L

205 35 1
                                    

☀⚡

Halilintar bergegas menuju ke sekolah Solar setelah menyadari bekalnya ketinggalan di meja setelah sarapan. Pasti adiknya sangat sibuk hari itu hingga kelupaan. Halilintar tahu betapa pentingnya makanan bagi adiknya untuk tetap fokus.

Sesampainya di sekolah, Halilintar mencari Solar di aula tetapi belum menemukannya, jadi dia memutuskan untuk menunggu di luar.

Saat itulah sekelompok pelajar lelaki menghampirinya. Kelihatan mereka terlambat hadir-atau emang berandalan- karena bel sudah berbunyi dari tadi.

"Hei! Kau kakaknya Solar, kan?" teriak salah seorang dari mereka sambil tersenyum.

Halilintar mengerutkan kening, tidak ingin melibatkan dirinya dalam urusan yang tidak penting. Dia memutuskan untuk mengabaikan mereka dan berbalik, berniat untuk pergi-berharap Solar bawa uang untuk beli makanan.

Namun, mereka tidak berhenti. Salah satu dari mereka dengan berani menarik lengan Halilintar. "Jangan cuek begitu. Kau bisa menemani kami sebentar, bukan?"

Halilintar merasakan darahnya mendidih. Dia bukan orang yang mudah ditindas, apalagi dengan sikap kurang ajar seperti itu.

Dia menatap lelaki itu dengan dingin dan berniat menampar wajahnya sebagai pelajaran-sekalian tendang diselakangan. Namun, sebelum tangannya sempat melayang, Solar tiba-tiba muncul dari arah belakang, menangkap pergelangan tangan Halilintar dengan cepat.

"Jangan," kata Solar tegas, suaranya tajam namun tenang. "Tangan kakakku tidak seharusnya menyentuh sesuatu yang menjijikkan seperti mereka."

Para pelajar itu terdiam, terkejut dengan kedatangan Solar yang tiba-tiba dan aura dingin yang terpancar darinya. Solar melepaskan pegangan pada lengan Halilintar dan berdiri di antara kakaknya dan para pelajar yang masih tampak terkejut. Dia menatap mereka dengan tatapan tajam dan penuh peringatan.

"Jangan pernah berani mendekati kakakku lagi," ucap Solar dengan nada yang membuat suasana seketika menjadi tegang. "Jika kalian menyentuhnya, kalian tidak akan tahu bagaimana kalian akan berakhir."

Jari tengah Solar menolak kacamata yang melorot dihidungnya.

Para pelajar itu tampak ketakutan, dengan salah satu dari mereka tergagap, mencoba membela diri, "Kita hanya bercanda, Solar. Tidak perlu serius..."

Namun, Solar tidak memberi mereka kesempatan. "Pergi sekarang, sebelum aku memastikan kalian dikeluarkan dari sekolah ini," ancamnya dengan tegas. Solar punya jalur dalam untuk memberi mereka pelajaran.

Mereka pun segera pergi, meninggalkan Halilintar dan Solar dalam keheningan. Halilintar merasa lega, tetapi juga sedikit bersalah. Dia menatap Solar yang masih berdiri di depannya, penuh perlindungan.

"Kau tidak perlu ikut campur," gumam Halilintar, meski dalam hatinya dia bersyukur.

Solar melirik kakaknya dan tersenyum tipis. "Aku akan selalu ikut campur jika itu tentangmu, kak. Kau tahu itu."

Halilintar tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya. Meski Solar kadang terlihat narsia dan cuek, perhatian adiknya yang tulus selalu membuatnya merasa hangat.

"Aku hanya ingin mengantar bekalmu," kata Halilintar akhirnya, menyerahkan kotak makanan yang tadi dibawanya.

Solar mengambilnya dengan lembut dan tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Terima kasih, kak. Tapi lain kali, hati-hati ya."

"Kamu lupa siapa yang ajarin kamu bela diri?" Halilintar menyeringai.

"Idih, " Solar memutar bola matanya dengan malas namun bibirnya merungkai senyum.

☀⚡

2 Siblings Chaos Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang