keras pada dirinya sendiri. "Tapi kamu juga harus menjaga kesehatanmu, Kak Hali. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang akan menjaga aku?"

Halilintar terkekeh kecil mendengar ocehan agak narsis adiknya, mencoba meredakan kekhawatiran Solar. "Aku tidak akan sakit. Lagipula, aku ini kuat. Ingat, aku ini kakakmu. Aku harus bisa diandalkan."

Solar mendekati Halilintar, meraih bahunya dengan lembut. "Tapi itu tidak berarti kamu harus memikul semua beban sendiri."

Halilintar menatap Solar lalu tersenyum lelah. "Aku hanya ingin memastikan kamu mendapatkan yang terbaik, Solar. Kamu itu genius, dan aku tahu kamu akan mencapai banyak hal."

Solar merasakan dadanya hangat mendengar kata-kata itu. Meski Halilintar jarang mengucapkannya secara langsung, ia tahu betapa kakaknya selalu memikirkannya.

Tapi Solar juga menyadari bahwa Halilintar kadang terlalu keras pada dirinya sendiri, berusaha menjadi sosok yang sempurna tanpa menyadari bahwa Solar sudah sangat bangga padanya.

Halilintar sanggup membunuh impiannya untuk kuliah semata-mata ingin bekerja menyara keluarga kecil mereka setelah kematian ayah dan ibu mereka.

Hanya saja, di balik sikap tegas dan garang Halilintar, Solar tahu bahwa kakaknya itu kadang sedikit polos dan mudah dikibulin.

Banyak orang yang tertarik pada Halilintar, entah karena ketampanannya atau sikapnya yang tangguh. Namun, Solar selalu waspada terhadap mereka yang mencoba mendekati kakaknya dengan niat yang salah.

Pernah suatu ketika, saat mereka berjalan pulang dari kafe, seorang pemuda menghampiri mereka hanya untuk meminta nomor telefon Halilintar dengan cara yang membuat Solar merasa tidak nyaman. Solar segera maju, melindungi Halilintar di belakangnya, meskipun Halilintar terlihat sedikit bingung.

Solar tahu niat lelaki itu.

"Maaf, tapi kakakku tidak tertarik," ucap Solar dingin kepada pemuda itu, menatapnya tajam.

Halilintar, yang awalnya tidak menyadari apa yang sedang terjadi, akhirnya menyadari situasinya. "H-Hey, aku bisa mengurus ini sendiri, Solar!" protes Halilintar.

Namun Solar hanya tersenyum tipis. "Aku tahu, Kak. Tapi biarkan aku melindungimu kali ini."

Setelah pemuda itu pergi dengan wajah kecewa, Halilintar menatap Solar dengan campuran rasa malu dan bangga. "Kamu semakin pintar saja, ya," gumamnya pelan.

"Well, I'm the sunshine of this universe. So i'm the best of the best," ujarnya, puji diri sendiri.

Tetapi kemudian dia mengusak surai Halilintar yang lebih rendah disebelahya, "Itu karena aku punya kakak yang selalu memastikan aku tidur nyenyak setiap malam."


Halilintar terdiam sejenak, lalu menyadari sesuatu. "Kamu... Kamu tahu?"

Solar mengangguk, matanya bersinar penuh kebahagiaan. "Aku selalu pura-pura tidur, Kak. Setiap kali kamu masuk ke kamarku dan berbisik bahwa kamu bangga padaku, aku mendengarnya."

Wajah Halilintar langsung merah padam, dan ia buru-buru mengalihkan pandangannya. "A-Aku hanya memastikan kamu baik-baik saja..."

Solar tersenyum kecil, lalu menarik Halilintar ke dalam pelukan ringan. "Dan aku selalu baik-baik saja, Kak. Karena kamu selalu ada untukku. Tapi puji depan-depan dong, aku butuh itu untuk terus hidup,"

Halilintar menggelengkan kepalanya pasrah. Ada-ada saja adiknya ini.

Meski Halilintar sering bersikap keras dan tangguh di depan orang lain, Solar tahu bahwa kakaknya itu adalah orang yang paling peduli di dunia ini.

☀⚡

2 Siblings Chaos Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang