Bab 27

229 0 0
                                    

Sedikit Kerjaan di Hari Sabtu

Kafe itu terletak di tengah kota, sekitar 1 kilometer dari alun-alun Bandung. Saat turun dari mobil, lutut Erin gemetar karena memeknya yang basah dan rasa malunya karena mengenakan pakaian ala kadarnya. Saat memasuki pintu kafe yang gemerlap dan estetik, Erin benar-benar merasa seperti gadis kampung yang kampungan. Dia membandingkan dirinya dengan sejumlah pelanggan kafe perempuan yang masuk dan keluar. Mereka cantik-cantik dan berpakaian modis. Tanpa sadar Erin memegangi lengan Gagan untuk menemukan kepercayaan dirinya.

Erin dengan cepat belajar menggunakan pisau dan garpu untuk menyantap beefstick yang sangat lezat, dan mahal tentunya. Perlahan kesedihan di hati Erin hilang berganti dengan rasa riang dan bahagia. Apalagi ketika Gagan menuntunnya ke sebuah distro khusus pakaian wanita, yang letak hanya 15 meter dari kafe, dan membimbing Erin untuk memilih baju yang tepat untuk berbagai situasi, event dan kesempatan. Gagan juga membelikan sebuah sepatu selop yang sangat nyaman untuk menggantikan sandal jepitnya yang butut dan hampir putus.

Saat keluar dari ruang ganti, Erin merasa sangat bahagia ketika Gagan menatapnya tanpa kedip.

"Tuh kan, kamu jadi cantik." Kata Gagan dengan senyum yang lebar. Pipi Erin menjadi merah seperti tomat karena pujian yang tulus itu.

Saat berada di dalam mobil, Erin memeluk Gagan dan mengucapkan terimakasih. Gagan mencium bibir Erin sebentar dan membiarkan abg perawan itu meresapi kenikmatan ciumannya. Mereka kemudian melaju ke sebuah bangunan kantor 3 lantai yang tampaknya sangat sibuk walaupun hari itu adalah hari Sabtu, yang merupakan hari libur untuk umumnya perusahaan kantoran.

Turun dari mobil, Erin menjajari langkah Gagan dengan kepercayaan diri yang lebih baik. Langkahnya mantap menjejak bumi walau memeknya meneteskan lendir kenikmatan akibat dicium tadi oleh Gagan. Mereka disambut oleh satpam yang bersikap sangat hormat dan mengantarnya ke lantai 3 menggunakan lift. Satpam itu berjalan mendahului mereka menuju sebuah meja lobby kecil di mana seorang gadis cantik yang mengenakan baju casual warna pink tengah duduk menghadapi layar monitor. Setelah berbicara sebentar dengan Satpam, si gadis cantik itu berdiri dan melangkah mendekati Gagan.

"Pak Gandi? Saya Vina, sekretarisnya Pak Hendrik. Mohon maaf, bapak masih ada meeting. Mungkin sebentar lagi selesai. Silahkan duduk. Mau minum apa?"

"Tidak usah, terimakasih." Kata Gagan.

"Kalau ibu?" kata gadis cantik itu dengan sangat sopan kepada Erin.

"Tidak usah, terimakasih." Jawab Erin mengikuti persis apa yang diucapkan Gagan. Namun dalam hatinya, dia merasa geli sekaligus juga bangga dipanggil "ibu" oleh gadis cantik kantoran itu.

"Baik, permisi sebentar." Kata si gadis cantik sekretaris itu sambil berbalik ke arah pintu coklat yang tertutup rapat. Sementara itu, sang Satpam sudah lagi menghilang entah ke mana.

Saat Gagan akan melangkah menuju sofa ruang tunggu, mendadak pintu coklat itu terbuka. Seorang lelaki berkepala botak kelimis dan berkacamata tebal muncul dengan senyum lebar. Dia mengembangkan tangannya dengan gembira.

"Pak Gandi, apa kabar?" katanya. Dia kemudian merangkul Gagan dengan hangat dan penuh persahabatan. Mereka berpelukan dan saling menepuk punggung.

