00.00

168 12 0
                                    

Pagi itu, langit Seoul tampak cerah, sinar matahari menembus kaca jendela rumah sakit Universitas Nasional Seoul yang sibuk. Di unit gawat darurat, ambulans hilir-mudik, membawa pasien dengan kondisi kritis. Keriuhan itu seperti sebuah lagu yang tak pernah berhenti, suara sirene, suara tangisan, dan langkah-langkah terburu-buru dari para tenaga medis yang bergerak cepat untuk menyelamatkan nyawa. Di koridor rumah sakit yang padat, seorang pria dengan scrub hijau dan jubah putih panjang tampak berjalan tertatih. Wajahnya pucat, dan keringat dingin mengalir di dahinya. Park Jihoon, seorang dokter anestesi yang sudah bekerja lebih dari lima belas jam, terhuyung-huyung menuju pintu keluar. Sebelah tangannya menggantung lemah di dinding, sementara tangan lainnya memegangi perutnya yang terasa sangat sakit. Setiap langkahnya terasa semakin berat, nyeri di perutnya membuatnya meringis. Namun ia terus berjalan, seolah-olah tubuhnya dipaksa untuk terus melangkah meski ia hampir kehilangan tenaga.

Begitu keluar dari rumah sakit, Jihoon melihat keramaian di sekitar. Pasien yang tengah diurus oleh keluarganya, skuter layanan antar yang melaju, anjing-anjing yang berjalan dengan pemiliknya, dan dua pria berbaju jas yang tengah ngobrol santai di pinggir jalan sambil menyeruput kopi. Semua itu tampak kontras dengan dirinya. Jihoon berusaha melangkah dengan tertatih menuju zebra cross. Ia berhenti sejenak di pembatas jalan, menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Setelah menunggu, ia melangkah dengan kesulitan. Nyeri yang terus mengganggunya membuat kakinya gemetar. Ia hampir tak bisa menahan rasa sakit yang semakin parah. Begitu berada di tengah jalan, tubuhnya mulai goyah. Dan dalam sekejap, Jihoon terjatuh di aspal, memegangi perutnya yang semakin terasa nyeri.

"Akh!" Jihoon mengerang pelan, terjatuh di tengah jalan dengan tubuh yang sudah tak mampu bergerak. Ia hanya bisa terduduk di sana, tak sanggup untuk bangkit. Tanpa disadari, lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Kendaraan di sekitarnya mulai membunyikan klakson, berteriak meminta Jihoon untuk segera menjauh. Namun tubuh Jihoon seakan kehilangan kekuatan untuk bangkit. Ia merangkak sedikit, mencoba bergerak, namun tubuhnya tidak mampu. Dari kejauhan, sebuah truk melaju cepat, dan Jihoon hanya bisa melihatnya mendekat. Ia ingin menghindar, tetapi rasa sakit yang luar biasa di perutnya membuatnya tak bisa bergerak.

Di sisi lain kota, di ruang operasi rumah sakit lain, Kim Junkyu, seorang dokter spesialis bedah plastik, sedang bekerja dengan fokus. Pendarahan yang tak kunjung berhenti membuat suasana ruang operasi menjadi tegang. Asistennya panik, berteriak meminta agar kasa dan perban diberikan dengan cepat. "Pendarahannya tidak berhenti!" teriak asistennya, suaranya penuh kecemasan. Junkyu, dengan wajah serius, memerintahkan agar kasa dan perban 6 inci segera diberikan. Matanya tertuju pada monitor, melihat kondisi pasien yang semakin memburuk. Tangan Junkyu bergerak cepat, melakukan resusitasi jantung paru. "Kumohon, bertahanlah," ujarnya dengan suara lirih, berusaha menenangkan dirinya dan tim medis di sekitarnya. Namun meski usahanya maksimal, pasien yang ada di mejanya akhirnya gagal diselamatkan. Rasa frustasi dan kegagalan terasa begitu nyata, meski ia berusaha tetap tenang. Sesaat setelah operasi selesai, Junkyu menatap kosong pada tubuh pasien yang terbujur kaku di meja bedah. Kegagalannya menghantui, dan di dalam dirinya muncul rasa kesepian yang mendalam, seperti sebuah bayangan kelam yang mengikutinya tanpa bisa ia hindari.

Flashback

Busan 2006

Di sebuah kedai kecil yang terletak di pinggir pantai Busan, suasana tampak hidup dengan kebahagiaan yang terpancar dari setiap sudut. Kedai sederhana milik keluarga Park Jihoon menjadi pusat perhatian hari itu. Beberapa orang sibuk memasang spanduk besar yang tergantung di depan kedai, bertuliskan dengan huruf besar: *"Selamat Park Jihoon telah terpilih sebagai pelajar terbaik di Korea!"* Spanduk itu berkibar dengan bangga di tengah angin pantai yang lembut, seolah-olah menandakan pencapaian besar yang diraih Jihoon. Kehangatan dan kebanggaan tampak jelas di wajah setiap orang yang berlalu-lalang di sekitar kedai tersebut.

Actually I Love You [Kyuhoon]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang