Matahari pagi bersinar cerah di Seoul, menyinari gedung-gedung tinggi dan jalanan yang mulai sibuk. Udara segar pagi menyelimuti kota, dengan suara kicauan burung sesekali terdengar di antara deru kendaraan. Jihoon berdiri di depan rumahnya, mengenakan pakaian olahraga dan sepatu lari, siap berlari menyusuri taman kota yang mulai ramai oleh orang-orang yang beraktivitas pagi.
Sebelum keluar, ia disapa ibunya, yang sudah bangun dan tampak sibuk di dapur. “Kau mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya ibunya, menyipitkan mata ke arah Jihoon.
“Aku ingin jogging,” jawab Jihoon singkat sambil tersenyum.
“Bagus sekali! Ibu baca di internet, olahraga pagi itu baik untuk mengatasi depresi. Katanya tubuh akan memproduksi hormon bahagia... apa namanya? Seregi... atau apa ya?”
Jihoon terkekeh. “Serotonin, Bu.”
“Ah ya, serotonin! Dan ada lagi, itu juga memproduksi osiktosin…”
“Oksitosin,” Jihoon mengoreksi sambil tersenyum simpul.
“Benar, oksitosin,” sahut ibunya sambil tertawa ringan. “Pokoknya hormon-hormon itu bisa bantu kita merasa lebih baik. Tapi ibu yakin kau lebih tahu. Lakukanlah, semoga kau merasa lebih lega.”
Jihoon tersenyum dan mengangguk sebelum melangkahkan kaki keluar. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar berita di televisi yang menyiarkan kasus yang melibatkan Junkyu, pria yang tinggal di atap rumahnya.
“Ya ampun... Ibu marah padanya karena dia bersikap begitu padamu, tapi sekarang ibu malah kasihan. Jika dia tidak bersalah, dia pasti sangat menderita...” gumam ibunya lirih, tak menyadari bahwa Jihoon mendengarkan.
Sementara itu, Junkyu juga tengah jogging di taman. Ia menerima panggilan telepon dari seorang petugas kepolisian.
“Halo, Pak,” sahut Junkyu, sedikit terengah-engah.
“Sudah kami terima hasil identifikasi sidik jari, tapi... kami meminta pengujian ulang untuk memastikan. Kami juga sudah menggeledah klinik Anda, namun belum menemukan bukti lain, seperti kamera tambahan,” jelas suara di telepon.
Junkyu mendesah pelan. “Kalau begitu, tolong beri kabar segera setelah hasilnya pasti.”
“Baik, kami akan segera mengabari Anda.”
Junkyu menutup telepon dan melanjutkan langkahnya. Tak sengaja, ia melihat Jihoon yang sedang jogging di sekitar taman. Jihoon tampak melihat Junkyu dan menghampirinya dengan senyum kecil.
“Hai,” sapa Jihoon ceria.
“Halo,” balas Junkyu, mengangguk.
Jihoon terlihat sedikit ragu sebelum akhirnya bicara. “Soal kemarin... tentang aku yang memelukmu, maksudku…”
“Kau tak perlu cemas,” potong Junkyu sambil tersenyum tipis. “Kau sudah bilang, kau hanya sedang sulit fokus belakangan ini, itu kan alasannya?”
Jihoon menggeleng pelan. “Bukan... bukan itu alasannya. Aku memelukmu karena itu yang kurasakan di hati,” ucapnya, nada suaranya serius, membuat Junkyu terdiam.
Mereka pun berjalan bersama ke tepi danau, di mana suasana tenang seolah memberikan keduanya ruang untuk berbicara lebih dalam. Jihoon menatap Junkyu sejenak, lalu berbicara hati-hati.
“Junkyu... mungkin aku tak punya hak menghakimi perasaanmu, tapi aku tahu kau mengidap PTSD, bukan?” ujarnya, merujuk pada gangguan mental yang bisa muncul setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis. “Kau sering mimpi buruk, merasa bersalah terus sejak insiden itu. Kau takut itu terjadi lagi?” Jihoon berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Tapi percayalah, itu bukan salahmu. Itu kecelakaan, mungkin malah kesalahan pasien…”
KAMU SEDANG MEMBACA
Actually I Love You [Kyuhoon]√
FanfictionPark Jihoon dan Kim Junkyu adalah dua dokter berbakat yang pernah bersaing ketat di sekolah menengah atas. Jihoon yang cemerlang dalam bidang anestesi dan Junkyu yang unggul sebagai ahli bedah, keduanya saling mendorong untuk menjadi yang terbaik. N...