.
.
.
.
.
.🥀🥀🥀🥀🥀
Langit sore itu dipenuhi awan kelabu, seakan tahu bahwa pertemuan ini akan mengungkit kenangan masa lalu. Di sebuah acara penghargaan yang megah di tengah kota, Alana melangkah masuk dengan hati yang berdebar. Dia tidak pernah menyangka akan berada di tempat ini, dalam situasi yang begitu canggung. Dia dan Elzhan adalah sepasang mantan kekasih akhirnya bertemu dalam satu acara. Alana tahu Elzhan juga disana, setelah sekian tahun berada di dunia yang sama, namun mereka selalu menghindari satu sama lain.
Mereka adalah bintang besar, selalu bersinar di jalur masing-masing, tetapi tak pernah ada di panggung yang sama setelah hubungan mereka berakhir. Hanya mereka yang tahu alasan perpisahan mereka yang mendadak. Namun, publik selalu menginginkan chemistry di antara mereka. Bagi publik mereka harusnya menjadi pasangan yang serasi, tapi bagi Alana nama elzhan hanya cerita lama yang terbungkus rapi di balik senyuman palsu.
Alana mencoba menenangkan diri saat memasuki ruang tunggu. Kerlap-kerlip lampu dari koridor dan cermin rias yang berjejer seakan menjadi saksi bisu betapa gugupnya ia saat ini. Dia duduk di kursi dengan gugup, meskipun pikirannya melayang ke pertemuan yang mungkin tak terhindarkan dengan Elzhan nanti.
"Cuma duduk sebelahan, Alana. Jangan berlebihan," gumamnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan diri, seperti yang sudah dilakukannya selama bertahun-tahun.
Pintu ruang tunggu berderit terbuka, dan suara langkah yang begitu dikenalnya menggema di ruangan itu. Elzhan, dengan gaya khasnya yang selalu terlihat tenang dan karismatik, memasuki ruangan. Senyumnya tipis, nyaris formal, seolah mereka hanyalah dua orang profesional yang tak pernah memiliki masa lalu.
"Elzhan," sapa Alana sambil berusaha tersenyum, meskipun ia tahu senyum itu tidak akan pernah sampai ke matanya.
"Alana. Lama tak bertemu." Suara Elzhan terdengar begitu datar, tetapi di balik matanya yang tenang, ada kilasan perasaan yang sulit disembunyikan.
Keheningan menyelimuti mereka sesaat, atmosfer canggung terasa begitu kental. Mereka berdua terjebak dalam ruang kecil itu, saling menatap dengan perasaan yang tertahan. Tidak ada lagi sentuhan lembut atau sapaan hangat seperti dulu. Yang tersisa hanya jarak yang dingin, seperti jurang lebar yang memisahkan mereka.
"Elzhan, kita sudah tidak bertemu selama lima tahun," kata Alana akhirnya, mencoba mengisi keheningan itu. Ada nada getir dalam suaranya yang berusaha ia sembunyikan. "Dan, sekarang kita bertemu di sini, di acara yang sama. Agak ironis, ya?"
Elzhan tertawa kecil, tawa yang tidak sampai pada matanya. "Ya, dunia hiburan memang sempit, kan?" Dia mengusap tengkuknya, sebuah kebiasaan yang masih ia lakukan saat merasa canggung. Alana ingat betul kebiasaan itu, dulu sering menjadi sumber kelucuan di antara mereka.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Elzhan, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.
Alana mengangkat bahunya sedikit, mencoba terlihat acuh. "Baik, sibuk dengan proyek baru. Bagaimana denganmu?"
Elzhan mengangguk, tersenyum lagi, kali ini senyumnya terlihat lebih tulus. "Sama. Tapi, kamu tahu, aku selalu mendengar kabar tentangmu, meskipun kita tak pernah bertemu."
Alana menoleh, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu selalu seperti itu, ya? Mengetahui banyak hal tanpa benar-benar mengatakannya."
Elzhan terdiam, menyadari ada sindiran yang terselip di balik kata-kata Alana. Dia tahu, Alana masih menyimpan luka dari perpisahan mereka dulu—luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Dia tidak bisa menyalahkan Alana. Ketika mereka putus, Elzhan memilih untuk mundur tanpa penjelasan yang jelas, membiarkan Alana terombang-ambing dalam ketidakpastian.
"Aku tidak tahu apakah ini waktu yang tepat, tapi aku ingin minta maaf, Alana," kata Elzhan, tiba-tiba. Kalimat itu meluncur dengan sulit, seakan menahan sesuatu yang telah lama ia pendam.
Alana menoleh cepat, menatapnya dengan mata melebar. "Maaf? Untuk apa, Elzhan?"