"Mari, mari..." kata lelaki botak itu sambil melambaikan tangan ke arah pintu. "Ibu juga, silahkan." Katanya lagi kepada Erin yang sedikit terpana dan geli dengan cara mereka berangkulan.

Erin memasuki sebuah ruangan besar dengan meja rapat lonjong yang besar. Di kiri kanan meja itu ada beberapa orang lelaki dan perempuan mengenakan pakaian kemeja resmi. Wajah-wajah itu demikian kaku dan serius. Saat Erin melangkah di belakang Gagan, orang-orang itu berdiri. Dua orang di antaranya menyorongkan kursi kepada mereka. Erin duduk di pinggir Gagan. Ada semacam perasaan bangga menggeluguhi hati Erin saat itu. Seumur hidupnya dia dihina dan dilecehkan oleh ayah dan saudara-saudara ayahnya, mendapat cibiran dari tetangganya dan tak pernah mendapatkan dukungan untuk mengecap pendidikan yang lebih tinggi, kini dia mendapatkan perlakuan hormat semata-mata karena berada di sisi Gagan.

"Pak Hendrik, saya langsung saja ke bisnis ya. Soalnya waktu saya tidak banyak, sore ini juga saya di tunggu di Grand Hotel Lembang untuk memberikan paparan mengenai seluk beluk peraturan ekspor impor."

"Baik, silahkan Pak."

"Jadi begini, kami dari PT. Jasa Utama Exim Indonesia, sungguh sangat menyayangkan adanya perbedaan kesepahaman antara importir kopi dari Belanda yang kelihatannya seolah-olah menahan ekspor kopi kita ke Norwegia dan ke sejumlah negara skandinavia utara. Apa yang mereka inginkan adalah bahwa kopi kita diekspor ke Belanda dan dari sana, mereka akan menyebarkannya ke benua eropa. Ini sebenarnya tidak begitu merugikan. Tapi secara brand dan citra kopi, Indonesia kehilangan yang sangat berharga ini. Untuk itu, kami didukung oleh kementerian perdagangan, mencoba mencari jalan keluar agar produksi kopi Pak Hendrik yang memiliki cita rasa khas unik dan sangat digemari di Norwegia, bisa masuk ke negara itu dengan membawa brand dan nama Indonesia. Selain itu, dari harga pun bisa lebih murah sekitar 5 dolar. Ini artinya akan meringankan harga kopi di konsumen pengguna langsung."

Erin mendengarkan kata-kata Gagan dengan seksama, walau dia tidak mengerti sama sekali apa maksudnya.

"Untuk mencapai tujuan itu, selain sejumlah dokumen yang telah bapak kirim minggu kemarin, ada beberapa dokumen lain yang harus diisi sebagai kelengkapan tambahan. Di antaranya adalah sertifikasi uji mutu kopi yang dilakukan oleh departemen perdagangan dan Balai Penelitian kopi Huissen Mayer di Jerman. Contoh sample kopi sudah saya kirim dua minggu yang lalu, diperkirakan besok senin sudah selesai dan dokumennya akan dikirim ke sini langsung dari Jerman atas tanggungan biaya perusahaan kami. Apabila semua dokumen sudah selesai, maka kopi yang akan bapak ekspor sebanyak 60 ton selama satu tahun, sesuai dengan kesepakatan dan kesanggupan yang pernah kita bicarakan sebulan yang lalu, siap diberangkatkan dari Terminal Peti Kemas Gedebage ke pelabuhan Tanjung Priok. Biasanya, beberapa perusahan jasa eksim akan mengirim barang melalui pelabuhan Rotterdam atau Antwerp, tapi kami bersama rekan kami di Jerman telah sepakat untuk dikirim ke pelabuhan Hamburg. Dari situlah kopi-kopi itu akan disebarkan ke sejumlah negara tujuan."

Cinta Rumit (Binor, STW, Janda, Mama Muda, & ABG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang