⚚❅⚚
Tidak ada yang bisa melihatnya berdiri disana, namun dia bisa melihat semua orang bergerak di bawahnya. Tangan kanannya menempel pada permukaan dinding kaca yang dingin, manik lentiknya menatap dingin pada satu titik.
Sebuah rumah yang di huni oleh beberapa orang. Terlihat begitu jelas bagaimana hangatnya orang-orang itu bercengkrama, pemandangan asing bagi dirinya yang hanya melihat sesuatu yang hampa.
Kini tatapannya terfokuskan pada satu wanita, senyum hangat tidak pernah luntur dari bibirnya, tapi sepertinya wanita itu sedang mengalami sakit dari dalam.
"Sama saja seperti sebelumnya," Suaranya sedikit berat, ia masih memandangi wanita itu. Ia melirik tangannya, pancaran kabut biru berputar-putar di tangannya. Kabut itu pudar terbawa angin, berbaur dengan udara dingin Psyxros, kemudian melebur menjadi satu dengan tubuh wanita itu.
Aneira.
Seandainya seluruh udara dingin di Psyxros di kumpulkan menjadi satu, tetap tidak bisa mengalahkan dinginnya tatapan orang itu. Tidak ada yang tau bagaimana isi hatinya.
•••••
"Bu, berjanjilah kau akan menjaga dirimu sebaik mungkin. Aku akan sering mengunjungi mu," Tangan kecil Jeno menggenggam tangan Aneira. Wanita itu menanggapinya dengan senyuman, namun hatinya menjerit pilu. Aneira tau, hanya dirinya yang Jeno anggap sebagai dunianya. Dia bahkan tidak sanggup membayangkan reaksi Jeno jika dirinya pergi.
"Tentu, ibu akan berusaha untuk selalu berada di sampingmu. Ibu akan selalu berada di hatimu," Mereka sudah bersiap untuk kembali ke kastil Heaven, karena itu Aneira memeluk putranya sangat erat dan lama, seakan-akan itu adalah pelukan terakhir mereka.
Aneira melepaskan pelukannya, ia beralih pada Karina, menatapnya lekat seraya menggenggam kedua tangannya. "Tolong, jaga Jeno untukku,"
Karina tersenyum, "Kami semua akan menjaganya. Sejak dia memasuki Kastil Heaven, Jeno telah menjadi bagian dari keluarga kami,"
Jeno hanya menghela napas panjang mendengarnya. Ia tau ibunya akan sedikit dramatis, padahal Jeno hanya pindah rumah, tidak pindah ke dunia lain.
Felix dan Jisung memberikan senyuman sebelum keluar dari rumah Aneira, di susul Karina, kemudian Jeno. Aneira berdiri di ambang pintu, melambaikan tangan pada Jeno yang terus melihat ke belakang. Saat Jeno dan yang lain telah menghilang dari pandangannya, Aneira kembali kedalam dan menutup pintu rapat-rapat.
Tepat saat ia membalikkan badan, Aneira di kejutkan oleh seseorang yang sedang duduk di kursi yang biasa Jeno tempati.
"Kau... Siapa? Darimana kau masuk? Apakah kita pernah bertemu?," Sedikit mengesankan, wanita itu sama sekali tidak panik walaupun di dalam rumahnya sedang di masuki orang asing.
"Tidak, aku hanya mengawasimu dari atas," Memang, orang itu terlihat seperti tersenyum hangat, namun Aneira merasakan ancaman yang begitu besar.
Wujudnya yang indah bahkan tidak bisa menutupi aura dingin nya yang begitu tajam. Rambut berwarna putih yang terlihat mengkilau, dan mata birunya itu.... Layaknya kristal yang hidup.
Satu-satunya pemilik mata seperti itu, hanyalah Jaemin Na Víntro.
"Aku tidak tau kau siapa dan darimana. Aku juga tidak mengetahui maksud kedatangan mu kesini," Aneira tetap bersikap seolah-olah dirinya hanya mengobrol dengan orang biasa, seakan-akan dirinya tidak merasakan ancaman yang besar.
"Kau sangat pandai menutupi penyakitmu, hanya karena kau tidak ingin putramu khawatir-ugh" Kalimatnya terputus, Jaemin sedikit tersentak kemudian terkekeh geli. Belati es yang sangat tajam tiba-tiba mengelilinginya, berputar-putar disekitar lehernya. Belati itu seperti mengingatkan Jaemin, jika ia salah langkah sedikit, sudah di pastikan kepalanya akan terpisah dari badannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MALVERA II; Winter's Ashes [NOMIN]
Fantasía❗[Fantasy] [bxb] [Dark Romance] Jika takdir mengatakan bahwa Jeno dan Jaemin tidak bisa bersama, maka Jaemin akan memaksa takdir untuk mengikat Jeno padanya. Bukan kisah yang indah, kisah tragis mereka terukir dalam setiap denyut jantung, setiap he...