Sore semakin larut saat kami saling terdiam di halaman belakang. Aku merokok banyak sekali dan menenggak kopi Kobe pemberian Asep sampai 3 cangkir. Rani duduk menemaniku sambil menjahit kaos lamanya yang sobek di bagian pundak.
Saat itu mendadak kusadari kalau pakaian Rani banyak yang sudah tua dan lusuh.
"Ran, jalan yuk."
"Ke mana Om?"
"Terserah, yang penting kamu bisa beli satu atau dua stel pakaian yang bagus."
"Ini juga masih bagus Om."
"Buat baju ganti kalau ke sekolah."
"Bulan depan Rani ujian Om, buat bayar ujian aja."
Aku diam.
"Eh, kamu punya HP gak?"
"Enggak, Om."
"Ayo jalan, kita beli HP buat kamu."
"Gak usah Om, Rani ga butuh."
Aku berdiri dan merogoh dompet, masih ada sisa uang bekas kemarin ke Garut. "Nih buat kamu." Kataku sambil menyodorkan uang sebanyak 2,5 juta rupiah.
"Buat apa Om?"
"Terserah, buat beli baju, buat bayar ujian, terserah kamu."
"Jangan Om, tabung aja buat nanti modal usaha Om."
Entah mengapa aku mendadak merasa ngenes. Sepasang bola matanya yang besar dan hitam nampak teduh dan tulus.
"Terus kamu bayar ujian gimana?"
Dia terdiam.
"Ambilah." Kataku mendesak.
"Tapi Om enggak akan nyuruh Rani telanjang di depan kamera kan?"
"Buat apa?" tanyaku, merasa aneh.
"Soalnya Rani dulu pernah dikasih uang, tapi harus bugil di depan kamera. Katanya buat live show. Rani enggak mau."
"Om enggak akan nyuruh gituan. Paling nyuruh masak sama nyetrika, beres-beres rumah dan lain-lain."
"Tapi ini uangnya kebanyakan."
"Gapapa, soalnya Om ga merasa kamu sebagai pembantu di sini."
Dia terdiam lagi. Dia menunduk. Dua tetes air mata jatuh membasahi kain kaos yang sedang dijahitnya.
"Makasih, Om." Katanya pendek, seperti berbisik.
***
Suara ketukan di pintu depan sedikit mengejutkan kami berdua. Rani cepat menghapus air matanya dan meletakan pekerjaan menjahit manualnya di kursi. Dia pergi ke pintu depan untuk mengetahui siapa yang datang bertamu. Tak lama kemudian Rani balik lagi ke halaman belakang dan memberitahuku ada tamu seorang lelaki yang mirip seorang pejabat pemerintah.
"Mirip pejabat?" tanyaku dalam hati. Siapa dia? Aku tak punya kenalan pejabat mana pun.
Aku cepat berdiri dan melangkah ke ruang tengah yang sekaligus juga sebagai ruang tamu. Eh, ternyata Pak Antoni. Dia mengenakan baju safari warna biru tua, jadi memang mirip pejabat. Lagi pula dia pernah menjadi anggota DPRD Jakarta.
"Wah, bosku, tuan mengejutkan penganggur yang sedang melamun jadi kaya raya ini." Kataku dengan hormat sekaligus bercanda. Aku ingat Antoni paling suka dipanggil tuan.
"Aku tidak akan lama, Wo." Katanya.
"Silahkan duduk dulu, tuan." Aku mempersilahkannya duduk. Tapi matanya hanya berputar menyapu sofa bututku, yang menurut bos ini tidak layak diduduki pantatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Rumit (Binor, STW, Janda, Mama Muda, & ABG)
RomanceKini Mira tengah melihat Gagan menutup pintu kamarnya. Dia memanjat dinding setinggi duduk jendela dan masuk ke dalam kamar. Jantungnya berdebar saat Gagan membalikkan tubuhnya dan tersenyum. "Hai." Katanya. "Aku kangen." Mira terdiam. Mengatur debu...