"Untuk pergi tanpa menjelaskan. Untuk tidak pernah memberi tahu alasan sebenarnya. Aku hanya... aku hanya merasa saat itu aku tidak bisa menjadi orang yang kamu butuhkan," jawabnya dengan suara rendah, penuh sesal.
Alana tertawa kecil, pahit. "Itu masalahnya, Elzhan. Kamu memutuskan untuk pergi tanpa pernah membiarkanku memahami perasaanmu. Kamu menyakiti aku dengan kebisuanmu."
Elzhan menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai menghangatkan sudut matanya. "Aku tahu. Dan aku menyesalinya, Alana. Aku hanya ingin kamu tahu itu."
Untuk sesaat, Alana menatap Elzhan dalam-dalam, mencari kejujuran dalam mata pria itu. Ada banyak emosi yang bergejolak dalam dadanya—amarah, kesedihan, dan sedikit kelegaan. "Maaf, Elzhan, tapi menyesal sekarang tidak akan mengubah apa pun. Kita sudah memilih jalur kita masing-masing."
Elzhan mengangguk pelan, menerima kenyataan itu dengan berat hati. "Aku mengerti. Tapi, aku hanya ingin kita bisa berdamai dengan masa lalu, Alana. Tidak untuk kembali, tapi setidaknya... untuk tidak membenci satu sama lain."
Alana terdiam, menundukkan pandangannya, merasa kata-kata Elzhan menohok ke dalam hatinya. Bagaimana bisa ia membenci seseorang yang pernah ia cintai begitu dalam, seseorang yang pernah menjadi bagian dari mimpinya? Namun, ia juga tahu bahwa membuka kembali lembaran lama tidak akan membawa mereka ke mana pun.
"Aku tidak pernah benar-benar membencimu, Zan. Aku hanya... kecewa. Kecewa karena kamu pergi begitu saja, meninggalkan banyak tanya yang tidak pernah terjawab. Tapi aku mengerti, mungkin itu yang terbaik bagi kita berdua." Suaranya bergetar, dan ia mengalihkan pandangannya ke jendela yang mulai basah oleh gerimis.
Elzhan menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dia tahu bahwa kata-kata Alana adalah bentuk dari penerimaan, sesuatu yang ia dambakan selama ini. "Terima kasih, Alana. Terima kasih karena mau mendengarkanku hari ini."
Alana tersenyum tipis, senyum yang mengandung kelelahan sekaligus kelegaan. "Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi kita bisa memilih untuk tidak lagi terjebak di dalamnya."
Elzhan menatapnya dengan rasa terima kasih yang tulus. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, dia merasakan kedamaian dalam hatinya. Mereka mungkin tidak akan pernah kembali seperti dulu, tetapi setidaknya, tidak ada lagi luka yang menganga di antara mereka.
"Semoga proyekmu sukses, Alana. Aku yakin kamu akan bersinar lebih terang," ucap Elzhan, mencoba memberikan dukungan yang tulus.
Alana mengangguk, merasakan ada sesuatu yang lega dalam dadanya setelah pembicaraan ini. "Begitu juga denganmu, Elzhan. Aku harap kita bisa menemukan kebahagiaan masing-masing."
Elzhan tersenyum sekali lagi, lalu berbalik meninggalkan ruangan itu. Alana mengikutinya dengan tatapan mata, melihat sosok yang dulu begitu akrab kini semakin menjauh. Tapi kali ini, tidak ada lagi beban di dadanya, hanya ada rasa lega yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Di luar studio, hujan turun semakin deras, membasahi trotoar yang sepi. Alana berdiri di balik jendela, menatap gerimis yang turun. Dia merasa seperti beban berat yang telah lama menghimpitnya perlahan-lahan terangkat.
Mungkin, mereka tidak akan pernah bersama lagi. Tetapi setidaknya, pertemuan ini mengajarkan mereka bahwa kadang, cinta yang paling tulus adalah merelakan, dan merelakan bukan berarti melupakan. Kini, mereka bisa melanjutkan hidup mereka masing-masing, dengan kenangan tentang "asmara terindah"yang pernah mereka miliki, dan tahu bahwa cinta itu, meski singkat, telah membuat mereka menjadi orang yang lebih kuat dan lebih dewasa sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMEN WAKTU
Fiksi PenggemarFragmen Waktu adalah cerita random berbentuk oneshoot yang mengisahkan momen-momen berharga dalam kehidupan Elzhan, seorang aktor ternama, dan Alana, seorang aktris berbakat. Dalam setiap fragmen, mereka menghadapi tantangan, mengejar impian, dan me...