4. Dasar licik!

0 0 0
                                    

"Eumm permisi? Kenapa ya kok kue kita di sembunyiin? Bukannya kita udah baik-baik minta titip aja? Ga harus laku kok! Cuman minta pajang aja lho." Tegur Lula berusaha sopan meskipun wajahnya tidak bersahabat.

"Gimana ya, hidup tuh keras. Kalo mau sukses, kadang licik tuh boleh sekali-sekali," Cuek salah satu dari mereka tak peduli.

"Oh! Jadi situ tau kalo itu licik?! Emang kamu ga takut kalo kita aduin ke bos kalian?!"

"Kenapa? Gasuka? Gausah nitip kalo gitu, simple kan? Lagian kita ragu kalo pie kalian bakal laku disini haha." Ejek mereka tertawa bersama.

"Udah bawa balik aja pie nya, gue males debat sama mereka." Bisik Hanna.

"Hahaha... lucu ya? Emang kalian pikir kue kalian enak? Eneg tau ga? Palingan orang yang beli bakalan kena diabetes makanin kue kalian. Liat aja tuh perut lo juga kemana-mana!" Ejek Lula balik membuat mereka tak terima. Tapi tak lupa hanya suara tawa Hanna yang mengisi suasana sunyi itu.

"Maksud lo apa ha? Ha?" Kesal salah satu dari mereka mendorong-dorong bahu Lula. Lula makin dibuat tak menyangka dengan sifat mereka yang berani menyentuhnya.

"Heyyy, gausa main tangan dong." Lerai Hanna berhenti tertawa.

"Asal lo tau ya, umur lima tahunku.. UDAH BELAJAR JAMBAK-'Klingg'...pembantu..."
Seketika mereka semua membeku melihat tangan Lula sedang memegang rambut, entah itu mereka berdua, Lula dan Hanna, bahkan pelanggan yang baru masuk. Mereka semua melihat rambut palsu itu.

"AHAHAHA!!!" Tawa Hanna memecah keheningan itu seketika hingga memukul-mukul lututnya karena melihat Lula tak sengaja menjambak wig gadis tadi.

"Ayo kita balik lagi Lula ahahaha!" Tawa Hanna masih mengejek.

"Makan tuh wig murah biar sekalian tumbuh alami di kepala yang gaada isinya! Otak udang sialan pake sok –sok an!" Semprot Lula kesal dan pergi mendahului Hanna yang masih tertawa sambil membawa kue pie nya. Tak lupa ia mengacungkan jempol pada mereka berdua dari luar kafe.

***

"AHAHA dia nangis ga berenti-berenti gilak! Puas banget gue AHAHA!!" Tawa Hanna melihat Lula yang masih merenungkan pie nya.

"Makan tuh wig murah biar sekalian tumbuh alami BWAHAHA!! Mantep sih...Haduh..." Tawa Hanna sambil memperagakan aksi Lula sampai lelah tertawa.

"Sekarang kita harus mikirin gimana cara nya jual nih pie..." Cemberut Lula.

"Udah makan bareng aja sama kak Kinan, Kak Ian juga."

"Kamu ga ada pikiran buat buka toko sendiri gitu?...Bener...Gimana kalo kita ngumpulin uang buat buka toko roti sendiri?!" Semangat Lula mendapat ide.

"Haduh Lula, ga mungkin. Nyewa tempat aja sekarang mahal banget."

"Berapa emangnya?"

"Ada ruko yang gue suka sih deket sini. Tapi mahal nya minta ampun, kalo gasalah harga sewa nya lima juta per bulan."

"Ayo kita mulai ngumpulin kalo gitu,"

"lima juta buat lo tuh kecil, buat gue gede Lulaa. Tapi lo udah miskin kayak gue si. Jadi ya berat buat juga ngumpulinnya." Santai Hanna.

"Aku ada ide," Lula mengisyaratkan untuk mendekat. "Kita bakal pasang poster di sekitaran lingkungan kita, trus kita terima jasa konsumsi buat acara-acara gitu. Ulang tahun, pesta teh...kan lumayan." Lula memberi masukan.

"Terserah lo deh, gue bagian siapin bahan, lo bagian marketing. Gimana?"

"Deal."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DUO PEMIMPI(N)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang